Sabtu, 23 Juni 2012

PERILAKU PROSOSIAL DAN ANTISOSIAL


BAB 1
PENDAHULUAN
1       Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam menjalani kehidupannya, dari lahir sampai meninggal dunia. Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka seyogyanya kita juga sukarela menolong atau memberikan baantuan terhadap orang lain. Perilaku menolong ini biasa disebut perilaku prososial. Namun, adakalanya apa yang ada dalam dunia nyata tidak seperti yang dibayangkan, tidak sedikit pula orang yang justru malah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, melanggar norma, aturan, dan hukum tanpa ada penyesalan setelahnya. Perilaku semacam ini disebut sebagai perilaku antisosial, yang merupakan lawan dari perilaku prososial.
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling sebagai calon konselor yang mempunyai tugas dalam membantu individu mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki, dan permasalahan yang dihadapi agar tercapai kehidupan efektif sehari-hari sudah sepantasnya mengetahui perilaku-perilaku yang masih ada dalam ruang lingkup bimbingan dan konseling. Dalam pembahasan makalah ini akan diulas mengenai perilaku prososial dan antisosial secara lebih mendalam. Sesuai dengan mata kuliah ini yaitu Konseling Rehabilitasi Sosial, mengkaji perilaku-perilaku yang ada di lingkungan sosial sangatlah diperlukan agar calon konselor dapat mengetahui dan memahami perilaku, gangguan-gangguan yang dapat berpengaruh pada diri individu dalam lingkungan sosialnya.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.     Perilaku Prososial

2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial

Menurut Baron & Byrne (dalam Hasniani, 2011) perilaku prososial sebagai segala tindakan apapun yang menguntungkan orang lain. Secara umum istilah ini diaplikasikan kepada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong (dalam multiply.com). Sedangkan menurut Dahriani (2007: 30) perilaku prososial adalah perilaku yang mempunyai tingkat pengorbanan tertentu yang tujuannya memberikan keuntungan bagi orang lain baik fisik maupun psikologis, menciptakan perdamaian dan meningkatkan toleransi hidup terhadap sesama, namun tidak ada keuntungan yang jelas bagi individu yang melakukan tindakan.
Berdasarkan definisi perilaku prososial yang telah diuraikan oleh beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku sosial positif dimana perilaku tersebut mempunyai tingkat pengorbanan tertentu yang dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak lain yang tujuannya memberikan keuntungan bagi orang lain baik fisik maupun psikologis, menciptakan perdamaian dan meningkatkan toleransi hidup terhadap sesama, namun perilaku tersebut tidak ada keuntungan yang jelas bagi individu yang melakukannya, hanya perasaan puas, bangga, dan bahagia yang dirasakan oleh individu yang melakukan tindakan tersebut.
  
2.1.2. Ciri-Ciri Perilaku Prososial
            Menurut Staub ada 3 (tiga) ciri seseorang dikatakan menunjukkan perilaku prososial, yaitu: (dalam Hasniani, 2011)
a.      Tindakan tersebut berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pemberi bantuan
b.     Tindakan tersebut dilahirkan secara sukarela
c.      Tindakan tersebut menghasilkan kebaikan

