Review jurnal
dari hasil penelitian Anastasia Priliantini, FKIP Unika Atma Jaya dengan judul
“Hubungan Antara Gaya Manajemen Konflik dengan Kecenderungan Perilaku Agresif
Narapidana Usia Remaja di Lapas Anak Pria Tangerang”
1. PENDAHULUAN
Masa remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam
hidup mereka. Kenangan terhadap masa remaja tidak mudah dilupakan, sebaik atau
seburuk apapun kenangan tersebut. Sementara, banyak orangtua yang memiliki anak
berusia remaja merasakan bahwa usia remaja itu merupakan masa yang sulit untuk
dipahami. Orangtua pun menganggap bahwa remaja perlu mendapatkan perlindungan
yang ketat karena di mata orang tua para remaja masih belum siap untuk
menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi remaja, tuntutan
internal membawa remaja pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri
dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki kesamaan pemahaman, yaitu masa remaja
adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi masa dewasa (Zulkifli, 2002).
Menurut Irwanto (2002), remaja adalah sosok idealis. Remaja memandang dunianya
seperti apa yang diinginkannya, bukan sebagaimana adanya. Remaja suka
mimpi-mimpi yang sering membuatnya marah, cepat tersinggung atau frustasi.
Periode remaja juga merupakan periode pemantapan identitas. Pemantapan
identitas ini tidak selalu mulus. Proses itu panjang dan bergejolak. Banyak
ahli yang menamakan periode ini sebagai masa storm and stress. Pada gilirannya remaja dihadapkan pada
berbagai pilihan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan batin dalam dirinya
yang biasanya berupa konflik. Ada lima pendekatan manajemen konflik yang sudah
umum diterima, yaitu akomodator, kolaborator, kompromiser, penghindar,
pendominasi (Pickering, 2000). Tidak ada
satu pendekatan pun yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu, penting
untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi.
2. KAJIAN TEORI
2.1. Masa Remaja
Ali, dkk.
(2005) menyatakan bahwa remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolesecene,
berasal dari bahasa Latin memiliki arti “tumbuh atau untuk mencapai
kematangan”. Masa remaja merupakan salah
satu periode perkembangan dan pertumbuhan yang dialami oleh setiap
individu dalam perjalan hidupnya. Sifat-sifat yang menonjol dari kehidupan seseorang
remaja atara lain: idealis, romantis, suka berkhayal, berharaap tinggi, dan
berkeyakinan (Gunarsa, 1995). Lebih lanjut masa remaja dipandang sebagai masa
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan
yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Gunarsa, 2000). Masa
remaja dalam pembahsannya menggunakan istilah “adolescene” yang berasal
dari bahasa Latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa
(Hurlock, 1996). Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1996), istilah adolescene mempunyai arti yang sangat luas mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, dan fisik.
2.2. Usia dan Ciri-ciri Masa Remaja
Hurlock
(1996) membagi masa remaja ke dalam dua periode, yaitu masa remaja awal pada
usia 13 tahun sampai 15 tahun dan masa remaja akhir pada usia 16 tahun sampai
dengan 18 tahun. Batas usia remajayang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah usia 13-18 tahun. Menurut Zulkifli (2002) ada beberapa ciri remaja yang
harus diketahui: (1) pertumbuhan fisik, fisik megalami pertumbuhan cepat, lebih
cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa; (2) Perkembangan
seksual; mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan masalah dan
menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya; (3) Cara
berpikir kausalitas; menyangkut hubungan sebab akibat dan berpikir kritis; (4)
Emosi yang meluap-luap; berhubungan dengan keadaan hormon; mereka mudah luppa
diri karena tidak mempu menahan emosi yang meluap-luap; (5) Tertarik kepada
lawan jenis dan mulai berpacaran; (6) Menarik perhatian lingkungan; remaja
cenderung mencari perhatian dari lingkungannya, berusaha mendapatkan status dan peranan dalam berbagai kegiatan;
(7) Terikat pada kelompok; remaja sangat tertarik pada kelompok sebayanya
sehingga tidak jarang orangtua dinomor duakan sedangkan kelompoknya dinomor
satukan.
2.3. Tugas Perkembangan Remaja
Secara umum tugas perkembangan masa
remaja difokuskan pada upaya mengurangi atau bila mungkin menghilangkan sama
sekali sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk menepati
kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa.Menurut Hurlock (1996),
mengemukakan tugas-tugas perkembangan masa remaja adalah : 1) Mampu menerima
keadaan fisiknya; 2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa; 3) Mampu
membina hubungan baikdengan anggota kelompok yang berlainan jenis; 4) Mencapai
kemandirian emosional; 5) Mencapai kemandirian ekonomi; 6) Mengembangkan konsep
dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran
sebagai anggota masyarakat; 7) Memahami dan menginternalisasi nilai-nilai orang
dewasa dan orang tua; 8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang
diperlukan untuk memasuki dunia dewasa; 9) Mempersiapkan diri untuk memasuki
perkawinan; 10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga.
