Jumat, 22 Juni 2012

PERSEPSI, TINGKAT STRES, DAN STRATEGI KOPING IBU KELUARGA MISKIN PENERIMA BLT TERHADAP KENAIKAN HARGA BBM



(Kasus di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor)
Hasil Penelitian Amelia Eka Furi dan Melly Latifah

A.      Pendahuluan
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga kini belum tuntas teratasi. Dampak penting yang dapat dirasakan adalah bertambahnya keluarga miskin di Indonesia yaitu dari 22,5 juta pada tahun 1997 menjadi 42,8 juta tahun 2004 (Martaja, 2005).
Sementara krisis ekonomi belum selesai, muncul masalah lain, yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005 yang semakin menambah beban masyarakat. Beban ini semakin dirasakan karena adanya perbahan harga barang dan jasa pasca kenaikan harga BBM. Meskipun pemerintah telah memberi bantuan langsung tunai (BLT), namun hal tersebut nampaknya tidak begitu berpengaruh. Perubahan ini berdampak besar pada psikologi masyarakat, khususnya keluargga miskin (Pasetyantoko, 2005).
Menurut Holmes dan Rahe (1967) yang diacu Atewater (1983), perubahan keadaan ekonomi merupakan kondisi yang berpotensi memicu stres. Dengan demikian, keniakan harga BBM diduga berpotensi menjadi pemicu stres, terutama bagi keluarga miskin.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penting untuk mengetahui persepsi, tingkat stres, dan strategi koping pada keluarga miskin penerima BLT terhadap kenaikan harga BBM. Mengingat bahwa pada umumnya ibu adalah pengelola keuangan keluarga yang juga merasakan langsung dampak psikologis dari kenaikan BBM (Indraswari, 2005), maka secara khusus penelitian ini difokuskan pada ibu keluarga miskin.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari persepsi, tingkat stres, dan strategi koping ibu pada keluarga miskin penerima BLT terhadap kenaikan harga BBm di desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

B.      Pembahasan
1.     Karakteristik Sampel (Ibu Keluarga Miskin) dan Keluarga
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 71,7% sampel (ibu keluarga miskin) tergolong dewasa muda dan sebanyak 58,3% suami sampel juga berada dalam kategori dewasa muda. Tingkat pendidikan sampel rata-rata tidak tamat SMA. Sebanyak 48,3% sampel hanya tamat SD, sedangkan suaminya yang tamat SD sebanyak 60%. Sebanyak 45% sampel tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan suaminya sebanyak 63,3% bekerja sebagi buruh dan 5% tidak bekerja. Sebanyak 46,7% keluarga sampel termasuk keluarga kecil dan 11,7% termasuk keluarga besar serta sebanyak 51,7% memiliki satu balita dalam keluarganya.
Dari hasil penelitian, 60% keluarga sampel memiliki pendapatan/kapita/bulan < Rp 137. 929. Jika dilihat dari keluarga penerima BLT (BPS, 2005), maka hanya 25% sampel yang memenuhi kriteria keluarga miskin penerima BLT dan 75% tidak memenuhi kriteria. Sedangkan 71,7% keluarga sampel memiliki pengeluaran/kapita/bulan Rp 115.216-Rp 243.178.

2.     Persepsi
Menurut Rakhmat (1992), persepsi merupakan suatu hasil pengalaman seseorang terhadap suatu obyek, peristiwa, atau keadaan. Individu dalam memberikan makna terhadap suatu stimulus seringkali tidak sama antar satu dengan yang lainnya (Berlo, 1991 dalam Endaryanto, 1999). Sehingga dalam menanggapi suatu masalah persepsi masing-masing sampel berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 61,7% sampel memiliki persepsi yang cukup, sedangkan 30% sampel memiliki persepsi yang kurang, dan 8,3% sampel berpersepsi baik. Persepsi cukup diartikan bahwa sampel memandang kenaikan harga BBM tidak hanya menimbulkan dampak negatif, tetapi juga dapat menimbulka dampak positif. Persepsi kurang ini berarti sampel memandang bahwa kenaikan harga BBM menyulitkan dan lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi mereka. Persepsi baik menunjukkan bahwa meskipun sampel mengalami kesulitan karena kenaikan harga BBM, tetapi sampel memiliki harapan dan keyakinan yang positif.