2.1.3. Faktor yang Mendasari Seorang untuk Bertindak Prososial
            Dalam situasi tertentu, keputusan untuk menolong melibatkan proses pemikiran yang kompleks dan pengambilan keputusan yang rasional. Adapun beberapa faktor yang mendasari seorang untuk bertindak prososial yaitu (Hanianni, 2011):
a.      Self-gain yaitu harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian, atau takut dikucilkan
b.     Personal values and norms yaitu adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagaian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
c.      Empathy yaitu kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
            Faktor-faktor yang spesifik mempengaruhi perilaku prososial antara lain, karakteristik situasi, karakteristik penolong, dan karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan (Sears dkk, 1994: 61 dalam Dahriani, 2007: 38) :
a.      Faktor Situasional, meliputi :
1.     Kehadiran Orang Lain
Individu yang sendirian lebih cenderung memberikan reaksi jika terdapat situasi darurat ketimbang bila ada orang lain yang mengetahui situasi tersebut. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu yang benar-benar memberikan pertolngan. Faktor ini sering disebut dengan efek penonton (bystander effect). Individu yang sendirian menyaksikan orang lain mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut.
2.     Kondisi Lingkungan
Keadaan fisik lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Pengaruh kondisi lingkungan ini seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan.
3.     Tekanan Waktu
Tekanan waktu menimbulkan dampak yang kuat terhadap pemberiaan bantuan. Individu yang tergesa-gesa karena waktu sering mengabaikan pertolongan yang ada di depannya.
b.     Penolong, meliputi :
1.     Faktor Kepribadian
Adanya ciri kepribadian tertentu yang mendorong individu untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam situasi yang lain. Misalnya, individu yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih cenderung memberikan sumbangan bagi kepentingan amal, tetapi hanya bila orang lain menyaksikannya. Individu tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga berperilaku lebih prososial hanya bila tindakan itu diperhatikan.
2.     Suasana Hati
Individu lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila berada dalam suasana hati yang baik, dengan kata lain, suasana perasaan posiif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk melakukan perilaku prososial.
3.     Rasa Bersalah
Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah bisa menyebabkan individu menolong orang yang dirugikannya, atau berusaha menghlangkannya dengan melkukan tindakan yang baik.
4.     Distres dan Rasa Empatik
Distres diri (personal disterss) adalah reaksi pribadi individu terhadap penderitaan orang lain, seperti perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialaminya. Sebaliknya, rasa empatik (emphatic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Distres diri terfokus pada diri sendiri yaitu memotivasi diri sendiri untuk mengurangi kegelisahan pada diri sendiri dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi juga dapat melakukannya denagn menghindari situasi tersebut atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik terfokus pada si korban yaitu hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada dalam kesulitan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
c.      Orang yang Membutuhkan Pertolongan, meliputi :
1.   Menolong orang yang disukai
Rasa suka awal individu terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik dan kesamaan. Karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan pada orang yang mengalami kesulitan. Sedangkan individu yang meiliki daya tarik fisik mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menerima bantuan. Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antara orang seperti yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, individu lebih suka menolong teman dekat daripada orang asing.
2.     Menolong orang yang pantas ditolong
Individu membuat penilaian sejauh mana kelayakan kebutuhan yang diperlukan orang lain, apakah orang tersebut layak untuk diberi pertolongan atau tidak. Penilaian tersebut dengan cara menarik kesimpulan tentang sebab-sebab timbulnya kebutuhan orang tersebut. Individu lebih cenderung menolong orang lain bila yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut.
           
2.1.5. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial
            Menurut Mussen (1989:360, dalam Dahriani, 2007: 34) bentuk-bentuk perilaku prososial memiliki beberapa macam, diantaranya yaitu sebagai berikut :
a.      Berbagi (sharing), yaitu kesedian memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain yang sedang mengalami kesulitan, baik berupa moril maupun materiil. Menolong meliputi membantu orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain.
b.     Kerjasama (Cooperating), yaitu kesediaan untuk bekerja sama denagn orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Cooperating biasanay saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong dan menenangkan.
c.      Bertindak jujur (Honesty), yaitu kesediaan untuk melaukukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang terhadap orang lain.
d.     Berderma (Donatig), yaitu kesedian untuk memberikan secara sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkannya.

