BAB 1
PENDAHULUAN
Pengantar
Konseling merupakan suatu hubungan membantu, dimana ada interaksi antara
konselor dan konseli dalam suatu kedaan yang membuat konseli merasa terbantu
dalam penyelesaian masalahnya dan mampu mengambil keputusan sendiri serta
bertanggungjawab atas hal yang sudah menjadi keputusannya. Dalam memberikan
pelayanan konseling diperlukan beberapa keterampilan yang harus dimiliki oleh
seorang konselor guna menunjang keberhasilan dan efektifitas konseling. Setting
seorang konselor tidak hanya di sekolah saja melainkan di suatu lembaga –
lembaga rehabilitasi social.
Sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling dan calon konselor professional
yang mempunyai tugas untuk membantu individu (konseli) mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan
yang dimiliki untuk mencapai kehidupan efektif sehari – hari. Dalam pembahasan
makalah ini akan diulas mengenai keterampilan dan kemampuan umum konselor dalam
setting rehabilitasi social. Dalam prakteknya konselor tidak hanya ada di sekolahan
saja tetapi juga di lembaga rehabilitasi. Oleh sebab itu perlu dipelajari pula
perbedaan peran antara konselor di sekolah dengan konselor di rehabilitasi
social.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Keterampilan
(Kompetensi) Dasar Konselor
Menjadi seorang konselor yang efektif diperlukan keterampilan dalam
mendukung kinerjanya. Menurut Mappiare (2004), ada beberapa kompetensi yang
harus dimiliki oleh seorang konselor :
1)
Kompetensi Intelektual
Kompetensi
intelektual konselor merupakan dasar lain bagi seluruh ketrampilan konselor
dalam hubungan konseling baik di dalam maupun diluar situasi interviu
konseling. Athur J.Jones dalam Mappiare (2004), menjelaskan bahwa
ketrampilan-ketrampilan konselor dilandasi oleh pengetahuan siap pakai mengenai
tingkah laku manusia, pemikiran yang cerdas dan kemampuan mengintegrasikan
peristiwa yang dihadapi dengan pendidikan dan pengalamannya.
Kompetensi
komunikasi juga merupakan sebagian dari kompetensi intelektual konselor. Oleh
karena itu,konseling terutama latar belakang interviu, sangat tergantung pada
komunikasi yang jelas,maka kunci penting keefektifan konseling adalah
kompetensi komunikasi. Stewart,dkk dalam Mappiare (2004), menunjukkan poin-poin
tempat dimana konselor perlu komunikasi secara kongkrit dan khusus-maksud,
yaitu: fokus masalah, mengidentifikasi tema penting, memokuskan pada suatu tema
dan mengerahkan tema ke satu tujuan.
Selain
itu,konselor juga harus mampu membedakan ciri budaya komunikasi klien. Konselor
harus memperhatikan adanya perbedaan komunikasi yang bertolak dari kekhasan
budaya klien. Komunikasi verbal maupun non verbal dapat berbeda antara beberapa
kelompok orang berdasarkan kebiasaan budaya lingkungannya.
2)
Kelincahan Karsa- Cipta
Menurut Jones,Stafflre,
dan Stewart (1979) dalam Mappiare (2004), penerapan kelincahan Karsa-Cipta
memakai istilah “Flexibility”.
Sedangkan dalam penerapan khusus dalam situasi interviu konseling dengan
memakai istilah intentionality.
Fleksibilitas
adalah kemampuan dan kemauan konselor untuk mengubah,memodifikasi, dan
menetapkan cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan (Latipun dalam
Sugiharto,dkk,2007). Karena sifat hubungan dalam konseling adalah tidak
tetap,maka konselor haruslah tidak kaku. Konselor harus peka dan tanggap
terhadap perubahan-perubahan sikap, persepsi, dan ekspektasi klien terhadapnya.
Hal tersebut menuntut kelincahan (fleksibility)
konselor dalam menempatkan diri. Konselor berupaya untuk beradaptasi dengan
situasi yang berkaitan dengan proses konseling dengan klien.
Sedangkan
intensoinalitas berkenaan dengan kemampuan konselor untuk memilih respon-respon
bagi pernyataan kliennya dari sejumlah kemungkinan respon yang dapat
diungkapkannya dalam proses konseling. Oleh karena banyak kemungkinan respon
yang dapat dibuat konselor, maka dibutuhkan kelincahan dalam memilih dengan
cepat dan tepat respon yang bijak.