3.     Hubungan Persepsi dengan Karakteristik Sampel dan Keluarga
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel tidak memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi sampel. Hal ini disebabkan katakteristik sampel pada penelitian relatif sama.
Sedangkan antara persepsi sampel dengan tingkat pendidikan suami terdapat hubungan yang nyata. Hubungan ini disebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan suami, maka semakin baik persepsi sampel dalam menanggapi masalah kenaikan BBM, karena suami yang berpendidikan akan memberikan bimbingan kepada istrinya dalam menanggapi masalah.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara persepsi sampel dengan pekerjaan suaminya. Pekerjaan kepala keluarga akan sangat mempengaruhi besarnya pendapatan keluarga, sehingga dapat mempengaruhi pandangan sampel terhadap masalah kenaikan harga BBM.
Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan hubungan yang nyata antara persepsi sampel dan besar keluarga sampel. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka semakin baik persepsi sampel terhadap kenaikan harga BBM. Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar sering kali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok (Arianti, 2002).

4.     Tingkat Stres
Dari hasil penelitian, lebih dari separuh sampel mengalami stres tingkat ringan, sedangkan kurang dari separuh sampel mengalami stres tingkat sedang, dan tidak ada sampel yang mengalami stres tingkat berat. Hali ini dikarenakan sebagian besar sampel sudah merasakan kesulitan ekonomi sebelum kenaikan harga BBM, sehingga perubahan setelah kenaikan harga BBM dirasakan tidak begitu drastis dan tidak menimbulkan stres berat.
Dari hasil penelitian, gejala-gejala fisik yang banyak dialami oleh sampel setelah kenaikan harga BBM adalah:
a.        Merasa pegal – pegal pada leher, punggung, dan bahu
b.       Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan
c.        Tiba-tiba merasa nyeri hebat di dada, lengan, atau tungkai
d.       Jantung berpacu dengan cepat dan keras
Sedangkan gejala emosional yang dialami yaitu:
a.      Menyesali dan menyerah pada keadaan (pasrah)
b.     Merasa tertekan karena kenaikan harga BBM
c.      Mengalami sukar tidur
d.     Gugup atau hati berdebar-debar

5.     Hubungan Tingkat Stres dengan Persepsi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan yang nyata antara persepsi dan tingkat stres sampel. Hubungan ini berarti semakin baik persepsi sampel, maka semakin ringan tingkat stres yang dialami sampel. Hal ini sejalan dengan pernyataan Glass dan Singer (1972) yang diacu Atkinson, Smith, dan Bern (2000) bahwa cara pandang atau persepsi seseorang terhadap sesuatu akan mempengaruhi tingkat stres yang akan dialami.

6.     Strategi Koping
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 68,3 % sampel cenderung melakukan emotion-focused coping (EFC) dalam menghadapi masalah kenaikan harga BBM. Sedangkan 10 % sampel cenderung menerapkan perilaku pada problem-focused coping (PFC).
Selain dianalisis berdasarkan kecenderungan ke arah PFC dan EFC, maka dilakukan lagi analisis yang menggambarkan kombinasi antara PFC dan EFC berdasarkan tinggi dan rendahnya kedua kombinasi tersebut yang dilakukan oleh sampel. Dengan demikian strategi coping dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu :
a.        Tipe A (PFC rendah dan EFC rendah)
b.       Tipe B (PFC tinggi dan EFC rendah)
c.        Tipe C (PFC rendah dan EFC tinggi)
d.       Tipe D (PFC tinggi dan EFC tinggi)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 46,7 % sampel menerapkan strategi coping tipe D dalam mengatasi masalah kenaikan harga BBM.. Hanya sebagian kecil sampel yang menerapkan strategi coping tipe B dalam mengatasi masalah kenaikan harga BBM.

7.     Hubungan Strategi Koping dengan Persepsi, Tingkat Stres, Karakteristik Sampel dan Keluarga
Dari hasil penelitian menunjukkan hubungan yang nyata antara strategi koping dengan persepsi sampel. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi sampel, maka semakin banyak strategi koping yang diterapkan oleh sampel. Sampel yang berpersepsi baik akan lebih banyak memikirkan dan melakukan strategi koping dalam rangka mengatasi masalah kenaikan harga BBM ini dibandingkan menyalahkan keadaan (berpikir negatif).
Hasil penelitian tidak menunjukkan hubungan yang nyata antara strategi koping dengan tingkat stres, karakteristik sampel dan keluarga. Hal ini disebabkan karena strategi koping yang diterapkan antara sebelum dengan setelah kenaikan harga BBM relatif sama.

