Review jurnal
dari hasil penelitian Rias Tanti Dengan Judul Stress Dan Kehidupan Penghuni
Lembaga Pemasyarakatan
Pendahuluan
Lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan Negara (rutan)
secara “alami” adalah tempat yang stressfull
atau menekan.Terminology stress megacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan
karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit,
perubahan temperature, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial
yang di nilai mengancam atau membahayakan. Keadaan fisik, lingkungan social dan
situasi sosial yang mengakibatkan stress di sebut stressor. Stressor
tertentu mengakibatkan keadaan stress
kemudian mengarahkan pada munculnya respon-respon tertentu baik berupa respon
fisik pada tubuh (sakit perut, pusing, jantung berdebar, dan sebagainya), atau
respon psikologis seperti kecemasan dan depresi. (Clifford T. Morgan, dkk.,
1986 : 321)
Kecemasan, pada tingkatan tertentu
merupakan hal yang normal dan akan selalu ada sepanjang kehidupan manusia. Pada
kadar ringan dan moderat, kecemasan membantu individu tetap siaga dan waspada
dalam menghadapi suatu peristiwa. Tetapi pada kadar berlebihan, dengan reaksi
yang berlebihan pula, kecemasan menjadi sesuatu yang menggangu dan ia dapat
digolongkan sebagai gangguan psikologis ( eastwood atwanter dan karen grovers
duffy, 1999 : 350)
Reaksi atas adanya situasi yang
menekan (stressor) tertentu berbeda
pada orang yang berbeda, setiap orang mempunyai perbedaan dalam menghadapi
stressor yang dapat di pengaruhi oleh sifat (berat atau ringannya) stressor,
tetapi juga di pengaruhi oleh kemampuan adaptasi dan kemampuan orang tersebut
dalam mengatasi (coping) stressor yang dihadapinya. Secara umum kehidupan
seseorang merupakan stressor yang penting. (T.H. Holmes, 1984, dalam
Clifford T. Morgan, Dkk., 1986 :321).
Ketika seseorang ‘harus’ memasuki
kehidupan barunya di penjara, mau tidak mau ia harus mengalami banyak
kehilangan, seperti kehilangan kemerdekaan yang disertai kehilangan otonomi,
kehilangan rasa aman, kehilangan perkerjaan serta pelayanan pribadi. (purnomo,
1992:8)
Kehilngan-kehilngan tersebut secara
sendiri-sendiri merupakan sumber stress (stressor)
bagi seseorang. Tidak mengherankan jika lapas dan rutan menjadi tempat yang
pontesial bagi timbulnya gangguan-gangguan psikologis seperti kecemasan dan
depresi. (David J. Cokke, Pamela J. Baldwin dan Jacqueline Howison, 1990 : 60)
Kehilangan atau terpisah dengan
anggota keluarga, perubahan aktivitas social, perubahan lingkungan (fisik
maupun social) secara mendadak, kehilngan pekerjaan, dalam skala stress (
Eastwood Adwanter dan Karen Grover Duffy, 1999 : 93 ) adalah sumber stress yang
potensial menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan dan depresi,
bahkan dalam kondisi ekstrem seringkali di ikuti dengan tindakan percobaan
bunuh diri atau bunuh diri itu sendiri.
Ada beragam cara seseorang dalam
menghadapi ( coping) situasi yang menimbulkan kecemasan. Ada dua tipe coping utama yang biasanya dapat
menurunkan stress karena adanya stressor, yaitu problem-focused coping ( langsung mengambil tindakan untuk
mengatasi masalah atau mencari informasi yang membantu untuk memecahkan masalah
) dan emotion focused coping (lebih menekankan
usaha untuk menurunkan emosi negative yang dirasakan ketika menghadapi masalah
atau tekanan, mengalihkan perhatian dari masalah). Keduanya dapat digunakan
secara fleksibel. Ketika maslah yang dihadapi masih berada dalam control
individu, maka problem-focused coping lebih tepat di gunakan. Tetapi pada
kasus-kasus tertentu, mengalihkan perhatian (emotion-focused coping), misalnya
menghadapi rasa takut, mungkin lebih tepat digunakan.
