(Kasus di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor)
Hasil Penelitian Amelia Eka Furi dan
Melly Latifah
A. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang
terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga kini belum tuntas
teratasi. Dampak penting yang dapat dirasakan adalah bertambahnya keluarga
miskin di Indonesia yaitu dari 22,5 juta pada tahun 1997 menjadi 42,8 juta
tahun 2004 (Martaja, 2005).
Sementara krisis ekonomi
belum selesai, muncul masalah lain, yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) pada tahun 2005 yang semakin menambah beban masyarakat. Beban ini semakin
dirasakan karena adanya perbahan harga barang dan jasa pasca kenaikan harga
BBM. Meskipun pemerintah telah memberi bantuan langsung tunai (BLT), namun hal
tersebut nampaknya tidak begitu berpengaruh. Perubahan ini berdampak besar pada
psikologi masyarakat, khususnya keluargga miskin (Pasetyantoko, 2005).
Menurut Holmes dan Rahe
(1967) yang diacu Atewater (1983), perubahan keadaan ekonomi merupakan kondisi
yang berpotensi memicu stres. Dengan demikian, keniakan harga BBM diduga
berpotensi menjadi pemicu stres, terutama bagi keluarga miskin.
Berdasarkan pemaparan di
atas, maka penting untuk mengetahui persepsi, tingkat stres, dan strategi
koping pada keluarga miskin penerima BLT terhadap kenaikan harga BBM. Mengingat
bahwa pada umumnya ibu adalah pengelola keuangan keluarga yang juga merasakan
langsung dampak psikologis dari kenaikan BBM (Indraswari, 2005), maka secara
khusus penelitian ini difokuskan pada ibu keluarga miskin.
Tujuan dari penelitian ini
adalah mempelajari persepsi, tingkat stres, dan strategi koping ibu pada
keluarga miskin penerima BLT terhadap kenaikan harga BBm di desa Cikarawang,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
B. Pembahasan
1.
Karakteristik Sampel (Ibu Keluarga
Miskin) dan Keluarga
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak
71,7% sampel (ibu keluarga miskin) tergolong dewasa muda dan sebanyak 58,3%
suami sampel juga berada dalam kategori dewasa muda. Tingkat pendidikan sampel
rata-rata tidak tamat SMA. Sebanyak 48,3% sampel hanya tamat SD, sedangkan
suaminya yang tamat SD sebanyak 60%. Sebanyak 45% sampel tidak bekerja dan
hanya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan suaminya sebanyak 63,3% bekerja
sebagi buruh dan 5% tidak bekerja. Sebanyak 46,7% keluarga sampel termasuk
keluarga kecil dan 11,7% termasuk keluarga besar serta sebanyak 51,7% memiliki
satu balita dalam keluarganya.
Dari hasil penelitian, 60% keluarga sampel memiliki
pendapatan/kapita/bulan < Rp 137. 929. Jika dilihat dari keluarga penerima
BLT (BPS, 2005), maka hanya 25% sampel yang memenuhi kriteria keluarga miskin
penerima BLT dan 75% tidak memenuhi kriteria. Sedangkan 71,7% keluarga sampel
memiliki pengeluaran/kapita/bulan Rp 115.216-Rp 243.178.
2.
Persepsi
Menurut Rakhmat (1992), persepsi merupakan suatu
hasil pengalaman seseorang terhadap suatu obyek, peristiwa, atau keadaan. Individu
dalam memberikan makna terhadap suatu stimulus seringkali tidak sama antar satu
dengan yang lainnya (Berlo, 1991 dalam Endaryanto, 1999). Sehingga dalam
menanggapi suatu masalah persepsi masing-masing sampel berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 61,7%
sampel memiliki persepsi yang cukup, sedangkan 30% sampel memiliki persepsi
yang kurang, dan 8,3% sampel berpersepsi baik. Persepsi cukup diartikan bahwa
sampel memandang kenaikan harga BBM tidak hanya menimbulkan dampak negatif,
tetapi juga dapat menimbulka dampak positif. Persepsi kurang ini berarti sampel
memandang bahwa kenaikan harga BBM menyulitkan dan lebih banyak menimbulkan
dampak negatif bagi mereka. Persepsi baik menunjukkan bahwa meskipun sampel
mengalami kesulitan karena kenaikan harga BBM, tetapi sampel memiliki harapan
dan keyakinan yang positif.
3.
Hubungan Persepsi dengan
Karakteristik Sampel dan Keluarga
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
karakteristik sampel tidak memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi sampel.
Hal ini disebabkan katakteristik sampel pada penelitian relatif sama.
