Jumat, 22 Juni 2012

STRESS PADA PENGHUNI LAPAS



Review jurnal dari hasil penelitian Rias Tanti Dengan Judul Stress Dan Kehidupan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan

Pendahuluan
Lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan Negara (rutan) secara “alami” adalah tempat yang stressfull atau menekan.Terminology stress megacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperature, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang di nilai mengancam atau membahayakan. Keadaan fisik, lingkungan social dan situasi sosial yang mengakibatkan stress di sebut stressor. Stressor tertentu mengakibatkan keadaan stress kemudian mengarahkan pada munculnya respon-respon tertentu baik berupa respon fisik pada tubuh (sakit perut, pusing, jantung berdebar, dan sebagainya), atau respon psikologis seperti kecemasan dan depresi. (Clifford T. Morgan, dkk., 1986 : 321)
            Kecemasan, pada tingkatan tertentu merupakan hal yang normal dan akan selalu ada sepanjang kehidupan manusia. Pada kadar ringan dan moderat, kecemasan membantu individu tetap siaga dan waspada dalam menghadapi suatu peristiwa. Tetapi pada kadar berlebihan, dengan reaksi yang berlebihan pula, kecemasan menjadi sesuatu yang menggangu dan ia dapat digolongkan sebagai gangguan psikologis ( eastwood atwanter dan karen grovers duffy, 1999 : 350)
            Reaksi atas adanya situasi yang menekan (stressor) tertentu berbeda pada orang yang berbeda, setiap orang mempunyai perbedaan dalam menghadapi stressor yang dapat di pengaruhi oleh sifat (berat atau ringannya) stressor, tetapi juga di pengaruhi oleh kemampuan adaptasi dan kemampuan orang tersebut dalam mengatasi (coping) stressor  yang dihadapinya. Secara umum kehidupan seseorang merupakan stressor  yang penting. (T.H. Holmes, 1984, dalam Clifford T. Morgan, Dkk., 1986 :321).
            Ketika seseorang ‘harus’ memasuki kehidupan barunya di penjara, mau tidak mau ia harus mengalami banyak kehilangan, seperti kehilangan kemerdekaan yang disertai kehilangan otonomi, kehilangan rasa aman, kehilangan perkerjaan serta pelayanan pribadi. (purnomo, 1992:8)
            Kehilngan-kehilngan tersebut secara sendiri-sendiri merupakan sumber stress (stressor) bagi seseorang.  Tidak mengherankan  jika lapas dan rutan menjadi tempat yang pontesial bagi timbulnya gangguan-gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi. (David J. Cokke, Pamela J. Baldwin dan Jacqueline Howison, 1990 : 60)
            Kehilangan atau terpisah dengan anggota keluarga, perubahan aktivitas social, perubahan lingkungan (fisik maupun social) secara mendadak, kehilngan pekerjaan, dalam skala stress ( Eastwood Adwanter dan Karen Grover Duffy, 1999 : 93 ) adalah sumber stress yang potensial menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan dan depresi, bahkan dalam kondisi ekstrem seringkali di ikuti dengan tindakan percobaan bunuh diri  atau bunuh diri itu sendiri.
            Ada beragam cara seseorang dalam menghadapi ( coping) situasi yang menimbulkan kecemasan. Ada dua tipe coping utama yang biasanya dapat menurunkan stress karena adanya stressor, yaitu problem-focused coping ( langsung mengambil tindakan untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang membantu untuk memecahkan masalah ) dan  emotion focused coping (lebih menekankan usaha untuk menurunkan emosi negative yang dirasakan ketika menghadapi masalah atau tekanan, mengalihkan perhatian dari masalah). Keduanya dapat digunakan secara fleksibel. Ketika maslah yang dihadapi masih berada dalam control individu, maka problem-focused coping  lebih tepat di gunakan. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, mengalihkan perhatian (emotion-focused coping), misalnya menghadapi rasa takut, mungkin lebih tepat digunakan.
