Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah
mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang
ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan
manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan
kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan
masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah
semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan
merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda.
Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para
pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan
pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan
penyimpangan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan prinsip ini
mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan besar dalam
memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni
akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal
menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat. Sekolah dan
orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan).
Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga
sekolah. Antar kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan
guru.
Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan
seluruh komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yang harus
melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa, karena inti dari seluruh
pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama
di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan
ini dalam tugasnya sebagai pengajar.
Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal
membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu
dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi
penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88)
bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They
are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining
pupils' involvement and helping them make progress in their learning.
Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada
orang tua siswa. Sebagaimana dikatakan oleh Headington, "Teacher are
accountable to parents, both legally and morally, for the educational
development of their children. The most evident mechanism for this through the
formal reporting channel and through the provision of information about pupils'
progress whenever necessary."
Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran,
tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas
keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan
keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan,
maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola
keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah
dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan
dipercaya. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut
moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang
baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek
korupsi.
Fakta menyangkut praktek korupsi dalam dunia
pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal tahun
2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari
Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, hingga di sekolah-sekolah. Kenyataan
ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya
diajarkan lembaga pendidikan kepada anak bangsa, tidak saja dari segi
intelektual tetapi juga moral. Informasi ini merupakan "tamparan"
keras bagi dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka penerapan MBS ini,
pengelolaan keuangan sekolah harus jauh dari praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika
sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah
yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik,
mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan
sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan
efisiensi eksternal.
Pelaksanaan Akuntabilitas Pendidikan
Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan
manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi
pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk
melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan
pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat
dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen
sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam
pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda.
Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan
adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bagi lembaga-lembaga
pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan desain ulang
sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan
model manajemen pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya
manajemen yang tinggi. Misalnya di Indonesia hari ini telah lahir Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.
Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan
melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu
kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap
telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak
mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang
dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga
terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai
mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin
mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang
akuntabel.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan
akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara
pengelola sekolah dengan masyarakat, sekolah dan orang tua siswa, sekolah dan
instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal
menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah, antara kepala sekolah dengan
komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.
Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas
adalah guru. Hal ini karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah
adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus
bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam
tugasnya sebagai pengajar. Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung
jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan
mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin,
kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Tanggung
jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses
pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output.
Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya
penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola.
Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga
sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi
tidak akan dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga
menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh
sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari
praktek korupsi.
Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika
sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah
yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik,
mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah
yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi
eksternal. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan
yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah.
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak
instituasi pendidikan yang lemah dan tidak akuntabel. Rita Headington berpendapat
ada tiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan
keuangan. Ketiganya menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya,
tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu
sendiri, misalnya akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal
(aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk
mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga
badan-badan yang terkait dengan pendidikan.
Manfaat Akuntabilitas
Pendidikan
Akuntabilitas mampu membatasi
ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan.
Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek-aspek
penting perencanaan, antara lain:
1.
Tujuan/performan yang ingin dicapai
2.
Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai
tujuan
3.
Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
4.
Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai,
dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife
penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
5.
Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
6.
Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara
pasti.
Pelaksana
Akuntabilitas Pendidikan
Made Pidarta (1988) menyebutkan
bahwa pelaksanaan akuntabilitas ditekankan pada guru, administrator, orang tua
siswa, masyarakat serta orang-orang luar lainnya.
Di dalam perencanaan participatory
, yaitu perencanaan yang menekankan sifat lokal atau desentralisasi,
akuntabilitas ditujukan pada sejumlah personil sebagai berikut.
1.
Manajer/ administrator/ ketua lembaga, sesuai dengan
fungsinya sebagai manajer.
2.
Ketua perencana, yang dianggap paling bertanggungjawab
atas keberhasilan perencanaan. Ketua perencana adalah dekan, rektor, kepala
sekolah, atau pimpinan unit kerja lainnya.
3.
Para anggota perencana, mereka dituntut memiliki
akuntabilitas karena mereka bekerja mewujudkan konsep perencanaan dan
mengendalikan implementasinya di lapangan.
4.
Konsultan, para ahli perencana yang menjadi konsultan.
5.
Para pemberi data, harus memiliki performan yang kuat
mengingat tugasnya memberikan dan menginformasikan data yang selalu siap dan
akurat.
Langkah-Langkah
Akuntabilitas Pendidikan
Made Pidarta (1988) merumuskan
langkah-langkah yang harus di tempuh untuk menentukan akuntabilitas dalam
melaksanakan tugas-tugas pendidikan, sebagai berikut:
1.
Menentukan tujuan program yang dikerjakan, dalam
perencanaan disebut misi atau tujuan perencanaan.
2.
Program dioperasionalkan sehingga menimbulkan
tujuan-tujuan yang spesifik.
3.
Menggambarkan kondisi tempat bekerja.
4.
Menentukan otoritas atau kewenangan petugas pendidikan.
5.
Menentukan pelaksana yang akan mengerjakan program/ tugas.
Ia penanggungjawab program, menurut konsep akuntabilitas ia adalah orang yang
dikontrak.
6.
Membuat kriteria performan pelaksana yang dikontrak
secara jelas, sebab hakekatnya yang dikontrak adalah performan ini.
7.
Menentukan pengukur yang bersifat bebas, yaitu
orang-orang yang tidak terlibat dalam pelaksanaan program tersebut.
8.
Pengukuran dilakukan sesuai dengan syarat pengukuran
umum yang berlaku, yaitu secara insidental, berkala dan
9.
Hasil pengukuran dilaporkan kepada orang yang
berkaitan.