BAB 1
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk
sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau
pertolongan dari orang lain dalam menjalani kehidupannya, dari lahir sampai
meninggal dunia. Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang
lain, maka seyogyanya kita juga sukarela menolong atau memberikan baantuan
terhadap orang lain. Perilaku menolong ini biasa disebut perilaku prososial.
Namun, adakalanya apa yang ada dalam dunia nyata tidak seperti yang
dibayangkan, tidak sedikit pula orang yang justru malah melakukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, melanggar norma, aturan,
dan hukum tanpa ada penyesalan setelahnya. Perilaku semacam ini disebut sebagai
perilaku antisosial, yang merupakan lawan dari perilaku prososial.
Mahasiswa Bimbingan dan
Konseling sebagai calon konselor yang mempunyai tugas dalam membantu individu
mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki, dan permasalahan yang
dihadapi agar tercapai kehidupan efektif sehari-hari sudah sepantasnya
mengetahui perilaku-perilaku yang masih ada dalam ruang lingkup bimbingan dan
konseling. Dalam pembahasan makalah ini akan diulas mengenai perilaku prososial
dan antisosial secara lebih mendalam. Sesuai dengan mata kuliah ini yaitu
Konseling Rehabilitasi Sosial, mengkaji perilaku-perilaku yang ada di
lingkungan sosial sangatlah diperlukan agar calon konselor dapat mengetahui dan
memahami perilaku, gangguan-gangguan yang dapat berpengaruh pada diri individu
dalam lingkungan sosialnya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2. Perilaku Prososial
2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial
Menurut Baron & Byrne
(dalam Hasniani, 2011) perilaku prososial sebagai segala tindakan apapun yang
menguntungkan orang lain. Secara umum istilah ini diaplikasikan kepada tindakan
yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan
tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. Tingkah laku
prososial (prosocial behavior) adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada
orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu
resiko bagi orang yang menolong (dalam multiply.com). Sedangkan menurut
Dahriani (2007: 30) perilaku prososial adalah perilaku yang mempunyai tingkat
pengorbanan tertentu yang tujuannya memberikan keuntungan bagi orang lain baik
fisik maupun psikologis, menciptakan perdamaian dan meningkatkan toleransi
hidup terhadap sesama, namun tidak ada keuntungan yang jelas bagi individu yang
melakukan tindakan.
Berdasarkan definisi
perilaku prososial yang telah diuraikan oleh beberapa ahli di atas maka dapat
disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku sosial
positif dimana perilaku tersebut mempunyai tingkat pengorbanan tertentu yang
dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri tanpa adanya paksaan dari pihak lain
yang tujuannya memberikan keuntungan bagi orang lain baik fisik maupun
psikologis, menciptakan perdamaian dan meningkatkan toleransi hidup terhadap
sesama, namun perilaku tersebut tidak ada keuntungan yang jelas bagi individu
yang melakukannya, hanya perasaan puas, bangga, dan bahagia yang dirasakan oleh
individu yang melakukan tindakan tersebut.
2.1.2.
Ciri-Ciri Perilaku Prososial
Menurut Staub ada 3 (tiga) ciri
seseorang dikatakan menunjukkan perilaku prososial, yaitu: (dalam Hasniani, 2011)
a. Tindakan tersebut berakhir pada dirinya dan tidak menuntut
keuntungan pada pihak pemberi bantuan
b. Tindakan tersebut dilahirkan secara sukarela
c. Tindakan tersebut menghasilkan kebaikan
2.1.3. Faktor
yang Mendasari Seorang untuk Bertindak Prososial
Dalam
situasi tertentu, keputusan untuk menolong melibatkan proses pemikiran yang
kompleks dan pengambilan keputusan yang rasional. Adapun beberapa faktor yang
mendasari seorang untuk bertindak prososial yaitu (Hanianni, 2011):
a.
Self-gain yaitu harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari
kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian, atau takut
dikucilkan
b.
