Sabtu, 23 Juni 2012

HUBUNGAN ANTARA GAYA MANAJEMEN KONFLIK DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF NARAPIDANA USIA REMAJA DI LAPAS ANAK PRIA TANGERANG



Review jurnal dari hasil penelitian Anastasia Priliantini, FKIP Unika Atma Jaya dengan judul “Hubungan Antara Gaya Manajemen Konflik dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Narapidana Usia Remaja di Lapas Anak Pria Tangerang”

1.   PENDAHULUAN
Masa remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan terhadap masa remaja tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun kenangan tersebut. Sementara, banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja itu merupakan masa yang sulit untuk dipahami. Orangtua pun menganggap bahwa remaja perlu mendapatkan perlindungan yang ketat karena di mata orang tua para remaja masih belum siap untuk menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi remaja, tuntutan internal membawa remaja pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki kesamaan pemahaman, yaitu masa remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi masa dewasa (Zulkifli, 2002). Menurut Irwanto (2002), remaja adalah sosok idealis. Remaja memandang dunianya seperti apa yang diinginkannya, bukan sebagaimana adanya. Remaja suka mimpi-mimpi yang sering membuatnya marah, cepat tersinggung atau frustasi. Periode remaja juga merupakan periode pemantapan identitas. Pemantapan identitas ini tidak selalu mulus. Proses itu panjang dan bergejolak. Banyak ahli yang menamakan periode ini sebagai masa storm and stress.  Pada gilirannya remaja dihadapkan pada berbagai pilihan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan batin dalam dirinya yang biasanya berupa konflik. Ada lima pendekatan manajemen konflik yang sudah umum diterima, yaitu akomodator, kolaborator, kompromiser, penghindar, pendominasi (Pickering, 2000).  Tidak ada satu pendekatan pun yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi.

2.   KAJIAN TEORI
2.1.  Masa Remaja
Ali, dkk. (2005) menyatakan bahwa remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolesecene, berasal dari bahasa Latin memiliki arti “tumbuh atau untuk mencapai kematangan”. Masa remaja merupakan salah  satu periode perkembangan dan pertumbuhan yang dialami oleh setiap individu dalam perjalan hidupnya. Sifat-sifat yang menonjol dari kehidupan seseorang remaja atara lain: idealis, romantis, suka berkhayal, berharaap tinggi, dan berkeyakinan (Gunarsa, 1995). Lebih lanjut masa remaja dipandang sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Gunarsa, 2000). Masa remaja dalam pembahsannya menggunakan istilah “adolescene” yang berasal dari bahasa Latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1996). Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1996), istilah  adolescene mempunyai arti yang  sangat luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
2.2.  Usia dan Ciri-ciri Masa Remaja
Hurlock (1996) membagi masa remaja ke dalam dua periode, yaitu masa remaja awal pada usia 13 tahun sampai 15 tahun dan masa remaja akhir pada usia 16 tahun sampai dengan 18 tahun. Batas usia remajayang akan digunakan dalam penelitian ini adalah usia 13-18 tahun. Menurut Zulkifli (2002) ada beberapa ciri remaja yang harus diketahui: (1) pertumbuhan fisik, fisik megalami pertumbuhan cepat, lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa; (2) Perkembangan seksual; mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya; (3) Cara berpikir kausalitas; menyangkut hubungan sebab akibat dan berpikir kritis; (4) Emosi yang meluap-luap; berhubungan dengan keadaan hormon; mereka mudah luppa diri karena tidak mempu menahan emosi yang meluap-luap; (5) Tertarik kepada lawan jenis dan mulai berpacaran; (6) Menarik perhatian lingkungan; remaja cenderung mencari perhatian dari lingkungannya, berusaha mendapatkan  status dan peranan dalam berbagai kegiatan; (7) Terikat pada kelompok; remaja sangat tertarik pada kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orangtua dinomor duakan sedangkan kelompoknya dinomor satukan.

2.3.  Tugas Perkembangan Remaja
Secara umum tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya mengurangi atau bila mungkin menghilangkan sama sekali sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk menepati kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa.Menurut Hurlock (1996), mengemukakan tugas-tugas perkembangan masa remaja adalah : 1) Mampu menerima keadaan fisiknya; 2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa; 3) Mampu membina hubungan baikdengan anggota kelompok yang berlainan jenis; 4) Mencapai kemandirian emosional; 5) Mencapai kemandirian ekonomi; 6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat; 7) Memahami dan menginternalisasi nilai-nilai orang dewasa dan orang tua; 8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa; 9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan; 10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

2.4.  Karakteristik Gangguan pada Remaja
Santrock (2003) menyatakan bahwa gangguan pada remaja bervariasi dalam hal tingkat keparahannya dan tingkat perkembangan remaja, jenis kelamin, dan kelas sosial.  Beberapa gangguan pada remaja berlangsung dalam jangka waktu yang singkat, sementara gangguan lainnya bisa bertahan selama bertahun-tahun.  Beberapa gangguan cenderung muncul pada salah satu tingkat perkembangan lainnya.  Sebagai contoh, pada suatu penelitian ditemuka bahwa depresi, tingkah laku membolos, dan penggunaan obat terlarang lebih umum muncul pada remaja yang lebih tua, sementara bertengkar berkelahi, dan berbicara dengan suara yang terlalu keras lebih banyak muncul pada remaja yang lebih muda (Edelbrock, 1989).