2.4. Karakteristik Gangguan pada Remaja
Santrock (2003) menyatakan bahwa
gangguan pada remaja bervariasi dalam hal tingkat keparahannya dan tingkat
perkembangan remaja, jenis kelamin, dan kelas sosial. Beberapa gangguan pada remaja berlangsung
dalam jangka waktu yang singkat, sementara gangguan lainnya bisa bertahan
selama bertahun-tahun. Beberapa gangguan
cenderung muncul pada salah satu tingkat perkembangan lainnya. Sebagai contoh, pada suatu penelitian
ditemuka bahwa depresi, tingkah laku membolos, dan penggunaan obat terlarang
lebih umum muncul pada remaja yang lebih tua, sementara bertengkar berkelahi,
dan berbicara dengan suara yang terlalu keras lebih banyak muncul pada remaja
yang lebih muda (Edelbrock, 1989).
2.5.
Hakikat Konflik
Menurut
Pickering (2000), konflik adalah pertentangan antara pihak satu dengan yang
lain yang tidak cocok. Konflik memiliki
beberpa manfaat, yakni: 1) Meningkatkan motivasi; 2) Identifikasi masalah;3) Ikatan
kelompok lebih erat; 4) Penyesuaian diri pada kenyataan; 5) Pengetahuan
meningkat; 6) Kreatifitas meningkat; 7) Membantu upaya mencapai tujuan; 8) Mendorong
pertumbuhan. Sedangkan dampak buruk konflik yakni, meliputi: 1) Produktifitas
menurun; 2) Kepercayaan menurun; 3) Pembentukan kubu-kubu; 4) Informasi
dirahasiakan dan arus komunikasi berkurang; 5) Timbul masalah moral; 6) Waktu
terbuang sia-sia; 7) Proses pengambilan keputusan tertunda.
2.6.
Jenis-jenis konflik
Konflik terbagi
menjadi dua jenis, yaitu konflik dari dan antar individu. Pickering (2000)
menyatakan konflik diri adalah gangguan emosi yang terjadi dalam diri
seseorang, karena dia dituntun menyelesaikan suatu pekerjaan atau memenuhi
suatu harapan sementera pengalaman, minat, tujuan dan tata nilainya tidak
sanggup memenuhinya sehingga menjadi beban baginya.
Menurut
Pickering (2000) konflik antar individu yaitu konflik yang terjadi antar dua
individu atau lebih. Setiap individu memiliki 4 kebutuhan dasar psikologis yang
dapat menimbulkan konflik jika tidak terpenuhi. 4 kebutuhan itu yaitu: 1) Diperlakukan
dan dihargai sebagai manusia; 2) Keinginan memegangkendali; 3) Memiliki harga
diri; 4) Keinginan untuk konsisten.
2.7.
Gaya Manajemen Konflik
Emirzon (2001)
mendefinisikan manajemen konflik sebagai “cara-cara yang berbeda di mana
konflik dapat dikelola oleh para pihak sendiri”. Hal ini berarti, para pihak
yang terlibat konflik dapat menyelesaikan konflik yang terjadi tanpa melibatkan
pihak luar (dalam Hidayati dkk, 2005). Menurut Pickering (2000), ada lima
pendekatan pada manajemen konflik yang sudah umum diterima, yaitu :
1.
Akomodator atau
penolong ramah, orang yang menggunakan gaya ini kurang tegas dan cukup
kooperatif, mengabaikan kepentingannya sendiri demi kepentingan orang lain. Gaya
ini sangat mengutamakan hubungan dan kurang mementingkan tujuan-tujuan
pribadinya.
2.
Kolabolator
atau pemecah masalah, orang yang menggunakan gaya ini berusaha menciptakan
situasi yang memungkinkan agar tujuan semua kelompok dapat dicapai. Pemecah
masalah berusaha menemukan solusi yang bisa diterima semua pihak. Gaya ini
sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadinya sekaligus hubungannya dengan pihak
lain.
3.
Kompromiser
atau pendamai penyiasat, gaya ini berorientasi jalan tengah, karena setiap
orang punya sesuatu untuk ditawarkan dan sesuatu untuk diterima. Gaya ini
senang mencari kompromi dan baginya tercapainya tujuan-tujuan pribadi maupun
hubungan baik dengan pihak lain sama-sama cukup penting.