Personal values and norms yaitu adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan
oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagaian nilai-nilai serta
norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban
menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
c.
Empathy yaitu kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain.
2.1.4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Faktor-faktor
yang spesifik mempengaruhi perilaku prososial antara lain, karakteristik
situasi, karakteristik penolong, dan karakteristik orang yang membutuhkan
pertolongan (Sears dkk, 1994: 61 dalam Dahriani, 2007: 38) :
a.
Faktor Situasional, meliputi :
1.
Kehadiran Orang Lain
Individu yang sendirian
lebih cenderung memberikan reaksi jika terdapat situasi darurat ketimbang bila
ada orang lain yang mengetahui situasi tersebut. Semakin banyak orang yang
hadir, semakin kecil kemungkinan individu yang benar-benar memberikan
pertolngan. Faktor ini sering disebut dengan efek penonton (bystander effect).
Individu yang sendirian menyaksikan orang lain mengalami kesulitan, maka orang
itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi terhadap situasi
tersebut.
2.
Kondisi Lingkungan
Keadaan fisik lingkungan
juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Pengaruh kondisi lingkungan ini
seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan.
3.
Tekanan Waktu
Tekanan waktu menimbulkan
dampak yang kuat terhadap pemberiaan bantuan. Individu yang tergesa-gesa karena
waktu sering mengabaikan pertolongan yang ada di depannya.
b.
Penolong, meliputi :
1.
Faktor Kepribadian
Adanya ciri kepribadian
tertentu yang mendorong individu untuk memberikan pertolongan dalam beberapa
jenis situasi dan tidak dalam situasi yang lain. Misalnya, individu yang
mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih
cenderung memberikan sumbangan bagi kepentingan amal, tetapi hanya bila orang
lain menyaksikannya. Individu tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk
memperoleh pujian dari orang lain sehingga berperilaku lebih prososial hanya
bila tindakan itu diperhatikan.
2.
Suasana Hati
Individu lebih terdorong
untuk memberikan bantuan bila berada dalam suasana hati yang baik, dengan kata
lain, suasana perasaan posiif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk
melakukan perilaku prososial.
3.
Rasa Bersalah
Keinginan untuk mengurangi
rasa bersalah bisa menyebabkan individu menolong orang yang dirugikannya, atau
berusaha menghlangkannya dengan melkukan tindakan yang baik.
4.
Distres dan Rasa Empatik
Distres diri (personal
disterss) adalah reaksi pribadi individu terhadap penderitaan orang lain,
seperti perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan
apapun yang dialaminya. Sebaliknya, rasa empatik (emphatic concern)
adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk
berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
Distres diri terfokus pada diri sendiri yaitu memotivasi diri sendiri untuk
mengurangi kegelisahan pada diri sendiri dengan membantu orang yang
membutuhkan, tetapi juga dapat melakukannya denagn menghindari situasi tersebut
atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik terfokus
pada si korban yaitu hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada
dalam kesulitan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
c.
Orang yang Membutuhkan
Pertolongan, meliputi :
1. Menolong orang yang disukai
Rasa suka awal individu
terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik
dan kesamaan. Karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan pada
orang yang mengalami kesulitan. Sedangkan individu yang meiliki daya tarik
fisik mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menerima bantuan. Perilaku
prososial juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antara orang seperti yang
terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, individu lebih suka menolong
teman dekat daripada orang asing.
2.
Menolong orang yang pantas
ditolong
Individu membuat penilaian
sejauh mana kelayakan kebutuhan yang diperlukan orang lain, apakah orang
tersebut layak untuk diberi pertolongan atau tidak. Penilaian tersebut dengan
cara menarik kesimpulan tentang sebab-sebab timbulnya kebutuhan orang tersebut.
Individu lebih cenderung menolong orang lain bila yakin bahwa penyebab
timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut.