Reaksi kecemasan negative pada
tahanan relative lebih tinggi atau sering muncul. Reaksi kecemasan pada tahanan
atau narapidana dapat berupa letupan rasa marah (anger atau rising tension),
sulit tidur, hilangnya nafsu makan atau gejala termanifestasi kedalam
gejala-gejala sakit tertentu seperti sakit kepala, migrant, sakit perut (diare
dan sebagainya).
Dengan mengajarkan atau upaya memfasilitasi
tahanan dan narapidana untuk beradaptasi dengan lingkungan (barunya) merupakan
langkah yang sangat disarankan. Sejumlah penelitian menemukan dua factor utama
yang dapat menurunkan efek negative dari stress, yaitu bagaimana individu
berusaha menghadapi (coping) terhadap
situasi yang menekan dan keberadaan serta kualitas individu yang dapat
memberikan dukungan social.( fitri Fauziyah, Julianti Widuri, 2003 : 14-15).
Dalam hal coping usaha yang dapat
dilakukan oleh pihak lapas adalah memfasilitasi penyediaan sarana coping atau kegiatan-kegiatan
yang memungkinkan terjadinya stress reliefs (penurunan stress). Dalam dukungan
social mencakup dukungan structural, menyangkut jaringan hubungan social yang
dimiliki individu dan dukungan social funsional menyangkut kualitas dari
hubungan social yang dimiliki.
Stress Pada Penghuni Lapas
Berdasarkan data Direktorat Jendral Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan HAM , pada tahun 2006 angka bunuh diri di Lapas dan Rutan
cukup tinggi, yaitu 8 orang narapidana dan 11 orang tahanan.
Bunuh diri dapat diartikan sebagai ‘indikator terberat’ dan
paling jelas hubungannya dengan kondisi psikologis seseorang. Jika seseorang
samapi pada tindakan bunuh diri, adalah sangat mungkin bahwa
indicator-indikator dari gangguan psikologis lain (kecemasan, depresi) juga
terdapat pada dirinya.
Tulisan ini akan mencoba mengungkap apakah factor waktu
(lamanya waktu yang telah dijalani seorang tahanan atau narapidana di
Lapas/Rutan) berpengaruh terhadap tingkat gangguan psikologis. Juga menarik
untuk dikaji apakah ada perbedaan tingkat gangguan psikologis pada tahanan atau
narapidana pria dan wanita.
Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan
di 3 (tiga) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang kesemuanya berlokasi di
Tangerang, Banten, yaitu Lapas Kelas I, Lapas Pemuda dan Lapas Wanita dengan
melibatkan 345 orang yang terdiri dari 80 tahanan dan 265 narapidana dengan
rincian Lapas Kelas I Tangerang sebanyak 115 narapidana, Lapas Kelas IIA Pemuda
Tangerang sebanyak 41 orang tahanan dan 89 orang narapidana, Lapas Kelas IIA
Wanita Tangerang sebanyak 39 orang tahanan dan 61 orang narapidana.
Berdasarkan wawancara dengan pedoman kuesioner terhadap
ke-345 responden tersebut, diketahui bahwa respon atau reaksi individu terhadap
peristiwa yang menekan (stress) dapat berupa berbagai aspek atau level,
meliputi level fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku. Gangguan (sakit)
fisik dapat ditandai oleh adanya masalah fisik yang sesungguhnya, tetapi dapat
pula disebabkan dan diperparah oleh adanya factor-faktor emosional termasuk di
dalamnya stress.
Seringkali gangguan psikologis akan menyebabkan dan diikuti
oleh keluhan-keluhan secara fisik juga akan makin ‘parah’ jika disertai oleh
adanya gangguan psikologis. Pada level fisiologis, penelitian pada ketiga
lokasi menunjukkan bahwa keluhan yang paling menonjol dialami oleh responden
adalah keluhan badan pegal-pegal, sakit kepala, dan fatique atau rasa lelah
yang amat sangat.