Sedangkan antara persepsi sampel dengan tingkat
pendidikan suami terdapat hubungan yang nyata. Hubungan ini disebabkan semakin
tinggi tingkat pendidikan suami, maka semakin baik persepsi sampel dalam
menanggapi masalah kenaikan BBM, karena suami yang berpendidikan akan
memberikan bimbingan kepada istrinya dalam menanggapi masalah.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan yang nyata antara persepsi sampel dengan pekerjaan suaminya.
Pekerjaan kepala keluarga akan sangat mempengaruhi besarnya pendapatan
keluarga, sehingga dapat mempengaruhi pandangan sampel terhadap masalah
kenaikan harga BBM.
Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan
hubungan yang nyata antara persepsi sampel dan besar keluarga sampel. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka semakin baik
persepsi sampel terhadap kenaikan harga BBM. Jumlah anggota keluarga yang
terlalu besar sering kali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok
(Arianti, 2002).
4.
Tingkat Stres
Dari hasil penelitian, lebih dari separuh sampel
mengalami stres tingkat ringan, sedangkan kurang dari separuh sampel mengalami
stres tingkat sedang, dan tidak ada sampel yang mengalami stres tingkat berat.
Hali ini dikarenakan sebagian besar sampel sudah merasakan kesulitan ekonomi
sebelum kenaikan harga BBM, sehingga perubahan setelah kenaikan harga BBM
dirasakan tidak begitu drastis dan tidak menimbulkan stres berat.
Dari hasil penelitian, gejala-gejala fisik yang
banyak dialami oleh sampel setelah kenaikan harga BBM adalah:
a.
Merasa pegal –
pegal pada leher, punggung, dan bahu
b.
Merasa pusing
atau sakit kepala tanpa alasan
c.
Tiba-tiba
merasa nyeri hebat di dada, lengan, atau tungkai
d.
Jantung
berpacu dengan cepat dan keras
Sedangkan gejala emosional
yang dialami yaitu:
a.
Menyesali dan
menyerah pada keadaan (pasrah)
b.
Merasa
tertekan karena kenaikan harga BBM
c.
Mengalami
sukar tidur
d.
Gugup atau
hati berdebar-debar
5.
Hubungan Tingkat Stres dengan
Persepsi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan
yang nyata antara persepsi dan tingkat stres sampel. Hubungan ini berarti
semakin baik persepsi sampel, maka semakin ringan tingkat stres yang dialami
sampel. Hal ini sejalan dengan pernyataan Glass dan Singer (1972) yang diacu
Atkinson, Smith, dan Bern (2000) bahwa cara pandang atau persepsi seseorang
terhadap sesuatu akan mempengaruhi tingkat stres yang akan dialami.
6.
Strategi Koping
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 68,3 % sampel
cenderung melakukan emotion-focused coping
(EFC) dalam menghadapi masalah kenaikan harga BBM. Sedangkan 10 % sampel
cenderung menerapkan perilaku pada problem-focused
coping (PFC).
Selain dianalisis berdasarkan kecenderungan ke arah
PFC dan EFC, maka dilakukan lagi analisis yang menggambarkan kombinasi antara
PFC dan EFC berdasarkan tinggi dan rendahnya kedua kombinasi tersebut yang
dilakukan oleh sampel. Dengan demikian strategi coping dibedakan menjadi 4
tipe, yaitu :
a.
Tipe A (PFC
rendah dan EFC rendah)
b.
Tipe B (PFC
tinggi dan EFC rendah)
c.
Tipe C (PFC
rendah dan EFC tinggi)
d.
Tipe D (PFC
tinggi dan EFC tinggi)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 46,7 % sampel
menerapkan strategi coping tipe D dalam mengatasi masalah kenaikan harga BBM..
Hanya sebagian kecil sampel yang menerapkan strategi coping tipe B dalam
mengatasi masalah kenaikan harga BBM.
7.
Hubungan Strategi Koping dengan
Persepsi, Tingkat Stres, Karakteristik Sampel dan Keluarga
Dari hasil penelitian menunjukkan hubungan yang
nyata antara strategi koping dengan persepsi sampel. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin baik persepsi sampel, maka semakin banyak strategi koping yang
diterapkan oleh sampel. Sampel yang berpersepsi baik akan lebih banyak
memikirkan dan melakukan strategi koping dalam rangka mengatasi masalah
kenaikan harga BBM ini dibandingkan menyalahkan keadaan (berpikir negatif).
Hasil penelitian tidak menunjukkan hubungan yang
nyata antara strategi koping dengan tingkat stres, karakteristik sampel dan
keluarga. Hal ini disebabkan karena strategi koping yang diterapkan antara
sebelum dengan setelah kenaikan harga BBM relatif sama.