            Reaksi kecemasan negative pada tahanan relative lebih tinggi atau sering muncul. Reaksi kecemasan pada tahanan atau narapidana dapat berupa letupan rasa marah (anger atau rising tension), sulit tidur, hilangnya nafsu makan atau gejala termanifestasi kedalam gejala-gejala sakit tertentu seperti sakit kepala, migrant, sakit perut (diare dan sebagainya). 
            Dengan mengajarkan atau upaya memfasilitasi tahanan dan narapidana untuk beradaptasi dengan lingkungan (barunya) merupakan langkah yang sangat disarankan. Sejumlah penelitian menemukan dua factor utama yang dapat menurunkan efek negative dari stress, yaitu bagaimana individu berusaha menghadapi (coping) terhadap situasi yang menekan dan keberadaan serta kualitas individu yang dapat memberikan dukungan social.( fitri Fauziyah, Julianti Widuri, 2003 : 14-15).
            Dalam hal coping usaha yang dapat dilakukan oleh pihak lapas adalah memfasilitasi penyediaan sarana coping atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan terjadinya stress reliefs (penurunan stress). Dalam dukungan social mencakup dukungan structural, menyangkut jaringan hubungan social yang dimiliki individu dan dukungan social funsional menyangkut kualitas dari hubungan social yang dimiliki.

Stress Pada Penghuni Lapas
            Berdasarkan data Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM , pada tahun 2006 angka bunuh diri di Lapas dan Rutan cukup tinggi, yaitu 8 orang narapidana dan 11 orang tahanan.
Bunuh diri dapat diartikan sebagai ‘indikator terberat’ dan paling jelas hubungannya dengan kondisi psikologis seseorang. Jika seseorang samapi pada tindakan bunuh diri, adalah sangat mungkin bahwa indicator-indikator dari gangguan psikologis lain (kecemasan, depresi) juga terdapat pada dirinya.
Tulisan ini akan mencoba mengungkap apakah factor waktu (lamanya waktu yang telah dijalani seorang tahanan atau narapidana di Lapas/Rutan) berpengaruh terhadap tingkat gangguan psikologis. Juga menarik untuk dikaji apakah ada perbedaan tingkat gangguan psikologis pada tahanan atau narapidana pria dan wanita.
Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan di 3 (tiga) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang kesemuanya berlokasi di Tangerang, Banten, yaitu Lapas Kelas I, Lapas Pemuda dan Lapas Wanita dengan melibatkan 345 orang yang terdiri dari 80 tahanan dan 265 narapidana dengan rincian Lapas Kelas I Tangerang sebanyak 115 narapidana, Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang sebanyak 41 orang tahanan dan 89 orang narapidana, Lapas Kelas IIA Wanita Tangerang sebanyak 39 orang tahanan dan 61 orang narapidana.
Berdasarkan wawancara dengan pedoman kuesioner terhadap ke-345 responden tersebut, diketahui bahwa respon atau reaksi individu terhadap peristiwa yang menekan (stress) dapat berupa berbagai aspek atau level, meliputi level fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku. Gangguan (sakit) fisik dapat ditandai oleh adanya masalah fisik yang sesungguhnya, tetapi dapat pula disebabkan dan diperparah oleh adanya factor-faktor emosional termasuk di dalamnya stress.
Seringkali gangguan psikologis akan menyebabkan dan diikuti oleh keluhan-keluhan secara fisik juga akan makin ‘parah’ jika disertai oleh adanya gangguan psikologis. Pada level fisiologis, penelitian pada ketiga lokasi menunjukkan bahwa keluhan yang paling menonjol dialami oleh responden adalah keluhan badan pegal-pegal, sakit kepala, dan fatique atau rasa lelah yang amat sangat.
Untuk emosi negative yang prevalensi kejadiannya cukup sering dialami oleh responden yang tertinggi adalah perasaan khawatir, kemudian perasaan sedih, perasaan takut tanpa alas an jelas dan mudah marah.