3)
Pengembangan Keakraban
Istilah
“pengembangan” disini mencakup menciptakan, pemantapan, dan pelanggengan
keakraban selama konseling. Pengembangan dalam hal ini mengacu pada pembinaan
hubungan yang harmonis antara klien dan konselor yang dikenal dengan istilah “rapport”. Keakraban mengacu pada suasana
hubungan konseling yang bercirikan suasana santai, keselarasan, kehangatan,
kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, saling menerima antara klien dna
konselor. Dalam hal ini ada kesediaan konselor untuk mendengarkan dengan penuh
perhatian,terbuka, dan penerimaan segala apa yang mungkin akan diucapkan oleh
klien yang baru datang. Dengan kata lain bahwa mendengarkan dengan penuh
perhatian, penerimaan, pemahaman, serta sikap sejati dan terbuka, yang berhadil
dipancarkan konselor dan dapat dipersepsi dengan baik adalah salah satu
prasyarat dalam pengembangan keakraban.
2.2 Keterampilan
Dasar Konseling
Dalam buku ajar Psikologi Konseling (Sugiharto, 2007:55) disebutkan bahwa
ada tiga keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh konselor :
1)
Keterampilan
Antarpribadi
Keterampilan ini
merupakan keterampilan inti dalam konseling. Termasuk dalam keterampilan ini
ialah semua keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun relasi dengan klien,
sehingga klien dapat terlibat dalam proses konseling. Keterampilan ini
merupakan dasar karena relasi yang penuh kepercayaan antara konselor dan klien
akan membentuk penghargaan, keterbukaan, pemahaman, dan partisipasi klien dalam
konseling.
Keterampilan
antarpribadi mencakup kemampuan konselor dalam mendampingi klien, mendengarkan
mereka, dan mendorong mereka, dan
menceritakan apa saja yang ada dalam benak mereka. Leod (2006:536)
mengemukakan bahwa keterampilan antarpribadi berkaitan dengan konselor
mendemonstrasikan perilaku mendengarkan, berkomunikasi, empati, kehadiran,
kesadaran komunikasi non verbal, sensitivitas terhadap kualitas suara,
responsivitas terhadap ekspresi emosi, pengambilalihan, menstruktur waktu, dan
menggunakan bahasa. Jika keterampilan ini diterapkan secara efektif, klien akan
mendapat keberanian untuk membicarakan pikiran-pikiran dan masalah mereka. Leod
dalam Sugiharto (2007) juga mengemukakan bahwa hubungan atau relasi
antarpribadi sangat dipengaruhi oleh faktor umum, seperti kelas sosial, usia,
dan gender. Dengan kata lain, dalam keterampilan antar pribadi ini, dan
berdasar pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka konselor seharusnya
untuk sadar akan budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap individu
maupun yang ia miliki sendiri serta mampu meningkatkan gaya atau pendekatan
konselingnya secara tepat.
Dalam hal ini,
keterampilan-keterampilan wawancara didasarkan pada kemampuan etik dan
multibudaya. Keterampilan anatarpribadi dasar secara umum dapat dikelompokkan
dalam tiga jenis keterampilan, yaitu:
1.
Keterampilan verbal
Keterampilan
ini mengacu pada isi verbal dari proses konseling. Konselor menggunakan
keterampilan ini untuk memberi perhatian pada klien yang pada gilirannya akan
memperlancar jalannya percakapan. Penggunaan keterampilan ini membantu klien
merasa nyaman untuk memberikan informasi pada konselor sehingga konselor dapat
menelaah pokok permasalahan. Keterampilan verbal mencakup tanggapan-tanggapan
verbal, kualitas vokal yang memadai, dan alur verbal.
Kemampuan
menanggapi mencakup sejumlah keterampilan dalam wawancara. Diantaranya ialah:
a.
Paraphrase
Keterampilan ini
menunjuk pada pengulangan kata0kata dan pemikiran kunci dari klien.
b.
Reflecting of feelings
Dalam hal ini, konselor
bertugas untuk mendengar secara cermat, menafsirkan perasaan yang tersirat dan
merumuskan dlam kalimat jelas yang berisi kata perasaan menurut konselor.
c.
