Oleh:
Budi Astuti
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan daerah rawan gempa karena terletak
pada tiga pertemuan lempeng/ kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di
bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian
timur. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga lempeng
Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Euro-Asia. Penunjaman lempeng
Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan lempeng Euro-Asia yang bergerak
aktif ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi (PP No. 3/ Tahun 2010).
Peristiwa terjadinya bencana gempa yang tercatat pada hari
Sabtu, tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, berdasarkan
data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memiliki kekuatan dengan
skala 6,2 Magnitudo. Hal ini mengakibatkan korban jiwa sebanyak > 5.700
orang, meliputi wilayah Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, serta sebagian
wilayah Kabupaten Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Kabupaten Klaten.
Kerugian-kerugian akibat
gempa bumi yang ditanggung oleh masyarakat, tidak hanya menyangkut kerugian
materi, rumah, fisik, harta benda, aset-aset, pekerjaan, serta kehilangan
anggota keluarga dan famili, melainkan juga kerugian psikologis yang
membutuhkan waktu yang relatif lama untuk proses pemulihannya. Berdasarkan
estimasi kebutuhan (Iswanti, dkk., 2006) terdapat 1 juta orang sampai dengan
1,2 juta orang yang mengalami beban psikologis dari tingkatan sedang sampai
tingkatan berat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 97,5% pulih secara alami
setelah dua minggu, sebesar 2,5% atau 30 ribu orang mengalami kesulitan
psikologis sampai tiga bulan setelah peristiwa gempa, dan sebanyak 1% atau 12
ribu orang mengalami kesulitan jangka panjang.
Memperhatikan data-data
mengenai kesulitan dan gangguan psikologis yang diderita oleh sebagian besar
masyarakat korban gempa tersebut, maka perlu adanya upaya-upaya dan
langkah-langkah konkrit yang dilaksanakan sesegera mungkin untuk menangani
permasalahan tersebut secara tuntas. Berbagai kegiatan kemanusiaan telah
dilakukan oleh pihak Universitas Negeri Yogyakarta, terutama oleh Prodi
Bimbingan dan Konseling, Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, dengan cara mendirikan posko-posko pelayanan
bimbingan dan konseling.
PEMBAHASAN
Peran Universitas Negeri
Yogakarta dalam Membantu Korban Gempa
Universitas Negeri Yogyakarta sebagai salah satu LPTK di
Yogyakarta yang peduli terhadap pemulihan kondisi psikologis masyarakat korban
gempa, merasa memiliki tanggung jawab dan perlu mengemban tugas-tugas Tri
Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian pada masyarakat. Prodi bimbingan dan
konseling (FIP, UNY) menyusun langkah-langkah dengan cara menghimpun sumber
daya manusia (SDM) sebagai relawan dari kalangan dosen, mahasiswa, dan pihak-pihak
terkait dari luar lingkungan UNY yang bersedia memberikan bantuan dan
pemikirannya.
Dalam proses pelaksanaan kegiatan kemanusiaan tersebut,
prodi bimbingan dan konseling menjalin kerjasama dengan asosiasi profesi yang
berskala nasional yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Posko-posko
pelayanan bimbingan dan konseling didirikan di beberapa wilayah yang dianggap
perlu segera mendapatkan pertolongan (layanan responsif) meliputi: Posko
Piyungan (Bantul) dan Posko Pleret (Bantul), yang tersebar menjadi 16 kelompok
relawan di berbagai wilayah Bantul, dengan jumlah total relawan sebanyak 92
orang dari Yogyakarta ditambah dengan relawan dan pakar bimbingan dan konseling
dari ABKIN.
Secara resmi, posko-posko pelayanan bimbingan dan
konseling tersebut menjalankan kegiatannya secara aktif selama satu bulan,
yaitu mulai dari tanggal 18 Juni 2006 sampai dengan tanggal 18 Juli 2006. Namun
karena kebutuhan masyarakat akan proses pemulihan dan pendampingan tersebut
masih tergolong tinggi, sehingga masih perlu ditindaklanjuti dengan
program-program yang sifatnya sukarela.