4.
Penghindar atau
penurut impersonal, cenderung memandang konflik tidak produktif dan sedikit
menghukum. Aspek negatif dari gaya ini adalah melemparkan masalah pada orang
lain atau mengesampingkan masalah. Gaya lebih senang menarik diri untuk
menghindari konflik.
5.
Pesaing atau
pendominasi, identik dengan mengejar kepentingannya sendiri secara agak zalim
dan pada umumnya dengan mengorbankan anggota-anggota lain di dalam kelompok.
Pendominasi memandang kekalahan sebagai tanda kelemahan, status yang menurun
dan suatu citra diri yang ambruk. Gaya ini cenderung sering menaklukkan lawan
dengan memaksanya menerima solusi konflik yang ia sodorkan.
Sebetulnya
tidak ada satu pendekatan pun yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena
itu, penting untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai
dengan situasi. Gaya yang tepat dan adaptif itu cocok dengan kepribadian orang
tersebut. Individu dapat mengidentifikasi situasi, mana yang cocok untuk gaya
yang mana dan situasi yang tidak cocok, serta menilai kekuatan dan kelemahan
dari gaya manajemen konflik kita sendiri.
2.8.
Perilaku dan Jenis Agresif
Menurut
Breakwell (1998), agresi secara tipikal didefinisikan oleh para psikolog
sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan
seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu. Myers (dalam Sarwono,
1999) menyebutkan dua jenis agresi yaitu :
1.
Agresi rasa benci
atau agresi emosi adalah agresi yang ditandai oleh emosi yang tinggi dan
semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti.
2.
Agresi
instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai
alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Deaux (Ratnasari, 1999) ada dua jenis perilaku agresi,
yaitu :
1.
Agresi secara
fisik meliputi tingkah laku seperti memukul teman, menarik baju teman dengan
kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman dengan benda, berkelahi,
merusak barang milik teman, mengganggu teman, mengancam teman dengan mengacungkan
tinju, membuang barang milik teman, mencakar teman, memaksa teman memenuhi
keinginannya, melukai diri sendiri.
2.
Agresi secara verbal
meliputi tingkah laku seperti mengejek teman, menghina teman, mengeluarkan
kata-kata kotor, bertengkar mulut, menakut-nakuti teman, memanggil teman dengan
nada kasar, mengancam dengan kata-kata mengkritik, menyalahkan dan
menertawakan.
2.9. Perkembangan
Perilaku Agresif
Krahe (2005) menyatakan bahwa
perubahan penting pada pola perilaku agresif dari masa kanak-kanan ke masa
remaja adalah bahwa agresi dan kekerasan cenderung menjadi lebih terorganisasi
secara sosial. Geng-geng remaja yang terdiri oleh para remaja yang ditolak
secara sosial oleh teman-teman sebaya mereka yang kurang agresif. Contoh:
geng-geng yang menunjukkan senioritas yang ada di institusi pendidikan.
Geng-geng itu dianggap menarik bagi individu-individu yang mempunyai tingkat
agresivitas tinggi dan bertaanggungjawab atas tingginya proporsi agresi remaja,
termasuk perkelahian antargeng. Sementara kekerasan geng secara luas masih
dianggap sebagai fenomena laki-laki. Laporan mengenai geng remaja perempuan
yang mampu melakukan agresi serius kini kian sering ditemukan. Moffit, dkk.
(1996) memperlihatkan bahwa 73% anak laki-laki yang pernah dipenjara karena
melakukan penyerangan disertai kekerasan pada usia 18 tahun, ternyata juga
memiliki sejarah perilaku antisosial yang menetap sejak masa kanak-kanak
(Krahe, 2005:85).
2.10. Hubungan
antara Gaya Manajamen Konflik dengan Perilaku Agresif
Menurut
Krahe (2005) , dalam teori insting ganda, Freud mengusulkan bahwa perilaku
individu didorong oleh dua kekuatan bdasar yang menjadi bagian tak terpisahkan
dari sifat manusiawi, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting
kematian (thanatos). Eros mendorong orang ke arah mencari
kesenagan dan berusaha memenuhi keinginan, sedangkan thenatos diarahkan
pada destruksi diri. Karena sifat antagonisiknya, kedua insting itu merupakan
sumber konflik intrafisik berkelanjutan, yang hanya dapat diatasi dengan
mengalihkan kekuatanitu dari orang yang bersangkutan kepada orag lain. Jadi,
bertindak agresif terhadap orang lain dianggap merupakan mekanisme untuk
melepaskan energi destruktif sebagai cara melindungi stabilitas intrafisik
pelakunya. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan Krahe (2005) di atas,
peneliti mengasumsikan ada hubungan negatif dan signifikan antara gaya
menajemen konflik dengan kecenderungan perilaku agresif narapidana remaja di
Lapas Anak Pria Tangerang. Dalam hal ini gaya manajemen konflik dijadikan
ukuran dalam menetapkan tingkah laku bagi remaja, yaitu kecenderungan
berperilaku agresif. Individu dengan gaya manajemen konflik yang baik
diharapkan tidak berperilaku agresif.