Untuk emosi negative yang prevalensi kejadiannya cukup
sering dialami oleh responden yang tertinggi adalah perasaan khawatir, kemudian
perasaan sedih, perasaan takut tanpa alas an jelas dan mudah marah.
Gangguan psikologis juga berdampak pada perubahan cara
berpikir atau aspek kognitif individu. Depresi dapat diakibatkan oleh keadaan
tak berdaya, tetapi dapat pula mengakibatkan seseorang menjadi merasa tidak
berdaya, kehilangan kepercayaan diri dan putus asa. Pada level kognitif, gejala
yang paling menonjol yang dialami oleh responden adalah perasaan bersalah yang
berlebihan dan bahkan menyatakan selalu ‘dihantui’ oleh perasaan bersalah,
kemudian perasaan tidak berharga dan dengan presentase terendah adalah perasaan
putus asa.
Gangguan psikologis pada level fisik, emosi dan kognitif
akan dapat terlihat pada level perilaku individu. Pada level perilaku, gangguan
psikologis dapat termanisvestasi dalam bentuk perilaku sulit tidur atau bahkan
tidur berlebihan, tidak bersemangat, keinginan untuk menyendiri, bahkan
keinginan untuk melukai samapi keinginan untuk mengakhiri hidup yang dapat mengarahkan
seseorang pada tindakan perilaku sulit tidur. Pada aspek ini, perilaku sulit
tidur atau terjaga dari tidur di malam hari memiliki persentase tertinggi,
kemudian perilaku berikutnya adalah ingin melukai diri sendiri dan 5.5%
responden menyatakan sering dan selalu ingin mengakhiri hidup.
Terdapat perbedaan tingkat stress diantara ketiga lokasi
penelitian, dimana tingkat stress tertinggi dialami oleh responden di Lapas
Pemuda, kemudian diikuti oleh responden Lapas Wanita dan yang tingkat stressnya
terendah adalah responden pada Lapas Kelas I. Jika dilihat tingkat stress
berdasar jenis kelamin, penelitian ini menemukan bawa tingkat stress responden
pria lebih tinggi dibandingkan dengantingkat stress pada responden wanita.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa stress pada responden di
Lapas Wanita dan responden dengan jenis kelamin wanita tidak lebih tinggi.
Berdasarkan observasi dan wawancara mendalam dengan narapidana, diduga keadaan
‘overcrowed’ yang lebih parah di Lapas Pemuda-lah yang menjadi factor yang
memicu tingginya tingkat stress tersebut.
Keadaan ‘overcrowed’ yang lebih parah menjadikan pelayanan
pribadi dan akses responden di Lapas Pemuda dan Lapas Kelas I terhadap
aktivitas-aktivitas penurun stress menjadi sangat berkurang, sedangkan akses responden
di Lapas Wanita terhadap aktivitas penurun stress masih relative baik. Satu hal
yang sangat berbeda dan perlu dicatat, kesempatan responden di Lapas Wanita
untuk berkonsultasi dangan psikolog relative dapat terpenuhi dengan adanya
kerjasama pihak Lapas dengan pihak terkait.
Penelitian pada jurnal yang ditulis oleh Rias Tnati juga
menemukan bahwa ada perbedaan tingkat stress pada kategori usia yang berbeda.
Tingkat stress yang tertinggi dialami oleh responden pada rentang usia antara
20-31 tahun, kemudian diikuti oleh rentang usia 41-50 tahun, 31-40 tahu, dan
pada rentang usia berikutnya (50-61 tahun dan 61-70 tahun) tingkat stress makin
menurun. Emosi yang lebih stabil pada tahap perkembangan yang lebih lanjut,
bias jadi menjadi factor kunci dari keadaan makin rendahnya stress pada usia
lanjut. Adapula factor religiusitas yang bias jadi juga berperan dalam hal ini.
Robert F. Osterman dalam Soewondo (1993:23) menyatakan bahwa cara-cara
religious seperti membaca Al-Quran, sholat, dzikir dan berdoa merupapak cara
yang terbuktu ‘manjur’ dalam upaya menurunkan tingkat stress seseorang.