2.1.5.
Bentuk-bentuk Perilaku Prososial
Menurut
Mussen (1989:360, dalam Dahriani, 2007: 34) bentuk-bentuk perilaku prososial
memiliki beberapa macam, diantaranya yaitu sebagai berikut :
a.
Berbagi (sharing), yaitu
kesedian memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain yang sedang
mengalami kesulitan, baik berupa moril maupun materiil. Menolong meliputi
membantu orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya
kegiatan orang lain.
b.
Kerjasama (Cooperating),
yaitu kesediaan untuk bekerja sama denagn orang lain demi tercapainya suatu
tujuan. Cooperating biasanay saling menguntungkan, saling memberi,
saling menolong dan menenangkan.
c.
Bertindak jujur (Honesty),
yaitu kesediaan untuk melaukukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat
curang terhadap orang lain.
d.
Berderma (Donatig),
yaitu kesedian untuk memberikan secara sukarela sebagian barang miliknya kepada
orang yang membutuhkannya.
2.1.6. Cara
Meningkatkan Perilaku Prososial
Adapun beberapa cara untuk
meningkatkan perilaku prososial antara lain: (dalam Umm.ac.id)
a.
Menyebarluaskan penayangan model perilaku prososial
Dalam mengembangkan perilaku-perilaku tertentu kita dapat
melakukan melalui pendekatan behavioral dengan model belajar sosial.
Pembentukan perilaku prososial dapat kita lakukan dengan sering memberikan
stimulus tentang perilaku-perilaku baik (membantu orang yang kesulitan dan lain
sebagainya). Semakin sering seseorang memperoleh stimulus, misalnya melalui
media massa semakin mudah akan melakukan proses imitasi (meniru) terhadap
perilaku tersebut.
b.
Memberikan penekanan terhadap norma-norma prososial.
Norma-norma di masyarakat yang memberikan penekanan terhadap
tanggungjawab sosial dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga, sekolah
maupun masyarakat umum. Longgarnya sosialisasi dan pembelajaran terhadap
norma-norma ini akan mendorong munculnya prilaku anti-sosial atau tidak peduli
dengan lingkungan sekitar dan hal ini sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan
psikologis dan sosial seseorang.
c.
Memberikan pemahaman tentang superordinate identity
Pandangan bahwa setiap orang merupakan bagian dari kelompok
manusia secara keseluruhan adalah hal penting yang perlu dilakukan. Manakala
seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok yang lebih besar, ia akan
berusaha tetap berada di kelompok tersebut dan akan melakukan perbuatan yang
menuntun ia dapa diterima oleh anggota kelompok yang lain, salah satu cara
adalah senantiasa berbuat baik untuk orang lain. Ia akan menghindarkan diri
dari perbuatan yang tidak disenangi oleh kelompoknya, sehingga kondisi ini akan
memberikan dorongan untuk senantiasa berbuat baik untuk orang lain.
2. Perilaku Antisosial
2.2.1. Pengertian
Perilaku Anti Sosial
Perilaku antisosial
memiliki definisi longgar, namun sebagian besar setuju dengan ciri-ciri
perilaku antisosial yang dikenal umum, seperti mabuk-mabukan di tempat umum,
vandalisme, mengebut di jalan raya, dan perilaku yang dianggap menyimpang
lainnya. Secara sederhana, perilaku antisosial bisa digambarkan sebagai
“perilaku yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gangguan kepribadian dan
merupakan lawan dari perilaku prososial” (Lane 1987; Farrington 1995; Millon et
al 1998 dalam Setiyawati, 2010).
Menurut Nevid dkk.