Interpretation
Keterampilan iini
mencakup pemberian nama dan penggambaran secara positif pemikiran, perasaan,
dan perilaku klien.
d.
Summatization
Peringkasan adalah
suatu cara untuk meninjau ulang isi wawancara, mengumpulkan kembali unsur-unsur
umum dan rinciannya.
e.
Clarification
Keterampilan yang
mengacu pada perumusan inti-inti kalimat dan gagasan klien dalam bentuk lain
dengan makna yang sama.
f.
Open and close question
Keterampilan ini
mengacu pada kemampuan konselor untuk mengajukan pertanyaan dan memperjelas
masalah klien. Pertanyaan tersebut mengarahkan konselor menuju pemahaman yang
lebih baik terhadap situasi-situasi klien dan juga mengarahkan klien untuk
menceritakan masalahnya dengan jelas.
2.
Keterampilan non verbal
Komunikasi
atau ketrampilan merupakan bentuk komunikasi yang ikut mewarnai corak konseling
sebagai suplemen, komplemen, dan subtitusi komunikasi verbal (Surya,dalam
Sugiharto,2007:59). Ketrampilan ini mengacu pada perilaku non-verbal konselor
dapat menyebabkan kemajuan dalam proses konseling dan memperlihatkan
pendampingan pada klien.
Menurut
Hutahuruk (dalam Sugiharto,2007:59), beberapa sikap atau ketrampilan non verbal
konselor sebagai berikut:
a.
Posisi Badan (termasuk
gerak isyarat dan ekspresi muka), diantara posisi badan yang baik dalam
attending,mencakup:
1.
Duduk dengan menghadap
klien.
2.
Tangan diatas pangkuan
atau berpegang bebas atau kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan gerak
isyarat yang sedang dikomunikasikan secara verbal.
3.
Responsif dengan
menggunakan bagian wajah, umpamanya senyum spontan atau anggukan kepala sebagai
persetujuan atau pemahaman dan kerutan dahi tanda tidak mengerti.
4.
Badan tegak lurus tanpa
kaku dan sesekali condong kearah klien untuk menunjukkan kebersamaan dengan
klien.
Posisi badan
yang tidak baik mencakup:
1.
Duduk dengan badan dan
kepala membungkuk menghadap klien.
2.
Duduk dengan sangat
kaku.
3.
Gelisah atau tidak
tenang (resah).
4.
Mempergunakan tangan, kertas
dan kuku tangan.
5.
Sama sekali tanpa gerak
isyarat pada tangan.
6.
Selalu memukul-mukul
dan menggerakkan tangan dan lengan.
7.
Wajah tidak menunjukkan
perasaan.
8.
Terlalu banyak
senyum,kerutan dahi atau anggukan kepala yang tidak berarti.
b.
Kontak Mata.
1.
Kontak mata yang baik
berlangsung dengan melihat klien pada waktu dia berbicara kepada konselor dan
sebaliknya.
2.
Kontak mata yang tidak
baik,mencakup:
a) Tidak
pernah melihat klien.
b) Menatap
klien secara tetap dan tidak memberi kesempatan klien untuk membalas tatapan.
c) Mengalihkan
pandangan dari klien segera sesudah klien melihat kepada konselor.
d) Mendengarkan.
Mendengar
dalam ketrampilan ini adalah mendengar dengan tepat dan mengingat apa yang klien katakana dan bagaimana mengatakannya. Dengan
mendengar yang tepat memungkinkan konselor merumuskan tanggapan yang dapat
menangkap dnegan tepat perasaan dan pikiran klien.
Cara
mendengar yang baik mencakup:
1) Memelihara
perhatian penuh dengan terpusat kepada klien.
2) Mendengarkan
segala sesuatu yang dikatakan oleh klien.
3) Mendengarkan
keseluruhan pribadi klien (kata-katanya,perasaan, dan perilakunya). Memahami
pesan baik verbal maupun non verbal dari diri klien.
4) Mengarahkan
apa yang konselor katakan terhadap apa yang telah dikatakan oleh klien.
c.
Ketrampilan mengamati
klien.