Gangguan psikologis juga berdampak pada perubahan cara berpikir atau aspek kognitif individu. Depresi dapat diakibatkan oleh keadaan tak berdaya, tetapi dapat pula mengakibatkan seseorang menjadi merasa tidak berdaya, kehilangan kepercayaan diri dan putus asa. Pada level kognitif, gejala yang paling menonjol yang dialami oleh responden adalah perasaan bersalah yang berlebihan dan bahkan menyatakan selalu ‘dihantui’ oleh perasaan bersalah, kemudian perasaan tidak berharga dan dengan presentase terendah adalah perasaan putus asa.
Gangguan psikologis pada level fisik, emosi dan kognitif akan dapat terlihat pada level perilaku individu. Pada level perilaku, gangguan psikologis dapat termanisvestasi dalam bentuk perilaku sulit tidur atau bahkan tidur berlebihan, tidak bersemangat, keinginan untuk menyendiri, bahkan keinginan untuk melukai samapi keinginan untuk mengakhiri hidup yang dapat mengarahkan seseorang pada tindakan perilaku sulit tidur. Pada aspek ini, perilaku sulit tidur atau terjaga dari tidur di malam hari memiliki persentase tertinggi, kemudian perilaku berikutnya adalah ingin melukai diri sendiri dan 5.5% responden menyatakan sering dan selalu ingin mengakhiri hidup.
Terdapat perbedaan tingkat stress diantara ketiga lokasi penelitian, dimana tingkat stress tertinggi dialami oleh responden di Lapas Pemuda, kemudian diikuti oleh responden Lapas Wanita dan yang tingkat stressnya terendah adalah responden pada Lapas Kelas I. Jika dilihat tingkat stress berdasar jenis kelamin, penelitian ini menemukan bawa tingkat stress responden pria lebih tinggi dibandingkan dengantingkat stress pada responden wanita.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa stress pada responden di Lapas Wanita dan responden dengan jenis kelamin wanita tidak lebih tinggi. Berdasarkan observasi dan wawancara mendalam dengan narapidana, diduga keadaan ‘overcrowed’ yang lebih parah di Lapas Pemuda-lah yang menjadi factor yang memicu tingginya tingkat stress tersebut.
Keadaan ‘overcrowed’ yang lebih parah menjadikan pelayanan pribadi dan akses responden di Lapas Pemuda dan Lapas Kelas I terhadap aktivitas-aktivitas penurun stress menjadi sangat berkurang, sedangkan akses responden di Lapas Wanita terhadap aktivitas penurun stress masih relative baik. Satu hal yang sangat berbeda dan perlu dicatat, kesempatan responden di Lapas Wanita untuk berkonsultasi dangan psikolog relative dapat terpenuhi dengan adanya kerjasama pihak Lapas dengan pihak terkait.
Penelitian pada jurnal yang ditulis oleh Rias Tnati juga menemukan bahwa ada perbedaan tingkat stress pada kategori usia yang berbeda. Tingkat stress yang tertinggi dialami oleh responden pada rentang usia antara 20-31 tahun, kemudian diikuti oleh rentang usia 41-50 tahun, 31-40 tahu, dan pada rentang usia berikutnya (50-61 tahun dan 61-70 tahun) tingkat stress makin menurun. Emosi yang lebih stabil pada tahap perkembangan yang lebih lanjut, bias jadi menjadi factor kunci dari keadaan makin rendahnya stress pada usia lanjut. Adapula factor religiusitas yang bias jadi juga berperan dalam hal ini. Robert F. Osterman dalam Soewondo (1993:23) menyatakan bahwa cara-cara religious seperti membaca Al-Quran, sholat, dzikir dan berdoa merupapak cara yang terbuktu ‘manjur’ dalam upaya menurunkan tingkat stress seseorang.