Berdasarkan lama waktu menjalani kehidupan di Lapas, derajat
stress terendah ada pada responden pada kategori waktu terlama dan tingkat
stress tertinggi justru dialami oleh responden pada rentang waktu moderat atau
pertengahan.
Pada pendekatan psikologik, stress dirumuskan sebagai suatu
keadaan psikologik yang merupakan representasi dari transaksi khas dan
problematic antara seseorang dengan lingkungannya. Stress merupakan penghayatan
yang subjektif dari seseorang atar stimulus yang diterimanya dari lingkungan.
Karena sifatnya subjektif, bias jadi tingginya tingkat stress pada rentang
waktu moderat terjadi karena penghayatan yang bersifat subjektif.
Dukungan social adalah factor penting dalam upaya menurunkan
stress pada seseorang. Yang dimaksud dengan dukungan social adalah suatu cara
teman-teman sesama warga binaan atau orang-orang dari lingkungan social lainnya
menbantu dalam memecahkan masalah umum maupun bersifat pribadi.
Sebuah hubungan
dengan lingkungan eksternal individu yang menempati lembaga pemasyarakatan
memiliki peranan yang besar dalam usaha meningkatkan atau menurunkan stress
yang dialami orang tersebut, seperti yang disebutkan dalam jurnal ini bahwa
“seseorang yang memiliki hubungan dan dukungan social yang baik dan sesuai akan
lebih mampu menangkal , mencegah, dan mengatasi stress”, adapun lingkungan
social yang dimaksud adalah orang –orang di sekeliling ataupun orang yang
penting bagi individu tersebut seperti teman sejawat, petugas, keluarga,
saudara dan lain sebagainya.
Dari hasil penelitian
jurnal ini ditemukan rata-rata dukungan social yang didapatkan pada individu di
lembaga pemasyarakatan dapat dikategorikan baik yaitu berkisar pada 70% tingkat
pemenuham. Kecuali pada bentuk dukungan yang diperoleh melalui kunjungan
keluarga pada tingkatan yang kurang yaitu pada level 45%. Dari penelitian ini
didapat pula bahwa tingkat stress terendah diperoleh oleh responden dengan
tingkat pemenuhan dukungan sosialnya tinggi.
Dari penelitian
Wijaya (1992) dalam Soewondo (1993:13) menemukan bahwa semakin tinggi dukungan
social yang dirasakan , semakin rendah stress yang dirasakan dan berlaku
sebaliknya. Dari hasil penelitian suwondo ditemukan bahwa keluarga juga dapat
menjadi penghambat atau mempercepat proses terjadinya stress.
Pada penghuni lapas,
factor dukungan keluarga memiliki peranan yang potensial untuk memicu
terjadinya proses pengurangan stress atau meningkatkan terjadinya stress karena
factor ketidakberdayaan mereka untuk menghandle secara langsung masalah-masalah
yang dihadapinya berkaitan keberadaan keluarganya. Tahanan dan narapidana akan
merasa tidak berdaya karena ketidakmampuannya untuk melakukan tindakan tertentu
sebagai jalan untuk mengatasi masalah jika masalah tersebut bersumber dari luar
lingkungan lapas. Fausiah (2003:115) menyatakan bahwa peristiwa menyakitkan
yang tidak dapat dikontrol potensial menimbulkan perasaan tidak berdaya dan
selanjutnya akan menimbulkan stress.
Strategi coping atau mekanisme pertahanan diri
individu terhadap stress yang dialaminya ada dua ,pertama,strategi yang
berfokus pada penanganan secara emosional dan kedua, strategi yang berfokus
pada pengentasan masalah. Kegiatan-kegiatan tertentu yang diperlukan di Lapas
sebagai wahana untuk menurunkan ketegangan atau sebgai tempat pelarian bagi tahanan
dan narapidana dalam usaha coping
terhadap stress. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktivitas yang berguna
untuk memperoleh katarsis atau
penyalur ketegangan dan dengan demikian dapat menjadi sarana coping yang berfokus pada emosi.