Konselor dalam
hal ini dituntut untuk sungguh-sungguh sadar akan apa yang sedang klien
katakana,khususnya melalui gerakan-gerakan tubuh mereka, raut wajah, kualitas
vocal, dan ketidak sesuaian antara bahasa non verbal dengan ungkapan-ungkapan
verbal mereka. Perilaku non verbal klien harus secara cermat diamati ketika ia
sedang menyampaikan satu informasi penting tentang dirinya dan situasinya.
2)
Keterampilan Intervensi
Ketrampilan
intervensi adalah kemampuan konselor untuk melibatkan klien dalam pemecahan
masalah. Dalam proses pemecahan masalah,konselor perlu memiliki pengetahuan
tentang berbagai strategi dan cara yang berbeda untuk menolong klien menghadapi
masalah.
Ada beragam
strategi dan cara yang diusulkan oleh berbagai aliran atau pendekatan
konseling. Pendekatan ini dapat membentang dari pendekatan psikodinamis (psikoanalisis,Adlerian) sampau
pendekatan eksisitensial, pendekatan Rogerian yang berpusat pada klien sampai
terapi rasional emotif behavior, realitas dan analisis transaksional. Dalam hal
ini konselor sebaliknya menguasai satu pendekatan dasar dan kemudian berusaha
memadukan cara-cara yang bermanfaat dari berbagai pendekatan lainnya demi
penanganan efektif terhadap masalah-masalah klien.
3)
Keterampilan Integrasi
Keterampilan integrasi adalah kemampuan konselor yang mengacu pada
kemampuan – kemampuan konselor untuk menerapakan strategi – strategi pada
situasi khusus berdasarkan pada aspek budaya dan sosio-ekonomi konseli.
Konseling tidak dapat dipraktekan tanpa memperhatikan aspek budaya karena
setiap konseli yang datang sebagian besar dipengaruhi oleh system nilai dan
system budayanya.
2.3 Perbedaan
Peran Konselor di Sekolah dan di Rehabilitasi Sosial
Konselor dapat
bekerja dalam setting yang berbeda - beda contohnya di sekolah atau di luar
sekolah (rehabilitasi sosial). Berikut ini akan dipaparkan peran/tugas konselor
di sekolah dan di rehabilitasi sosial :
1) Peran Konselor di
Sekolah
Konselor sekolah
adalah petugas profesional yang artinya secara formal mereka telah disiapkan
oleh lembaga atau institusi pendidikan yang berwenang. Konselor sekolah memang
sengaja dibentuk menjadi tenaga-tenaga yang profesional dalam pengetahuan,
pengalaman dan kualitas pribadinya dalam bimbingan dan konseling. Oleh karena
itu tugas-tugas yang diembannya pun mempunyai kriteria khusus dan tidak semua
orang atau semua profesi dapat melakukannya. Tugas-tugas konselor sekolah
tersebut antara lain :
a.
Bertanggung jawab
tentang keseluruhan pelaksanaan layanan konseling di sekolah.
b.
Mengumpulkan, menyusun,
mengelola, serta menafsirkan data, yang kemudian dapat dipergunakan oleh semua
staf bimbingan di sekolah.
c.
Memilih dan
mempergunakan berbagai instrument psikologis untuk memperoleh berbagai
informasi mengenai bakat khusus, minat, kepribadian, dan intelegensinya untuk
masing-masing siswa.
d.
Melaksanakan bimbingan
kelompok maupun bimbingan individual (wawancara konseling).
e.
Mengumpulkan, menyusun
dan mempergunakan informasi tentang berbagai permasalahan pendidikan,
pekerjaan, jabatan atau karir, yang dibutuhkan oleh guru bidang studi dalam proses
belajar mengajar.
f.
Melayani orang tua/wali
murid yang ingin mengadakan konsultasi tentang anak-anaknya.
2) Peran Konselor di
Rehabilitasi Sosial
Hakekat dari
konselor rehabilitasi profesional adalah yang memiliki rasa yang kuat
terhadap identitas keprofesionalannya,
memiliki kemampuan untuk berfungsi pada keadaan yang membingungkan, kemampuan
untuk melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan di kondisi yang tidak
selalu ideal (dimana konselor memiliki informasi yang cukup/lengkap), kemampuan
untuk berhubungan baik dengan orang-orang dengan kepedulian dan empati, namun
mampu untuk menyatakan diri mereka sendiri sebagai konselor yang efektif. Karakteristik ini penting di berbagai konteks
dimana koselor rehabilitasi bekerja. Dengan tanpa melihat situasi lapangan
kerja mereka, konselor rehabilitasi
harus mampu:
a.