(2005: 277) gangguan perilaku antisosial adalah sebuah gangguan perilaku yang
ditandai oleh perilaku antisosial dan tidak bertanggungjawab serta kurangnya
penyesalan untuk kesalahan mereka. Sedangkan menurut Cleckley (1976 dalam
Silitonga, 2010) Orang dengan gangguan kepribadian antisosial (antisocial
personality disorder) secara persisten melakukan pelanggaran terhadap
hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum. Mereka mengabaikan norma dan
konvensi sosial, impulsif, serta gagal dalam membina hubungan interpersonal dan
pekerjaan. Meski demikian mereka sering menunjukkan kharisma dalam penampilan
luar mereka dan paling tidak memiliki intelegensi rata-rata.
Perilaku antisosial bisa
dilakukan oleh siapa saja tanpa ada batasan usia, namun karena `penyimpangan'
ini dikategorikan sebagai`penyimpangan' ringan dari tatanan sosial yang umum
diterima bersama, secara umum perilaku antisosial identik dengan anak-anak muda
usia sekolah.
2.2.2. Ciri-Ciri
Perilaku Antisosial
Ciri-ciri diagnostik
dari gangguan kepribadian antisosial menurut Nevid (2005: 279) adalah:
a.
Paling tidak berusia 18 tahun
b.
Ada bukti gangguan perilaku
sebelum usia 15 tahun, ditunjukkan dengan perilaku seperti membolos, kabur,
memulai perkelahian fisik, menggunakan senjata, memaksa seseorang untuk
melakukan aktivitas seksual, kekejaman fisik pada orang maupun binatang,
merusak atau membakar bangunan secara sengaja, berbohong, mencuri, atau
merampok.
c.
Sejak usia 15 tahun menunjukkan
kepribadian yang kurang kepedulian yang kurang dan pelanggaran terhadap hak-hak
orang lain, yang ditunjukkan oleh perilaku sebagai berikut:
1)
Kurang patuh terhadap norma
sosial dan pereturan hukum, ditunjukkan dengan perilaku melanggar hukum yang
dapat maupun tidak dapat mengakibatkan penahanan, seperti merusak bangunan,
terlibat dalam pekerjaan yang bertentangan dengan hokum, mencuri, atau menganiaya
orang lain.
2)
Agresif dan sangat mudah
tersinggung saat berhubungan dengan orang lain, ditunjukkan dengan terlibat
dalam perkelahian fisik dan menyerang orang lain secara berulang, mungkin
penganiayaan terhadap pasangan atau anak-anak.
3)
Secara konsisten tidak
bertanggung jawab, ditunjukkan dengan kegagalan mempertahankan pekerjaan karena
ketidakhadiran berulang kali, keterlambatan, mengabaikan kesempatan kerja atau
memperpanjang periode pengangguran meski ada kesempatan kerja; dan/atau kegagalan
untuk mematuhi tanggung jawab keuangan seperti gagal membiayai anak atau
membayar hutang; dan/atau kurang dapat membina hubungan monogami.
4)
Gagal membuat perencanaan masa
depan atau impulsivitas, seperti ditunjukkan oleh perilaku berjalan-jalan tanpa
pekerjaan tanpa tujuan yang jelas.
5)
Tidak menghormati kebenaran,
ditunjukkan dengan berulang kali berbohong, memperdaya, atau menggunakan orang
lain untuk mencapai tujuan pribadi atau kesenangan.
6)
Tidak menghargai keselamatan
diri sendiri dan keselamatan orang lain, ditunjukkan dengan berkendara sambil
mabuk atau berulang kali ngebut.
7)
Kurang penyesalan atas
kesalahan yang dibuat, ditunjukkan dengan ketidakpedulian akan kesulitan yang
ditimbulkan pada orang lain, dan/atau membuat alas an untuk alasan tersebut.