Berdasarkan lama waktu menjalani kehidupan di Lapas, derajat stress terendah ada pada responden pada kategori waktu terlama dan tingkat stress tertinggi justru dialami oleh responden pada rentang waktu moderat atau pertengahan.
Pada pendekatan psikologik, stress dirumuskan sebagai suatu keadaan psikologik yang merupakan representasi dari transaksi khas dan problematic antara seseorang dengan lingkungannya. Stress merupakan penghayatan yang subjektif dari seseorang atar stimulus yang diterimanya dari lingkungan. Karena sifatnya subjektif, bias jadi tingginya tingkat stress pada rentang waktu moderat terjadi karena penghayatan yang bersifat subjektif.
Dukungan social adalah factor penting dalam upaya menurunkan stress pada seseorang. Yang dimaksud dengan dukungan social adalah suatu cara teman-teman sesama warga binaan atau orang-orang dari lingkungan social lainnya menbantu dalam memecahkan masalah umum maupun bersifat pribadi.
Sebuah hubungan dengan lingkungan eksternal individu yang menempati lembaga pemasyarakatan memiliki peranan yang besar dalam usaha meningkatkan atau menurunkan stress yang dialami orang tersebut, seperti yang disebutkan dalam jurnal ini bahwa “seseorang yang memiliki hubungan dan dukungan social yang baik dan sesuai akan lebih mampu menangkal , mencegah, dan mengatasi stress”, adapun lingkungan social yang dimaksud adalah orang –orang di sekeliling ataupun orang yang penting bagi individu tersebut seperti teman sejawat, petugas, keluarga, saudara dan lain sebagainya.
Dari hasil penelitian jurnal ini ditemukan rata-rata dukungan social yang didapatkan pada individu di lembaga pemasyarakatan dapat dikategorikan baik yaitu berkisar pada 70% tingkat pemenuham. Kecuali pada bentuk dukungan yang diperoleh melalui kunjungan keluarga pada tingkatan yang kurang yaitu pada level 45%. Dari penelitian ini didapat pula bahwa tingkat stress terendah diperoleh oleh responden dengan tingkat pemenuhan dukungan sosialnya tinggi.
Dari penelitian Wijaya (1992) dalam Soewondo (1993:13) menemukan bahwa semakin tinggi dukungan social yang dirasakan , semakin rendah stress yang dirasakan dan berlaku sebaliknya. Dari hasil penelitian suwondo ditemukan bahwa keluarga juga dapat menjadi penghambat atau mempercepat proses terjadinya stress.
Pada penghuni lapas, factor dukungan keluarga memiliki peranan yang potensial untuk memicu terjadinya proses pengurangan stress atau meningkatkan terjadinya stress karena factor ketidakberdayaan mereka untuk menghandle secara langsung masalah-masalah yang dihadapinya berkaitan keberadaan keluarganya. Tahanan dan narapidana akan merasa tidak berdaya karena ketidakmampuannya untuk melakukan tindakan tertentu sebagai jalan untuk mengatasi masalah jika masalah tersebut bersumber dari luar lingkungan lapas. Fausiah (2003:115) menyatakan bahwa peristiwa menyakitkan yang tidak dapat dikontrol potensial menimbulkan perasaan tidak berdaya dan selanjutnya akan menimbulkan stress.
Strategi coping atau mekanisme pertahanan diri individu terhadap stress yang dialaminya ada dua ,pertama,strategi yang berfokus pada penanganan secara emosional dan kedua, strategi yang berfokus pada pengentasan masalah. Kegiatan-kegiatan tertentu yang diperlukan di Lapas sebagai wahana untuk menurunkan ketegangan atau sebgai tempat pelarian bagi tahanan dan narapidana dalam usaha coping terhadap stress. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktivitas yang berguna untuk memperoleh katarsis atau penyalur ketegangan dan dengan demikian dapat menjadi sarana coping yang berfokus pada emosi.