Mengkaji kebutuhannya
individu.
b.
Mengembangkan program
atau rencana untuk memenuhi kebutuhan yang ada.
c.
Menyediakan atau
merancang pelayanan, yang mungkin meliputi penempatan kerja dan pelayanan
tindak lanjut.
Keterampilan
konseling adalah suatu komponen kritis dari semua aktivitas konselor. Secara
umum, ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi adalah membantu individu
penyandang ketunaan mencapai tujuan personal, karir dan kemandirian hidupnya
dalam setting yang seintegrasi mungkin. Untuk itu, konselor rehabilitasi
menggunakan berbagai metode dan teknik. Secara spesifik, CRCC mendaftar ruang
lingkup praktek konselor rehabilitasi itu sebagai berikut:
a.
Assessment
dan appraisal (pengukuran).
b.
Diagnosis dan rencana
treatment.
c.
Konseling karir
(vokasional).
d.
Intervensi treatment
konseling individual dan kelompok yang berpusat pada memfasilitasi penyesuaian
diri klien pada dampak medis dan dampak psychosocial
kecacatan.
e.
Manajemen kasus,
rujukan, dan koordinasi pelayanan.
f.
Evaluasi program dan
Penelitian.
g.
Intervensi untuk
merubah lingkungan, ketenagakerjaan, dan penghalang sikap.
h.
Jasa konsultasi antara
berbagai pihak dan para pembuat kebijakan.
i.
Analisis pekerjaan,
pengembangan pekerjaan, dan penempatan, termasuk mengakomodasi individu untuk
memenuhi tuntutan pekerjaan.
j.
Memberikan konsultasi
dan mengakses teknologi rehabilitasi.
Berdasarkan
pemaparan peran konselor di sekolah dengan konselor di rehabilitasi social dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan peran dari keduanya. Salah satu perbedaannya
adalah dalam konseling di sekolah lebih menekankan terhadap optimalisasi
perkembangan peserta didik dan permasalahan baik yang mencakup aspek pribadi,
belajar, karir dan sosialnya. Sedangkan dalam konseling di rehabilitasi social
lebih menekankan terhadap pembekalan keterampilan dan karir untuk kelangsungan hidup klien serta terkait
dengan keadaan sosialnya klien tersebut mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan dapat diterima di lingkungan keluarga dan masyarakat.
2.4 Implikasi Keterampilan
Konselor dalam Setting Rehabilitasi Sosial
Telah kita
ketahui bahwa konseling rehabilitasi dapat diartikan sebagai suatu bidang ilmu
yang mengkaji cara-cara membantu penyandang cacat mencapai tujuan personal,
sosial, psikologis dan vokasionalnya. Untuk itu, sebagai seorang konselor
rehabilitasi perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus serta sikap
yang dibutuhkan untuk berkolaborasi dalam hubungan profesional dengan
penyandang cacat. Dalam proses konseling melibatkan komunikasi, penentuan
sasaran, dan pertumbuhan yang menguntungkan atau perubahan melalui keterampilan
antarpribadi, keterampilan intervensi dan keterampilan integrasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
oleh seorang konselor dalam konseling rehabilitasi yaitu:
a.
Dalam berkomunikasi
dengan klien, konselor harus mempertimbangkan gaya komunikasi klien ataupun
gayanya sendiri.
b.
Konselor rehabilitasi
tidak boleh memasuki hubungan konseling dengan asumsi yang kaku tentang
bagaimana seharusnya seorang individu merespon terhadap kecacatannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mappiare, Andi. 2004. Pengantar Konseling dan Psikoterapi.
Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada
Sugiharto, DYP dan Mulawarman. 2007. Buku Ajar Psikologi Konseling
Subliyanto. 2011. Peran Konselor di Sekolah. http://subliyanto.blogspot.com/favicon.ico,
diunduh pada tanggal 17 April 2012
Tarsidi Didi. 2008. Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. http://d-tarsidi.blogspot.com/,
diunduh tanggal 18 April 2012