8.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh
terhadap Strategi Koping
Dari hasi penelitian, terdapat delapan variabel yang
diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap strategi koping yaitu
persepsi sampel, umur sampel, pendidikan sampel, status bekerja sampel, umur
suami sampel, pendapatan perkapita perbulan, besar keluarga, dan jumlah balita.
Dari kedelapan variabel tersebut, hanya dua variabel yang berpengaruh terhadap
banyaknya strategi coping yaitu persepsi dan status bekerja sampel.
Persepsi sampel merupakan salah satu faktor yang
paling berpengaruh terhadap strategi coping karena semakin baik persepsi sampel
terhadap kenaikan harga BBM, maka semakin banyak strategi koping yang
dilakukan.
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian, sampel
(ibu) yang bekerja melakukan lebih banyak strategi koping dibandingkan ibu yang
tidak bekerja. Hal ini disebabkan, sampel yang bekerja memiliki kepercayaan
diri dan harapan yang lebih besar daripada sampel yang tidak bekerja.
Menurut White (1974) dalam Sussman & Steinmetz
(1988) bahwa penilaian strategi coping dapat berubah tergantung kondisi dan
tingkat masalah yang dihadapi. Strategi coping indivudu dipengaruhi oleh latar
belakang budaya, pengalaman, lingkungan, kepribadian, konsep diri, dan faktor
sosial. Hal ini mempengaruhi kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.
Selain itu, faktor-faktor lain yang diduga
berpengaruh terhadap strategi coping yang diterapkan sampel antara lain faktor
lingkungan (akses informasi), kepribadian (ekstovert/introvert), ada atau
tidaknya bantuan lain yang diterima sampel selain BLT, serta faktor sosial.
C. Kesimpulan
Lebih dari separuh sampel memandang bahwa kenaikan harga BBM tidak hanya
menimbulkan dampak negatif, tetapi juga menimbulkan dampak positif, dan lebih
dari separuh sampel mengalami stres tingkat ringan.
Lebih dari separuh sampel menerapkan perilaku cenderung pada
emotion-focused coping (EFC) dalam menghadapi masalah kenaikan BBM. Ditemukan
empat tipe strategi koping, yaitu tipe A, tipe B, tipe C, tipe D. Hampir
separuh sampel menerapkan strategi koping tipe D, yang berarti bahwa sampel
tersebut menerapkan banyak perilaku cenderung pada PFC dan EFC dalam menghadapi
masalah kenaikan harga BBM.
Terdapat hubungan yang nyata antara persepsi sampel dan tingkat
pendidikan suami, jenis pekerjaan suami, dan besar keluarga, serta antara
persepsi sampel dan tingkat stres sampel.
Tidak terdapat hubungan yang nyata antara strategi koping dengan tingkat
stres sampel. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya strategi koping
yang dilakukan sampel dipengaruhi oleh persepsi dan status bekerja sampel.
D. Keterkaitan
dengan Konseling Rehabilitasi
Stretegi koping merupakan
strategi dalam konseling rehabilitasi, dimana strategi ini merupakan suatu cara
bagaimana individu mengatasi masalah atau hambatan yang dialami, strategi yang
dilakukan ini dapat berupa pikiran, perilaku, dan tindakan. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa adanya
hubungan antara persepsi dan tingkat stres, maka sebagai konselor rehabilitasi
perlu membantu memberikan pemahaman kepada ibu-ibu miskin penerima BLT tentang
strategi koping yang baik dalam menghadapi masalah kenaikan harga BBM. Hal ini
dilakukan agar ibu-ibu miskin penerima BLT mampu mengurangi persepsi negatif
dan menimbulkan persepsi positif pada kenaikan harga BBM, sehingga mengurangi
tingkat stres yang dialami.
Selain itu, dengan adanya persepsi positif yang berkembang dibanding
persepsi negative, maka ibu-ibu penerima BLT
juga lebih dapat melihat hal maupun dampak positif yang ditimbulkan oleh
kenaikan harga BBM dari pada hal atau dampak negative yang ditimbulkan seperti
lebih focus pada cara menangani kenaikan harga BBM beserta harga kebutuhan
pokok lainnya,bagaiman cara mengatur keuangan keluarga dengan lebih bijak lagi,
serta jika bisa bagaimana menambah pendapatan keuangan keluarga agar dapat
mencukupi kebutuhan sehari-hari, disbanding terus-terusan mengeluh akibat
kenaikan harga BBM dan bahkan tambah bermalas-malasan dalam bekerja.