2.1.6. Cara Meningkatkan Perilaku Prososial
            Adapun beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial antara lain: (dalam Umm.ac.id)
a.      Menyebarluaskan penayangan model perilaku prososial
Dalam mengembangkan perilaku-perilaku tertentu kita dapat melakukan melalui pendekatan behavioral dengan model belajar sosial. Pembentukan perilaku prososial dapat kita lakukan dengan sering memberikan stimulus tentang perilaku-perilaku baik (membantu orang yang kesulitan dan lain sebagainya). Semakin sering seseorang memperoleh stimulus, misalnya melalui media massa semakin mudah akan melakukan proses imitasi (meniru) terhadap perilaku tersebut.
b.     Memberikan penekanan terhadap norma-norma prososial.
Norma-norma di masyarakat yang memberikan penekanan terhadap tanggungjawab sosial dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat umum. Longgarnya sosialisasi dan pembelajaran terhadap norma-norma ini akan mendorong munculnya prilaku anti-sosial atau tidak peduli dengan lingkungan sekitar dan hal ini sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan psikologis dan sosial seseorang.
c.      Memberikan pemahaman tentang superordinate identity
Pandangan bahwa setiap orang merupakan bagian dari kelompok manusia secara keseluruhan adalah hal penting yang perlu dilakukan. Manakala seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok yang lebih besar, ia akan berusaha tetap berada di kelompok tersebut dan akan melakukan perbuatan yang menuntun ia dapa diterima oleh anggota kelompok yang lain, salah satu cara adalah senantiasa berbuat baik untuk orang lain. Ia akan menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak disenangi oleh kelompoknya, sehingga kondisi ini akan memberikan dorongan untuk senantiasa berbuat baik untuk orang lain.

2.       Perilaku Antisosial
2.2.1.   Pengertian Perilaku Anti Sosial
Perilaku antisosial memiliki definisi longgar, namun sebagian besar setuju dengan ciri-ciri perilaku antisosial yang dikenal umum, seperti mabuk-mabukan di tempat umum, vandalisme, mengebut di jalan raya, dan perilaku yang dianggap menyimpang lainnya. Secara sederhana, perilaku antisosial bisa digambarkan sebagai “perilaku yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gangguan kepribadian dan merupakan lawan dari perilaku prososial” (Lane 1987; Farrington 1995; Millon et al 1998 dalam Setiyawati, 2010).
Menurut Nevid dkk. (2005: 277) gangguan perilaku antisosial adalah sebuah gangguan perilaku yang ditandai oleh perilaku antisosial dan tidak bertanggungjawab serta kurangnya penyesalan untuk kesalahan mereka. Sedangkan menurut Cleckley (1976 dalam Silitonga, 2010) Orang dengan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder) secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum. Mereka mengabaikan norma dan konvensi sosial, impulsif, serta gagal dalam membina hubungan interpersonal dan pekerjaan. Meski demikian mereka sering menunjukkan kharisma dalam penampilan luar mereka dan paling tidak memiliki intelegensi rata-rata.
Perilaku antisosial bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa ada batasan usia, namun karena `penyimpangan' ini dikategorikan sebagai`penyimpangan' ringan dari tatanan sosial yang umum diterima bersama, secara umum perilaku antisosial identik dengan anak-anak muda usia sekolah.
2.2.2.   Ciri-Ciri Perilaku Antisosial
Ciri-ciri diagnostik dari gangguan kepribadian antisosial menurut Nevid (2005: 279) adalah:
a.      Paling tidak berusia 18 tahun
b.     Ada bukti gangguan perilaku sebelum usia 15 tahun, ditunjukkan dengan perilaku seperti membolos, kabur, memulai perkelahian fisik, menggunakan senjata, memaksa seseorang untuk melakukan aktivitas seksual, kekejaman fisik pada orang maupun binatang, merusak atau membakar bangunan secara sengaja, berbohong, mencuri, atau merampok.
c.      Sejak usia 15 tahun menunjukkan kepribadian yang kurang kepedulian yang kurang dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, yang ditunjukkan oleh perilaku sebagai berikut:
1)     Kurang patuh terhadap norma sosial dan pereturan hukum, ditunjukkan dengan perilaku melanggar hukum yang dapat maupun tidak dapat mengakibatkan penahanan, seperti merusak bangunan, terlibat dalam pekerjaan yang bertentangan dengan hokum, mencuri, atau menganiaya orang lain.
2)     Agresif dan sangat mudah tersinggung saat berhubungan dengan orang lain, ditunjukkan dengan terlibat dalam perkelahian fisik dan menyerang orang lain secara berulang, mungkin penganiayaan terhadap pasangan atau anak-anak.
3)     Secara konsisten tidak bertanggung jawab, ditunjukkan dengan kegagalan mempertahankan pekerjaan karena ketidakhadiran berulang kali, keterlambatan, mengabaikan kesempatan kerja atau memperpanjang periode pengangguran meski ada kesempatan kerja; dan/atau kegagalan untuk mematuhi tanggung jawab keuangan seperti gagal membiayai anak atau membayar hutang; dan/atau kurang dapat membina hubungan monogami.
4)     Gagal membuat perencanaan masa depan atau impulsivitas, seperti ditunjukkan oleh perilaku berjalan-jalan tanpa pekerjaan tanpa tujuan yang jelas.
5)     Tidak menghormati kebenaran, ditunjukkan dengan berulang kali berbohong, memperdaya, atau menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi atau kesenangan.
6)     Tidak menghargai keselamatan diri sendiri dan keselamatan orang lain, ditunjukkan dengan berkendara sambil mabuk atau berulang kali ngebut.
7)     Kurang penyesalan atas kesalahan yang dibuat, ditunjukkan dengan ketidakpedulian akan kesulitan yang ditimbulkan pada orang lain, dan/atau membuat alas an untuk alasan tersebut.