3.
HASIL PENELITIAN
3.1.
Analisis Deskriptif
3.1.1. Variabel Gaya Mananajemen Konflik dan
Variabel Kecenderungan Perilaku Agresif
Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa dari 127 narapidana usia remaja Lapas Anak
Pria Tangerang memiliki gaya manajemen konflik yang cenderung sedang, yaitu
sebanyak 70 narapidana atau 55% dari jumlah secara keseluruhan. Sedangkan
variabel kecenderungan perilaku agresif didapatkan hasil penelitian bahwa dari
127 narapidana ang memiliki kecenderungan perilaku agresif
pada kategori rendah sebanyak 67 narapidana
atau 53% dari total secara keseluruhan narapidana yang ada di Lapas Anak
Pria Tangerang.
Dari kelima gaya manajemen konflik
yang ada, pernah digunakan oleh narapidana usia remaja di Lapas Anak Pria Tangerang.
Gaya manajemen konflik kolaborator merupakan gaya yang digunakan oleh
narapidana untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dibuktikan dengan jumlah
pemilih yang mendominasi yaitu 84 narapidana (66%). Sedangkan gaya manajemen
penghindar merupakan gaya yang tidak pernah digunakan oleh narapidana untuk
menyelesaikan konflik. Hal ini terlihat dari 91 narapidana (72%) yang menolak
menggunakan gaya tersebut.
3.2.
Analisis Korelasi
Berdasarkan
hasil tabel dalam penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan negative dan signifikan antara gaya manajemen konflik dengan
kecenderungan perilaku agresif. Hal ini berarti semakin tinggi tinggi tingkat
penggunaan gaya manajemen konflik maka akan semakin rendah kecenderungan
perilaku agresif, dan sebaliknya semakin rendah tingkat penggunaan gaya
manajemen konflik, maka akan semakin tinggi pula tingkat kecenderungan perilaku
agresif.
4. PEMBAHASAN
Pickering
(2000) mengemukakan pentingnya individu untuk mengembangkan kemampuan manajemen
konflik di dalam dirinya seperti halnya pada perilaku agresif. Kecenderungan
perilaku agresif dapat diminimalisir jika setiap individu memiliki atau
mengembangkan kemampuan menggunakan gaya manajemen konflik yang responsive dan
adaptif dengan situasi yang dihadapi. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan
bahwa narapidana usia remaja di Lapas Anak Pria Tangerang memiliki tingkat gaya
manajemen konflik yang cenderung sedang. Meskipun dalam pengembangan kemampuan
manajemen konflik tersebut belum maksimal, akan tetapi nara pidana mampu
menempatkan atau menggunakan gaya manajemen konflik sesuai dengan situasi.
Adapun gaya manajemen konflik yang digunakan oleh narapidana usia remaja di
Lapas Anak Pria Tangerang adalah gaya kolaborator yang artinya para narapidana
selalu berusaha untuk menciptakan situasi yang memungkinkan agar tujuan semua
kelompok dapat dicapai dan dapat diterima oleh semua pihak termasuk tujuan pribadinya dapat tercapai
seiring dengan tujuan semua kelompok. Sedangkan gaya manajemen konflik yang
tidak pernah digunakan oleh narapidana adalah gaya penghindar.
5.
KETERKAITAN DENGAN KONSELING
REHABILITASI
Dalam
konseling rehabilitasi, pengguanaan gaya manajemen konflik dengan kecenderungan
perilaku agresif narapidana usia remaja di Lapas Anak Pria Tangerang merupakan
bentuk intervensi yang digunakan sebagai suatu alternatif pada remaja khususnya
remaja pria yang mempunyai permasalahan yang berkenaan dengan konflik batin yang
akhirnya dapat menimbulkan adanya suatu bentuk tindakan yang agresif. Penerapan
gaya manajemen konflik dalam konseling rehabilitasi sosial bertujuan untuk
mengembangkan keterampilan pada narapidana remaja pria yang ada di Lapas Pria
Tangerang. Diharapkan dengan menerapkan gaya manaemen konflik para narapidana
di Lapas Anak Pria Tangerang dapat meminimalisir adanya perilaku agresif.