8.     Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Strategi Koping
Dari hasi penelitian, terdapat delapan variabel yang diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap strategi koping yaitu persepsi sampel, umur sampel, pendidikan sampel, status bekerja sampel, umur suami sampel, pendapatan perkapita perbulan, besar keluarga, dan jumlah balita. Dari kedelapan variabel tersebut, hanya dua variabel yang berpengaruh terhadap banyaknya strategi coping yaitu persepsi dan status bekerja sampel.
Persepsi sampel merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap strategi coping karena semakin baik persepsi sampel terhadap kenaikan harga BBM, maka semakin banyak strategi koping yang dilakukan.
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian, sampel (ibu) yang bekerja melakukan lebih banyak strategi koping dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan, sampel yang bekerja memiliki kepercayaan diri dan harapan yang lebih besar daripada sampel yang tidak bekerja.
Menurut White (1974) dalam Sussman & Steinmetz (1988) bahwa penilaian strategi coping dapat berubah tergantung kondisi dan tingkat masalah yang dihadapi. Strategi coping indivudu dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman, lingkungan, kepribadian, konsep diri, dan faktor sosial. Hal ini mempengaruhi kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.
Selain itu, faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap strategi coping yang diterapkan sampel antara lain faktor lingkungan (akses informasi), kepribadian (ekstovert/introvert), ada atau tidaknya bantuan lain yang diterima sampel selain BLT, serta faktor sosial.

C.      Kesimpulan
Lebih dari separuh sampel memandang bahwa kenaikan harga BBM tidak hanya menimbulkan dampak negatif, tetapi juga menimbulkan dampak positif, dan lebih dari separuh sampel mengalami stres tingkat ringan.
Lebih dari separuh sampel menerapkan perilaku cenderung pada emotion-focused coping (EFC) dalam menghadapi masalah kenaikan BBM. Ditemukan empat tipe strategi koping, yaitu tipe A, tipe B, tipe C, tipe D. Hampir separuh sampel menerapkan strategi koping tipe D, yang berarti bahwa sampel tersebut menerapkan banyak perilaku cenderung pada PFC dan EFC dalam menghadapi masalah kenaikan harga BBM.
Terdapat hubungan yang nyata antara persepsi sampel dan tingkat pendidikan suami, jenis pekerjaan suami, dan besar keluarga, serta antara persepsi sampel dan tingkat stres sampel.
Tidak terdapat hubungan yang nyata antara strategi koping dengan tingkat stres sampel. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya strategi koping yang dilakukan sampel dipengaruhi oleh persepsi dan status bekerja sampel.
  
D.      Keterkaitan dengan Konseling Rehabilitasi
Stretegi koping merupakan strategi dalam konseling rehabilitasi, dimana strategi ini merupakan suatu cara bagaimana individu mengatasi masalah atau hambatan yang dialami, strategi yang dilakukan ini dapat berupa pikiran, perilaku, dan tindakan. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa adanya hubungan antara persepsi dan tingkat stres, maka sebagai konselor rehabilitasi perlu membantu memberikan pemahaman kepada ibu-ibu miskin penerima BLT tentang strategi koping yang baik dalam menghadapi masalah kenaikan harga BBM. Hal ini dilakukan agar ibu-ibu miskin penerima BLT mampu mengurangi persepsi negatif dan menimbulkan persepsi positif pada kenaikan harga BBM, sehingga mengurangi tingkat stres yang dialami.
Selain itu, dengan adanya persepsi positif yang berkembang dibanding persepsi negative, maka ibu-ibu penerima BLT  juga lebih dapat melihat hal maupun dampak positif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM dari pada hal atau dampak negative yang ditimbulkan seperti lebih focus pada cara menangani kenaikan harga BBM beserta harga kebutuhan pokok lainnya,bagaiman cara mengatur keuangan keluarga dengan lebih bijak lagi, serta jika bisa bagaimana menambah pendapatan keuangan keluarga agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, disbanding terus-terusan mengeluh akibat kenaikan harga BBM dan bahkan tambah bermalas-malasan dalam bekerja.

Littlre snake pin