2.2.3.   Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Antisosial
Ada beberapa sebab munculnya sikap antisosial di masyarakat, di antaranya adalah sebagai berikut: (dalam Setiyawati, 2010)
a.   Adanya norma atau nilai sosial yang tidak sesuai atau sejalan dengan keinginan masyarakat, sehingga terjadi kesenjangan budaya termasuk pola pikir masyarakat.
b.   Kurang siapnya pola pemikiran masyarakat untuk menerima perubahan dalam tatanan masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya perubahan sosial yang menuntut semua komponen untuk berubah mengikuti tatanan yang baru. Dalam perubahan ada komponen yang siap, namun sebaliknya komponen yang tidak siap ini justru akan bersikap antisosial, karena tidak sepakat dengan perubahan yang terjadi. Misalnya perusakan terhadap telepon umum.
c.   Ketidakmampuan seseorang untuk memahami atau menerima bentuk perbedaan sosial dalam masyarakat, sehingga akan mengakibatkan kecemburuan sosial. Perbedaan-perbedaan dimaknai sebagai suatu permasalahan yang dapat mengancam stabilitas masyarakat yang sudahtertata.
d.   Adanya ideologi yang dipaksakan untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat. Hal ini akan menimbulkan keguncangan budaya bagi masyarakat yang belum siap untuk menerima ideologi baru tersebut.
e.   Pemimpin yang kurang sigap dan tanggap atas fenomena sosial dalam masyarakat, serta tidak mampu menerjemahkan keinginan masyarakat secara keseluruhan.