2.2.3. Faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Antisosial
Ada beberapa sebab
munculnya sikap antisosial di masyarakat, di antaranya adalah sebagai berikut:
(dalam Setiyawati, 2010)
a. Adanya norma atau nilai sosial yang tidak sesuai atau sejalan dengan
keinginan masyarakat, sehingga terjadi kesenjangan budaya termasuk pola pikir
masyarakat.
b. Kurang siapnya pola pemikiran masyarakat untuk menerima perubahan
dalam tatanan masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya perubahan sosial yang
menuntut semua komponen untuk berubah mengikuti tatanan yang baru. Dalam
perubahan ada komponen yang siap, namun sebaliknya komponen yang tidak siap ini
justru akan bersikap antisosial, karena tidak sepakat dengan perubahan yang
terjadi. Misalnya perusakan terhadap telepon umum.
c. Ketidakmampuan seseorang untuk memahami atau menerima bentuk
perbedaan sosial dalam masyarakat, sehingga akan mengakibatkan kecemburuan
sosial. Perbedaan-perbedaan dimaknai sebagai suatu permasalahan yang dapat
mengancam stabilitas masyarakat yang sudahtertata.
d. Adanya ideologi yang dipaksakan untuk masuk ke dalam lingkungan
masyarakat. Hal ini akan menimbulkan keguncangan budaya bagi masyarakat yang
belum siap untuk menerima ideologi baru tersebut.
e. Pemimpin yang kurang sigap dan tanggap atas fenomena sosial dalam
masyarakat, serta tidak mampu menerjemahkan keinginan masyarakat secara
keseluruhan.
2.2.4. Bentuk-Bentuk
Perilaku Antisosial
Dalam masyarakat ada
beberapa bentuk sikap antisosial yang pada tingkatan tertentu dapat menimbulkan
keresahan dalam masyarakat, yaitu sebagai berikut: (dalam Setiyawati, 2010)
a. Sikap antisosial yang muncul karena deviasi
individual
Deviasi individual bersumber
pada faktor-faktor yang terdapat pada diri seseorang, misalnya pembawaan,
penyakit kecelakaan yang dialami oleh seseorang, atau karena pengaruh
sosiokultural yang bersifat unik terhadap individu. Adapun bentuk-bentuk sikap
antisosial tersebut antara lain sebagai berikut.
1)
Pembandel, yaitu orang yang
tidak mau tunduk kepada nasihat-nasihat orang yang ada di sekelilingnya agar
mau merubah pendiriannya.
2)
Pembangkang, yaitu orang yang
tidak mau tunduk kepada peringatan orang-orang yang berwenang di lingkungan
tersebut.
3)
Pelanggar, yaitu orang yang
melanggar norma-norma umum atau masyarakat yang berlaku.
4)
Penjahat, yaitu orang yang
mengabaikan norma-norma umum atau masyarakat, berbuat sekehendak hati yang
dapat menimbulkan kerugian-kerugian harta atau jiwa di lingkungannya ataupun di
luar lingkungannya, sehingga para anggota masyarakat meningkatkan kewaspadaan
dan selalu bersiap-siap untuk menghadapinya.
b. Sikap antisosial yang muncul karena
deviasi situasional
Deviasi situasional
merupakan fungsi pengaruh kekuatankekuatan situasi di luar individu atau dalam
situasi di mana individu merupakan bagian yang integral di dalamnya. Situasi
sosial adalah keadaan yang berhubungan dengan tingkah laku seseorang di mana
tekanan, pembatasan, dan rangsangan-rangsangan yang datang dari orang atau
kelompok di luar diri orang itu relatif lebih dinamik daripada faktor-faktor
internal yang menimbulkan respon terhadap hal-hal tersebut. Deviasi situasional
akan selalu kembali apabila situasinya berulang. Dalam hal itu deviasi dapat
menjadi kumulatif. Bentuk sikap antisosial yang muncul adalah sebagai berikut.
1)
Degradasi moral atau
demoralisasi karena kata-kata keras dan radikal yang keluar dari mulut
pekerja-pekerja yang tidak mempunyai pekerjaan di tempat kerjanya.
2)
Tingkah laku kasar pada
golongan remaja.
3)
Tekanan batin yang dialami oleh
perempuan-perempuan yang mengalami masa menopause.