Posko kemanusiaan yang didirikan oleh prodi bimbingan dan
konseling, mewadahi berbagai jenis aktivitas psikososial. Kegiatan-kegiatan
tersebut diantaranya: pendirian sekolah-sekolah darurat di berbagai wilayah
Yogyakarta, pendampingan psikologis bagi masyarakat, konseling bagi korban
gempa, pelatihan untuk relawan gempa melalui training of trainer, life
reconstruction, menyediakan fasilitas tempat dan media bermain bagi anak,
pelatihan brain storming, dan
lain-lain.
Gejala-gejala Trauma pada Korban Gempa
Bagi
para korban gempa bumi yang selamat tentu saja memberikan dampak psikologis dan
gangguan stress pasca trauma (post
traumatic stress disorder) yang begitu mendalam atas peristiwa gempa yang
mengguncang wilayah Yogyakarta. Dampak-dampak tersebut menyangkut kapasitas-kapasitas
psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang. Jika tidak
ditangani, trauma psikologis akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi,
mental, perilaku, dan spiritual.
Simptom
yang muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan
meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual, pening, sesak napas, dan panic.
Sementara itu pada aspek emosi muncul simptom di antaranya kehilangan gairah
hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri. Pada aspek mental
terjadi kebingungan, ketidakmampuan
menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan
baik.
Aspek
perilaku menunjukkan simptom-simptom di antaranya adalah sulit tidur,
kehilangan selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, menghindar, sering
menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak,
mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang,
rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain. Pada aspek
spiritual, seseorang akan mengalami gejala-gejala putus asa, hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti
ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan, tidak tulus, dan lain-lain.
Pelayanan
Bimbingan dan Konseling bagi Korban Gempa
Bimbingan
dan konseling hakekatnya adalah layanan
kemanusiaan yang diwarnai oleh pandangannya tentang manusia. Dalam perspektif pendidikan, bimbingan dan
konseling merupakan proses yang menunjang keseluruhan pelaksanaan pendidikan
dalam mencapai tujuannya, yaitu membantu perkembangan optimal sebagai individu
maupun sebagai makhluk sosial, sesuai dengan kemampuan, minat, dan nilai-nilai
yang dianutnya.
Tujuan
bimbingan dan konseling disamping harus
mampu merefleksikan kebutuhan individu, juga harus mampu membantu individu
mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan latar belakang sosial budaya,
dan tuntutan positif lingkungan, sehingga mampu mengantarkan individu kepada pengembangan pribadi secara utuh dan bermakna, baik bagi diri sendiri maupun
lingkungannya.
Sesuai dengan kompleksitas permasalahan menyangkut trauma
psikologis, maka diperlukan pendekatan yang bersifat komprehensif dan profesional. Metode yang digunakan dalam
menangani gangguan stress pasca trauma haruslah bersifat eklektik atau
kombinasi dari berbagai pendekatan, meliputi
medikasi, konseling, dan spiritual. Medikasi adalah pemberian
obat-obatan seperti anti depresan. Konseling merupakan pemberian pelayanan baik
konseling perorangan ataupun kelompok. Spiritual adalah pendampingan dalam
berdoa bersama, pengajian, dan sejenisnya. Oleh karena itu, kolaborasi dengan
pakar atau ahli profesional yang terkait dibutuhkan dalam pendekatan ini.
Konseling traumatik atau konseling krisis merupakan jawaban atas
bentuk kepedulian terhadap individu yang mengalami trauma. Hal ini sekaligus
menegaskan bahwa dalam upaya penyembuhan tekanan, kecemaan, atau stres yang
dialaminya memerlukan sentuhan-sentuhan psikologis melalui peran tenaga-tenaga
profesional yang ahli dalam bidangnya.