Selain itu, ditemukan pula bahwa tingkat stress tertinggi tidak terjadi pada responden dengan tingkat kebutuhan terbesar, pola tingkat stress turun sejalan dengan makin kecilya tingkat kesenjangan pemenuhan kebutuhan, naik kembali pada tingkat kebutuhan moderat kemudian turun kembali untuk kemudian baik sejalan dengan makin besarnya tingkat kesenjangan pemenuhan kebutuhan akan aktivitas penurun stress.
Tingkat stress terendah ditemukan pada responden dengan tingkat kesenjangan pemenuhan terendah adalah sesuatu yang wajar. Hal tersebut sejalan dengan temuan berbagai penelitian yang ada yang menyatakan bahwa aktivitas-ativitas penurun stress berguna sebagai sarana katarsis. teknik katarsis ini diperlukan ketika stress yang memang lebih tepat untuk dipecahkan dengan pendekatan pemecahan yang berfokus pada emosi.
Dengan kata lain, dari hasil penelitian ini dapat ditemukan fakta bahwa tingkat stress tertinggi justru terjadi pada responden dengan tingkat kesenjangan pemenuhan kebutuhan yang moderata dapat terjelaskan. Bila jadi stress yang terjadi pada sebagian responden penelitian ini sebenarnya adalah stress yang seharusnya didekati dengan pendekatan yang berfokus pada pemecahan masalah dan bukan pada emosi. Pada tingkat stress yang demikian, katarsis hanya akan berhasil meredakan ketegangan sementara waktu saja, dengan demikian tingkat stress hanya menurun sementara untuk kemudian naik kembali karena sumber stressnya tetap tidak tertalalu tersentuh.

Penutup
Stress bisa diartikan sebagai suatu kondisi tegang yang tidak menyenangkan. Dalam kondisi stress seseorang secara subjektif merasakan ada masalah yang membebeani dirinya. Walaupun sebenarnya semua orang dapat mengalami stress, namun mungkin penghuni Lapas adalah orang yang paling potensiak mengalami hal tersebut. Stress adalah sebuah penyakit yang sudah ada dan menyatu dengan orang perorang yang berada di Lapas yang dipengaruhi oleh sifat kehidaupan di Lapas itu sendiri.
Level stress yang ditemukan pada responden mencakup stress level fisiologis (pegal-pegal, sakit kepala), emosional (khawatir, takut), kognitif (perasaan tidak berharga dan bersalah) dan level perilaku (sulit tidur dan tidak bersemangat).
Terdapat perbedaan tingkatan stress antara responden dengan status tahanan dan narapidana, antara pria dan wanita.,antara lokasi penelitian yang satu dengan yang lain,antara tingkatan usia yang berbeda, antara penghuni Lapas lama dan penghuni baru, antara responden dengan tingkat pemenuhan kebutuhan akan kegiatan penurun stress yang berbeda.
Tidak ditemukan adanya perbedaan tingkat stress yang berarti pada responden dengan tingkat dukungan social yang berbeda. Serta terdapat pola hubungan yang tidak teratur antara tingkat stress dengan variable-variabel bebas pada penelitian ini.

Keterkaitan dengan Konseling Rehabilitasi
Keterkaitan hasil penelitian dalam jurnal ini dengan konseling rehabilitasi sosial terletak pada beberapa aspek diantaranya pada hal-hal sebagai berikut:
Tujuan Konseling Rehabilitasi Sosial
Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Brammer (1992) dalam Mulawarman (2011) yang menjelaskan bahwa tujuan akhir dari Konseling rehabilitasi sosial yaitu terarah pada terintegrasinya kembali kemampuan individu yang sebelumnya mengalami hambatan dalam mencapai kebermaknaan baik bagi dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosialnya.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil simpulan bahwa dalam proses konseling rehabilitasi social fokus utama konselor rehabilitasi social yaitu membantu seseorang yang mengalami hambatan untuk mencapai kebermaknaan bagi diri dan orang lain. Dari jurnal tersebut ditemukan bahwa dalam setting Lembaga Pemasyarakatan, kemungkinan besar akan ditemukan seorang Konseli dengan berbagai permasalahan, adapun permasalahan yang sering ditemukan  yaitu stress di dalam Lingkungan kehidupan Lapas.