4)
Deviasi seksual yang terjadi
karena seseorang menunda perkawinan.
5)
Homoseksualitas yang terjadi
pada narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
c. Sikap antisosial yang muncul karena
deviasi biologis
Deviasi biologis merupakan
faktor pembatas yang tidak memungkinkan memberikan persepsi atau menimbulkan
respon-respon tertentu. Gangguan terjadi apabila individu tidak dapat melakukan
peranan sosial tertentu yang sangat perlu. Pembatasan karena gangguan-gangguan
itu bersifat transkultural (menyeluruh di seluruh dunia). Beberapa bentuk
deferensiasi biologis yang dapat menimbulkan deviasi biologis adalah sebagai
berikut.
1)
Ciri-ciri ras, seperti tinggi
badan, roman muka, bentuk badan, dan lain-lain.
2)
Ciri-ciri biologis yang aneh,
cacat karena luka, cacat karena kelahiran, anak kembar, dan lain sebagainya.
3)
Ciri-ciri karena gangguan
fisik, seperti kehilangan anggota tubuh, gangguan sensorik, dan lain
sebagainya.
4)
Disfungsi tubuh yang tidak
dapat dikontrol lagi, seperti epilepsi, tremor, dan sebagainya.
Adapun
bentuk sikap antisosial yang muncul adalah egoisme, rasisme, rasialisme, dan
stereotip.
1.
Egoisme, yaitu suatu bentuk
sikap di mana seseorang merasa dirinya adalah yang paling unggul atas segalanya
dan tidak ada orang atau benda apapun yang mampu menjadi pesaingnya.
2.
Rasisme, yaitu suatu sikap yang
didasarkan pada kepercayaan bahwa suatu ciri yang dapat diamati dan dianggap
diwarisi seperti warna kulit merupakan suatu tanda perihal inferioritas yang
membenarkan perlakuan diskriminasi terhadap orang-orang yang mempunyai ciriciri
tersebut.
3.
Rasialisme, yaitu suatu
penerapan sikap diskriminasi terhadap kelompok ras lain. Misalnya diskriminasi
ras yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
4.
Stereotip, yaitu citra kaku
mengenai suatu ras atau budaya yang dianut tanpa memerhatikan kebenaran citra
tersebut. Misalnya stereotip masyarakat Jawa adalah lemah lembut dan lamban
dalam melakukan sesuatu. Stereotip tersebut tidak selalu benar, karena tidak
semua orang Jawa memiliki sifat tersebut.
d. Sikap antisosial yang bersifat sosiokultural
Beberapa bentuk sikap
antisosial yang bersifat sosiokultural, yaitu:
1) Primordialisme, yaitu suatu sikap atau pandangan yang menunjukkan
sikap berpegang teguh kepada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri
individu seperti suku bangsa, ras, agama ataupun asal-usul kedaerahan oleh
seseorang dalam kelompoknya, kemudian meluas dan berkembang. Primordialisme ini
muncul karena hal - hal berikut.
a)
Adanya sesuatu yang dianggap
istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial.
b)
Adanya suatu sikap untuk
mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan sosial terhadap ancaman
dari luar.
c)
Adanya nilai-nilai yang
berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai-nilai keagamaan, pandangan
hidup, dan sebagainya.
2) Etnosentrisme atau fanatisme suku bangsa,
yaitu suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya.
3) Sekularisme, yaitu suatu sikap yang lebih
mengedepankan hal-hal yang bersifat nonagamis, seperti teknologi, ilmu
pengetahuan, sehingga kebutuhan agamis seakanakan dikesampingkan. Mereka yang
memiliki sikap seperti ini cenderung lebih mempercayai kebenaran yang sifatnya
duniawi.