Selain itu, ditemukan
pula bahwa tingkat stress tertinggi tidak terjadi pada responden dengan tingkat
kebutuhan terbesar, pola tingkat stress turun sejalan dengan makin kecilya
tingkat kesenjangan pemenuhan kebutuhan, naik kembali pada tingkat kebutuhan
moderat kemudian turun kembali untuk kemudian baik sejalan dengan makin
besarnya tingkat kesenjangan pemenuhan kebutuhan akan aktivitas penurun stress.
Tingkat stress
terendah ditemukan pada responden dengan tingkat kesenjangan pemenuhan terendah
adalah sesuatu yang wajar. Hal tersebut sejalan dengan temuan berbagai
penelitian yang ada yang menyatakan bahwa aktivitas-ativitas penurun stress
berguna sebagai sarana katarsis. teknik katarsis ini diperlukan ketika stress
yang memang lebih tepat untuk dipecahkan dengan pendekatan pemecahan yang
berfokus pada emosi.
Dengan kata lain,
dari hasil penelitian ini dapat ditemukan fakta bahwa tingkat stress tertinggi
justru terjadi pada responden dengan tingkat kesenjangan pemenuhan kebutuhan
yang moderata dapat terjelaskan. Bila jadi stress yang terjadi pada sebagian
responden penelitian ini sebenarnya adalah stress yang seharusnya didekati
dengan pendekatan yang berfokus pada pemecahan masalah dan bukan pada emosi.
Pada tingkat stress yang demikian, katarsis hanya akan berhasil meredakan
ketegangan sementara waktu saja, dengan demikian tingkat stress hanya menurun
sementara untuk kemudian naik kembali karena sumber stressnya tetap tidak
tertalalu tersentuh.
Penutup
Stress bisa diartikan
sebagai suatu kondisi tegang yang tidak menyenangkan. Dalam kondisi stress
seseorang secara subjektif merasakan ada masalah yang membebeani dirinya.
Walaupun sebenarnya semua orang dapat mengalami stress, namun mungkin penghuni
Lapas adalah orang yang paling potensiak mengalami hal tersebut. Stress adalah
sebuah penyakit yang sudah ada dan menyatu dengan orang perorang yang berada di
Lapas yang dipengaruhi oleh sifat kehidaupan di Lapas itu sendiri.
Level stress yang
ditemukan pada responden mencakup stress level fisiologis (pegal-pegal, sakit
kepala), emosional (khawatir, takut), kognitif (perasaan tidak berharga dan
bersalah) dan level perilaku (sulit tidur dan tidak bersemangat).
Terdapat perbedaan
tingkatan stress antara responden dengan status tahanan dan narapidana, antara
pria dan wanita.,antara lokasi penelitian yang satu dengan yang lain,antara
tingkatan usia yang berbeda, antara penghuni Lapas lama dan penghuni baru,
antara responden dengan tingkat pemenuhan kebutuhan akan kegiatan penurun
stress yang berbeda.
Tidak ditemukan
adanya perbedaan tingkat stress yang berarti pada responden dengan tingkat
dukungan social yang berbeda. Serta terdapat pola hubungan yang tidak teratur
antara tingkat stress dengan variable-variabel bebas pada penelitian ini.
Keterkaitan dengan Konseling
Rehabilitasi
Keterkaitan hasil penelitian dalam jurnal ini dengan
konseling rehabilitasi sosial terletak pada beberapa aspek diantaranya pada
hal-hal sebagai berikut:
Tujuan Konseling Rehabilitasi Sosial
Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Brammer (1992)
dalam Mulawarman (2011) yang menjelaskan bahwa tujuan akhir dari Konseling
rehabilitasi sosial yaitu terarah pada terintegrasinya kembali kemampuan
individu yang sebelumnya mengalami hambatan dalam mencapai kebermaknaan baik
bagi dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosialnya.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil simpulan bahwa dalam
proses konseling rehabilitasi social fokus utama konselor rehabilitasi social
yaitu membantu seseorang yang mengalami hambatan untuk mencapai kebermaknaan
bagi diri dan orang lain. Dari jurnal tersebut ditemukan bahwa dalam setting
Lembaga Pemasyarakatan, kemungkinan besar akan ditemukan seorang Konseli dengan
berbagai permasalahan, adapun permasalahan yang sering ditemukan yaitu stress di dalam Lingkungan kehidupan
Lapas.