Misi utama layanan konseling krisis sebagai salah satu pihak yang
berkompeten ialah membantu memulihkan kondisi psikologis dan sosio-emosional korban
gempa agar dapat kembali memiliki kehidupan yang wajar. Layanan konseling
krisis membantu individu korban gempa dalam mengambil keputusan-keputusan
secara tepat terhadap problem psikologis yang dihadapinya dan bertindak atas
pilihan-pilihannya, sekaligus dalam rangka menjalankan fungsi konseling itu
dalam dimensi kuratif (penyembuhan), supportif
(dorongan), semangat, penyejuk suasana, penetralisir, reeducatif, maupun preventif (dalam arti agar masalahnya
tidak meluas dan mendalam, sehingga semakin berat dan kompleks).
Intervensi Psikologis dalam Konseling
Krisis bagi Korban Gempa
Dalam kaitan
dengan konseling krisis, Wright (1985) mengajukan delapan langkah dasar yang
harus diikuti dalam menolong seseorang yang sedang menghadapi krisis.
Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan terhadap bermacam-macam jenis krisis,
namun harus peka dan luwes dalam penerapannya. Langkah-langkah tersebut,
meliputi:
1.
Intervensi
langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan
semangat, dengan maksud untuk mengurangi
kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan
emosi. Intervensi juga mengatasi rasa
tak berdaya dan keputusasaannya.
2.
Mengambil tindakan,
yaitu dengan menggerakkan agar segera mungkin berperilaku yang positif, sambil
menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang permasalahan yang
dihadapi.
3.
Mencegah suatu
kehancuran (keterpurukan hidup), yaitu mencegah kehancuran dan berupaya memulihkan
melalui sasaran-sasaran jangka pendek dan terbatas.
4.
Membangun harapan dan
kemungkinan masa depan yang
positif. Sebaiknya tidak memberikan harapan palsu dan memberikan dorongan
untuk menyelesaikan masalahnya agar kembali seimbang.
5.
Memberikan
dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui komunikasi, doa,
peran keluarga, dan sebagainya.
6.
Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu
merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
7.
Membangun harga
diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu
pemecahannya secara bersama-sama.
8.
Menanamkan rasa
percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn konseli kepada
konselor (Sunardi, 2006).
PENUTUP
Trauma, shock,
dan ketakutan yang berlebihan dialami oleh hampir semua korban gempa. Penanganan
efek psikososial pasca gempa bagi para korban merupakan hal mutlak yang harus
dilaksanakan oleh profesi bimbingan dan konseling. Dengan kondisi tersebut
perlu diadakan konseling bagi para korban. Konseling diberikan oleh
konselor-konselor serta pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam bidang
kejiwaan.
Konseling krisis
diberikan agar beban kehilangan keluarga, harta benda, dan trauma psikis
lainnya dapat terobati. Care dan emphaty adalah dasar utama program
pemulihan kondisi psikologis bagi para korban gempa yang selamat. Pengkondisian
senyaman mungkin, akan sangat membantu mempercepat pemulihan kondisi psikologis
korban gempa, sehingga dapat mengurangi tekanan dan beban psikologis yang
dialaminya.
Bencana yang
terus saja mendera bangsa Indonesia, agaknya perlu dijadikan bahan kontemplasi
dan introspeksi bagi bangsa Indonesia. Masyarakat perlu lebih arif dan
bijaksana dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Dengan bencana tersebut,
seyogianya bangsa perlu terus mawas diri dan selalu mengingat kebesaran-Nya. Allah
SWT tidak akan memberikan cobaan melampaui batas kemampuan hamba-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Iswanti, S.,
Suwarjo, & Fathiyah, K.N. (2006). Konseling Krisis bagi Korban Gempa Bumi
DIY. Laporan Penelitian Hibah SP4 PPB FIP
UNY. Yogyakarta: PPB FIP UNY.
BNPB. (2010). Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana 2010-2014. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Sue, D.W. &
Sue, D. (2003). Counseling Culturally Diverse. Theory and Practice, 4th
Edition. Canada: John Wiley & Sons.
Sunardi. (2006).
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post
Traumatic Stress Disorder) dalam
Perspektif Konseling. Bandung: PLB FIP UPI Bandung.
Tim Penulis
Fakultas Psikologi UGM. (2006). Psikologi Peduli Gempa. Yogyakarta: Crisis & Recovery Center Fakultas
Psikologi UGM.