4) Hedonisme, yaitu suatu sikap manusia yang
mendasarkan diri pada pola kehidupan yang serba mewah, glamour, dan menempatkan
kesenangan materiil di atas segalagalanya. Tindakan yang baik menurut hedonisme
adalah tindakan yang menghasilkan kenikmatan. Orang yang memiliki sifat seperti
ini biasanya kurang peduli dengan keadaan sekitarnya, sebab yang diburu adalah
kesenangan pribadi.
5) Fanatisme, yaitu suatu sikap yang
mencintai atau menyukai suatu hal secara berlebihan. Mereka tidak mempedulikan
apapun yang dipandang lebih baik daripada hal yang disenangi tersebut.
Fanatisme yang berlebihan sangat berbahaya karena dapat berujung pada
perpecahan atau konflik. Misalnya fanatisme terhadap suatu ideologi atau artis
idola tertentu atau lainnya.
6) Diskriminasi, yaitu suatu sikap yang
merupakan usaha untuk membedakan secara sengaja terhadap golongangolongan yang
berkaitan dengan kepentingankepentingan tertentu. Dalam diskriminasi, golongan
tertentu diperlakukan berbeda dengan golongangolongan lain. Pembedaan itu dapat
didasarkan pada suku bangsa, agama, mayoritas, atau bahkan minoritas dalam
masyarakat. Misalnya diskriminasi ras yang dulu pernah terjadi di Afrika
Selatan yang dikenal dengan politik apartheid, di mana golongan orang-orang
kulit putih menduduki lapisan sosial yang lebih tinggi daripada golongan
orang-orang kulit hitam.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1
Perilaku prososial
perilaku prososial merupakan
suatu bentuk perilaku sosial positif dimana perilaku tersebut mempunyai tingkat
pengorbanan tertentu yang dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri tanpa adanya
paksaan dari pihak lain yang tujuannya memberikan keuntungan bagi orang lain
baik fisik maupun psikologis, menciptakan perdamaian dan meningkatkan toleransi
hidup terhadap sesama, namun perilaku tersebut tidak ada keuntungan yang jelas
bagi individu yang melakukannya, hanya perasaan puas, bangga, dan bahagia yang
dirasakan oleh individu yang melakukan tindakan tersebut.
3.1.2
Perilaku antisosial
Perilaku antisosial adalah
perilaku yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gangguan kepribadian yang
ditandai dengan melakukan pelanggaran terhadap norma, konvensi sosial, hukum,
impulsif, gagal dalam membina hubungan interpersonal dan pekerjaan, dan
kurangnya penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat.
DAFTAR PUSTAKA
Dahriani,
Adria. 2007. Perilaku Prososial Terhadap Pengguna Jalan Studi Fenomenologis
Pada Polisi Lalu Lintas (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
Hasniani.
2011. Perilaku Prososial (Prosocial Behavior). Online.
http://hasnianni-hasnianni.blogspot.com/2011/03/perilaku-propososial-proposocial.html.
Diunduh tanggal 12 Maret 2012.
Multiply.com.
2008. Tingkah Laku Prososial. Online.
http://valmband.multiply.com/journal/item/27/TINGKAH_LAKU_PROSOSIAL&show_interstitial=1&u=Fjournal2Fitem.
Diunduh tanggal 12 Maret 2012.
Nevid,
Jeferry S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga
Setyawati,
Tuti. 2010. Perilaku Anti Sosial. Online.
http://tutisetiyawati.blogspot.com/2010/10/perilaku-anti-sosial.html. Diunduh
tanggal 12 Maret 2012.
Silitonga
Ferry. 2010. Gangguan Kepribadian Antisosial (Psikopat).http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/04/gangguan-kepribadian-antisosial-psikopat/.
Diunduh tanggal 12 Maret 2012.
Umm.ac.id.
Tanpa Tahun. Empati dan Perilaku Prososial. Online.
http://p2kk.umm.ac.id/files/file/EMPATIDANPERILAKUPROSOSIAL.pdf. Diunduh
tanggal 12 Maret 2012.