Dari jurnal tersebut juga memberikan gambaran konselor
rehabilitasi social mengenai usaha apa yang sekiranya dapat dilakukan seorang
konselor rehabilitasi social jika menemukan seorang konseli dalam tempat
praktik mengalami gangguan stress. Adapun usaha yang dapat dilakukan seorang
konselor rehabilitasi social guna mengembalikan fungsi-fungsi kemampuan dan
keterampilan individu dalam menangani masalahnya yaitu dengan
mengajarkan atau upaya memfasilitasi tahanan dan narapidana untuk beradaptasi
dengan lingkungan (barunya) dengan strategi Coping.
Fungsi Konselor dalam Konseling Rehabilitasi Sosial
Dari Departemen tenaga kerja (Gladding,2000 dalam Mulawarman)
menjelaskan beberapa hal Fungsi konselor dalam Konseling rehabilitasi social
diantaranya yaitu:
1.
Melakukan praktik Konseling
Perorangan
2.
Melatih potensi dalam diri
individu
3.
Menyediakan alat-alat yang
dapat membantu proses rehabilitasi
4.
Sebagai agen Konsultasi
5.
Sebagai hubungan masyarakat
Dari keterangan diatas, hubungan antara jurnal ini dengan konseling
rehabilitasi social dapat diamatai pada beberapa aspek fungsi Konselor
rehabilitasi social diatas. Pada aspek yang pertama, seorang konselor perlu
melakukan praktik konseling perorangan dalam setting rehabilitasi social dengan
fokus pemecahan masalah stress yang dihadapi individu dengan menciptakan kondisi
fasilitatif dan melatih kemampuan konseli untuk dapat mengatasi ketegangan
akibat stress yang dialami individu melalui strategi coping.
Di sisi lain, dengan adanya praktik konseling individu seorang
konselor juga telah menciptakan sebuah pemenuhan kebutuhan social yang
sekiranya diperlukan seorang konseli dengan ganggugan stress dalam lingkungan
Lapas serta sekaligus menjadi agen konsultasi.
Contoh aplikasi Strategi Coping
untuk menangani stress pada narapidana dan tahanan di Lapas.
a.
Emotion Focused Coping
Takut :
dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang dapat mengurangi rasat takut. Seperti,
“bukankah tidak Cuma anda yang pernah tinggal disini?”
Merasa Bersalah : apakah
jika anda tidak pernah berada disini, anda merasa bahwa anda tidak pernah
melakukan sebuah kesalahan?
b.
Problem Focused Coping
Sakit kepala : mencari
penyebab sakit kepala (Stressornya),
kemudian dicari langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penyebab
sakit kepala tersebut.
Tidak bersemangat : mencari
penyebab tidak bersemangat (Stressornya),
kemudian dicari langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penyebab
ketidaksemangatan tersebut.
Adapun gambaran contoh pemecahan masalah dengan strategi coping
dapat dilihat dalam matrik berikut
No
|
Jenis Coping
|
Bentuk Stress
|
Penerapan
|
1.
|
Emotion Focused
Coping
|
Merasa bersalah
|
Konseli diminta
untuk melakukan sesuatu hal yang dapat mengurangi tingkat merasa bersalahnya
misal dengan cara dirinya dapat melakukan sesuatu hal yang bermakna dalam
kehidupan dalam Lapas
|
2.
|
Problem Focused
Coping
|
Tidak
bersemangat
|
Konseli
dianalisis masalahnya, kemudian dilakukan sintesis , dilakukan diagnosis dan
dilakukan treatment dengan tindak lanjut sebagai tahapan konseling selanjutnya.
|
DAFTAR PUSTAKA
Mulawarman.2011.Konseling Rehabilitasi Sosial.Semarang:FIP
UNNES
Tanti,Rias.2007.Stres dan Kehidupan Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan.___.___