2.2.4.   Bentuk-Bentuk Perilaku Antisosial
Dalam masyarakat ada beberapa bentuk sikap antisosial yang pada tingkatan tertentu dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, yaitu sebagai berikut: (dalam Setiyawati, 2010)
a.   Sikap antisosial yang muncul karena deviasi individual
Deviasi individual bersumber pada faktor-faktor yang terdapat pada diri seseorang, misalnya pembawaan, penyakit kecelakaan yang dialami oleh seseorang, atau karena pengaruh sosiokultural yang bersifat unik terhadap individu. Adapun bentuk-bentuk sikap antisosial tersebut antara lain sebagai berikut.
1)     Pembandel, yaitu orang yang tidak mau tunduk kepada nasihat-nasihat orang yang ada di sekelilingnya agar mau merubah pendiriannya.
2)     Pembangkang, yaitu orang yang tidak mau tunduk kepada peringatan orang-orang yang berwenang di lingkungan tersebut.
3)     Pelanggar, yaitu orang yang melanggar norma-norma umum atau masyarakat yang berlaku.
4)     Penjahat, yaitu orang yang mengabaikan norma-norma umum atau masyarakat, berbuat sekehendak hati yang dapat menimbulkan kerugian-kerugian harta atau jiwa di lingkungannya ataupun di luar lingkungannya, sehingga para anggota masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan selalu bersiap-siap untuk menghadapinya.
b.   Sikap antisosial yang muncul karena deviasi situasional
Deviasi situasional merupakan fungsi pengaruh kekuatankekuatan situasi di luar individu atau dalam situasi di mana individu merupakan bagian yang integral di dalamnya. Situasi sosial adalah keadaan yang berhubungan dengan tingkah laku seseorang di mana tekanan, pembatasan, dan rangsangan-rangsangan yang datang dari orang atau kelompok di luar diri orang itu relatif lebih dinamik daripada faktor-faktor internal yang menimbulkan respon terhadap hal-hal tersebut. Deviasi situasional akan selalu kembali apabila situasinya berulang. Dalam hal itu deviasi dapat menjadi kumulatif. Bentuk sikap antisosial yang muncul adalah sebagai berikut.
1)     Degradasi moral atau demoralisasi karena kata-kata keras dan radikal yang keluar dari mulut pekerja-pekerja yang tidak mempunyai pekerjaan di tempat kerjanya.
2)     Tingkah laku kasar pada golongan remaja.
3)     Tekanan batin yang dialami oleh perempuan-perempuan yang mengalami masa menopause.
4)     Deviasi seksual yang terjadi karena seseorang menunda perkawinan.
5)     Homoseksualitas yang terjadi pada narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
c.   Sikap antisosial yang muncul karena deviasi biologis
Deviasi biologis merupakan faktor pembatas yang tidak memungkinkan memberikan persepsi atau menimbulkan respon-respon tertentu. Gangguan terjadi apabila individu tidak dapat melakukan peranan sosial tertentu yang sangat perlu. Pembatasan karena gangguan-gangguan itu bersifat transkultural (menyeluruh di seluruh dunia). Beberapa bentuk deferensiasi biologis yang dapat menimbulkan deviasi biologis adalah sebagai berikut.
1)     Ciri-ciri ras, seperti tinggi badan, roman muka, bentuk badan, dan lain-lain.
2)     Ciri-ciri biologis yang aneh, cacat karena luka, cacat karena kelahiran, anak kembar, dan lain sebagainya.
3)     Ciri-ciri karena gangguan fisik, seperti kehilangan anggota tubuh, gangguan sensorik, dan lain sebagainya.
4)     Disfungsi tubuh yang tidak dapat dikontrol lagi, seperti epilepsi, tremor, dan sebagainya.
Adapun bentuk sikap antisosial yang muncul adalah egoisme, rasisme, rasialisme, dan stereotip.
1.     Egoisme, yaitu suatu bentuk sikap di mana seseorang merasa dirinya adalah yang paling unggul atas segalanya dan tidak ada orang atau benda apapun yang mampu menjadi pesaingnya.
2.     Rasisme, yaitu suatu sikap yang didasarkan pada kepercayaan bahwa suatu ciri yang dapat diamati dan dianggap diwarisi seperti warna kulit merupakan suatu tanda perihal inferioritas yang membenarkan perlakuan diskriminasi terhadap orang-orang yang mempunyai ciriciri tersebut.
3.     Rasialisme, yaitu suatu penerapan sikap diskriminasi terhadap kelompok ras lain. Misalnya diskriminasi ras yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
4.     Stereotip, yaitu citra kaku mengenai suatu ras atau budaya yang dianut tanpa memerhatikan kebenaran citra tersebut. Misalnya stereotip masyarakat Jawa adalah lemah lembut dan lamban dalam melakukan sesuatu. Stereotip tersebut tidak selalu benar, karena tidak semua orang Jawa memiliki sifat tersebut.
d.   Sikap antisosial yang bersifat sosiokultural
Beberapa bentuk sikap antisosial yang bersifat sosiokultural, yaitu:
1)   Primordialisme, yaitu suatu sikap atau pandangan yang menunjukkan sikap berpegang teguh kepada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu seperti suku bangsa, ras, agama ataupun asal-usul kedaerahan oleh seseorang dalam kelompoknya, kemudian meluas dan berkembang. Primordialisme ini muncul karena hal - hal berikut.
a)     Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial.
b)     Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar.
c)     Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai-nilai keagamaan, pandangan hidup, dan sebagainya.
2)   Etnosentrisme atau fanatisme suku bangsa, yaitu suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya.
3)   Sekularisme, yaitu suatu sikap yang lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat nonagamis, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, sehingga kebutuhan agamis seakanakan dikesampingkan. Mereka yang memiliki sikap seperti ini cenderung lebih mempercayai kebenaran yang sifatnya duniawi.
4)   Hedonisme, yaitu suatu sikap manusia yang mendasarkan diri pada pola kehidupan yang serba mewah, glamour, dan menempatkan kesenangan materiil di atas segalagalanya. Tindakan yang baik menurut hedonisme adalah tindakan yang menghasilkan kenikmatan. Orang yang memiliki sifat seperti ini biasanya kurang peduli dengan keadaan sekitarnya, sebab yang diburu adalah kesenangan pribadi.
5)   Fanatisme, yaitu suatu sikap yang mencintai atau menyukai suatu hal secara berlebihan. Mereka tidak mempedulikan apapun yang dipandang lebih baik daripada hal yang disenangi tersebut. Fanatisme yang berlebihan sangat berbahaya karena dapat berujung pada perpecahan atau konflik. Misalnya fanatisme terhadap suatu ideologi atau artis idola tertentu atau lainnya.
6)   Diskriminasi, yaitu suatu sikap yang merupakan usaha untuk membedakan secara sengaja terhadap golongangolongan yang berkaitan dengan kepentingankepentingan tertentu. Dalam diskriminasi, golongan tertentu diperlakukan berbeda dengan golongangolongan lain. Pembedaan itu dapat didasarkan pada suku bangsa, agama, mayoritas, atau bahkan minoritas dalam masyarakat. Misalnya diskriminasi ras yang dulu pernah terjadi di Afrika Selatan yang dikenal dengan politik apartheid, di mana golongan orang-orang kulit putih menduduki lapisan sosial yang lebih tinggi daripada golongan orang-orang kulit hitam.