Dari jurnal tersebut juga memberikan gambaran konselor rehabilitasi social mengenai usaha apa yang sekiranya dapat dilakukan seorang konselor rehabilitasi social jika menemukan seorang konseli dalam tempat praktik mengalami gangguan stress. Adapun usaha yang dapat dilakukan seorang konselor rehabilitasi social guna mengembalikan fungsi-fungsi kemampuan dan keterampilan individu dalam menangani masalahnya yaitu dengan mengajarkan atau upaya memfasilitasi tahanan dan narapidana untuk beradaptasi dengan lingkungan (barunya) dengan strategi Coping.
Fungsi Konselor dalam Konseling Rehabilitasi Sosial
Dari Departemen tenaga kerja (Gladding,2000 dalam Mulawarman) menjelaskan beberapa hal Fungsi konselor dalam Konseling rehabilitasi social diantaranya yaitu:
1.     Melakukan praktik Konseling Perorangan
2.     Melatih potensi dalam diri individu
3.     Menyediakan alat-alat yang dapat membantu proses rehabilitasi
4.     Sebagai agen Konsultasi
5.     Sebagai hubungan masyarakat
Dari keterangan diatas, hubungan antara jurnal ini dengan konseling rehabilitasi social dapat diamatai pada beberapa aspek fungsi Konselor rehabilitasi social diatas. Pada aspek yang pertama, seorang konselor perlu melakukan praktik konseling perorangan dalam setting rehabilitasi social dengan fokus pemecahan masalah stress yang dihadapi individu dengan menciptakan kondisi fasilitatif dan melatih kemampuan  konseli untuk dapat mengatasi ketegangan akibat stress yang dialami individu melalui strategi coping.
Di sisi lain, dengan adanya praktik konseling individu seorang konselor juga telah menciptakan sebuah pemenuhan kebutuhan social yang sekiranya diperlukan seorang konseli dengan ganggugan stress dalam lingkungan Lapas serta sekaligus menjadi agen konsultasi.
Contoh aplikasi Strategi Coping untuk menangani stress pada narapidana dan tahanan di Lapas.
a.      Emotion Focused Coping
Takut                           : dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang dapat mengurangi rasat takut. Seperti, “bukankah tidak Cuma anda yang pernah tinggal disini?”
Merasa Bersalah         : apakah jika anda tidak pernah berada disini, anda merasa bahwa anda tidak pernah melakukan sebuah kesalahan?

b.     Problem Focused Coping
Sakit kepala                : mencari penyebab sakit kepala (Stressornya), kemudian dicari langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penyebab sakit kepala tersebut.
Tidak bersemangat     : mencari penyebab tidak bersemangat (Stressornya), kemudian dicari langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penyebab ketidaksemangatan tersebut.
Adapun gambaran contoh pemecahan masalah dengan strategi coping dapat dilihat dalam matrik berikut

No
Jenis Coping
Bentuk Stress
Penerapan
1.      
Emotion Focused Coping
Merasa bersalah
Konseli diminta untuk melakukan sesuatu hal yang dapat mengurangi tingkat merasa bersalahnya misal dengan cara dirinya dapat melakukan sesuatu hal yang bermakna dalam kehidupan dalam Lapas
2.      
Problem Focused Coping
Tidak bersemangat
Konseli dianalisis masalahnya, kemudian dilakukan sintesis , dilakukan diagnosis dan dilakukan treatment dengan tindak lanjut sebagai tahapan konseling selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Mulawarman.2011.Konseling Rehabilitasi Sosial.Semarang:FIP UNNES
Tanti,Rias.2007.Stres dan Kehidupan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan.___.___

Littlre snake pin