BAB 3
PENUTUP
3.1  Simpulan
3.1.1     Perilaku prososial
perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku sosial positif dimana perilaku tersebut mempunyai tingkat pengorbanan tertentu yang dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak lain yang tujuannya memberikan keuntungan bagi orang lain baik fisik maupun psikologis, menciptakan perdamaian dan meningkatkan toleransi hidup terhadap sesama, namun perilaku tersebut tidak ada keuntungan yang jelas bagi individu yang melakukannya, hanya perasaan puas, bangga, dan bahagia yang dirasakan oleh individu yang melakukan tindakan tersebut.
3.1.2     Perilaku antisosial
Perilaku antisosial adalah perilaku yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gangguan kepribadian yang ditandai dengan melakukan pelanggaran terhadap norma, konvensi sosial, hukum, impulsif, gagal dalam membina hubungan interpersonal dan pekerjaan, dan kurangnya penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat.
  
DAFTAR PUSTAKA
Dahriani, Adria. 2007. Perilaku Prososial Terhadap Pengguna Jalan Studi Fenomenologis Pada Polisi Lalu Lintas (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
Hasniani. 2011. Perilaku Prososial (Prosocial Behavior). Online. http://hasnianni-hasnianni.blogspot.com/2011/03/perilaku-propososial-proposocial.html. Diunduh tanggal 12 Maret 2012.
Multiply.com. 2008. Tingkah Laku Prososial. Online. http://valmband.multiply.com/journal/item/27/TINGKAH_LAKU_PROSOSIAL&show_interstitial=1&u=Fjournal2Fitem. Diunduh tanggal 12 Maret 2012.
Nevid, Jeferry S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga
Setyawati, Tuti. 2010. Perilaku Anti Sosial. Online. http://tutisetiyawati.blogspot.com/2010/10/perilaku-anti-sosial.html. Diunduh tanggal 12 Maret 2012.
Silitonga Ferry. 2010. Gangguan Kepribadian Antisosial (Psikopat).http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/04/gangguan-kepribadian-antisosial-psikopat/. Diunduh tanggal 12 Maret 2012.
Umm.ac.id. Tanpa Tahun. Empati dan Perilaku Prososial. Online. http://p2kk.umm.ac.id/files/file/EMPATIDANPERILAKUPROSOSIAL.pdf. Diunduh tanggal 12 Maret 2012.

Littlre snake pin