2.5.  Hakikat Konflik
Menurut Pickering (2000), konflik adalah pertentangan antara pihak satu dengan yang lain yang tidak  cocok. Konflik memiliki beberpa manfaat, yakni: 1) Meningkatkan motivasi; 2) Identifikasi masalah;3) Ikatan kelompok lebih erat; 4) Penyesuaian diri pada kenyataan; 5) Pengetahuan meningkat; 6) Kreatifitas meningkat; 7) Membantu upaya mencapai tujuan; 8) Mendorong pertumbuhan. Sedangkan dampak buruk konflik yakni, meliputi: 1) Produktifitas menurun; 2) Kepercayaan menurun; 3) Pembentukan kubu-kubu; 4) Informasi dirahasiakan dan arus komunikasi berkurang; 5) Timbul masalah moral; 6) Waktu terbuang sia-sia; 7) Proses pengambilan keputusan tertunda.

2.6.  Jenis-jenis konflik
Konflik terbagi menjadi dua jenis, yaitu konflik dari dan antar individu. Pickering (2000) menyatakan konflik diri adalah gangguan emosi yang terjadi dalam diri seseorang, karena dia dituntun menyelesaikan suatu pekerjaan atau memenuhi suatu harapan sementera pengalaman, minat, tujuan dan tata nilainya tidak sanggup memenuhinya sehingga menjadi beban baginya.
Menurut Pickering (2000) konflik antar individu yaitu konflik yang terjadi antar dua individu atau lebih. Setiap individu memiliki 4 kebutuhan dasar psikologis yang dapat menimbulkan konflik jika tidak terpenuhi. 4 kebutuhan itu yaitu: 1) Diperlakukan dan dihargai sebagai manusia; 2) Keinginan memegangkendali; 3) Memiliki harga diri; 4) Keinginan untuk konsisten.

2.7.  Gaya Manajemen Konflik
Emirzon (2001) mendefinisikan manajemen konflik sebagai “cara-cara yang berbeda di mana konflik dapat dikelola oleh para pihak sendiri”. Hal ini berarti, para pihak yang terlibat konflik dapat menyelesaikan konflik yang terjadi tanpa melibatkan pihak luar (dalam Hidayati dkk, 2005). Menurut Pickering (2000), ada lima pendekatan pada manajemen konflik yang sudah umum diterima, yaitu :
1.   Akomodator atau penolong ramah, orang yang menggunakan gaya ini kurang tegas dan cukup kooperatif, mengabaikan kepentingannya sendiri demi kepentingan orang lain. Gaya ini sangat mengutamakan hubungan dan kurang mementingkan tujuan-tujuan pribadinya.
2.   Kolabolator atau pemecah masalah, orang yang menggunakan gaya ini berusaha menciptakan situasi yang memungkinkan agar tujuan semua kelompok dapat dicapai. Pemecah masalah berusaha menemukan solusi yang bisa diterima semua pihak. Gaya ini sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadinya sekaligus hubungannya dengan pihak lain.
3.   Kompromiser atau pendamai penyiasat, gaya ini berorientasi jalan tengah, karena setiap orang punya sesuatu untuk ditawarkan dan sesuatu untuk diterima. Gaya ini senang mencari kompromi dan baginya tercapainya tujuan-tujuan pribadi maupun hubungan baik dengan pihak lain sama-sama cukup penting.
4.   Penghindar atau penurut impersonal, cenderung memandang konflik tidak produktif dan sedikit menghukum. Aspek negatif dari gaya ini adalah melemparkan masalah pada orang lain atau mengesampingkan masalah. Gaya lebih senang menarik diri untuk menghindari konflik.
5.   Pesaing atau pendominasi, identik dengan mengejar kepentingannya sendiri secara agak zalim dan pada umumnya dengan mengorbankan anggota-anggota lain di dalam kelompok. Pendominasi memandang kekalahan sebagai tanda kelemahan, status yang menurun dan suatu citra diri yang ambruk. Gaya ini cenderung sering menaklukkan lawan dengan memaksanya menerima solusi konflik yang ia sodorkan.
Sebetulnya tidak ada satu pendekatan pun yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi. Gaya yang tepat dan adaptif itu cocok dengan kepribadian orang tersebut. Individu dapat mengidentifikasi situasi, mana yang cocok untuk gaya yang mana dan situasi yang tidak cocok, serta menilai kekuatan dan kelemahan dari gaya manajemen konflik kita sendiri.

2.8.  Perilaku dan Jenis Agresif
Menurut Breakwell (1998), agresi secara tipikal didefinisikan oleh para psikolog sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu. Myers (dalam Sarwono, 1999) menyebutkan dua jenis agresi yaitu :
1.   Agresi rasa benci atau agresi emosi adalah agresi yang ditandai oleh emosi yang tinggi dan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti.
2.   Agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Deaux (Ratnasari, 1999) ada dua jenis perilaku agresi, yaitu :
1.   Agresi secara fisik meliputi tingkah laku seperti memukul teman, menarik baju teman dengan kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman dengan benda, berkelahi, merusak barang milik teman, mengganggu teman, mengancam teman dengan mengacungkan tinju, membuang barang milik teman, mencakar teman, memaksa teman memenuhi keinginannya, melukai diri sendiri.
2.   Agresi secara verbal meliputi tingkah laku seperti mengejek teman, menghina teman, mengeluarkan kata-kata kotor, bertengkar mulut, menakut-nakuti teman, memanggil teman dengan nada kasar, mengancam dengan kata-kata mengkritik, menyalahkan dan menertawakan.
2.9.  Perkembangan Perilaku Agresif
Krahe (2005) menyatakan bahwa perubahan penting pada pola perilaku agresif dari masa kanak-kanan ke masa remaja adalah bahwa agresi dan kekerasan cenderung menjadi lebih terorganisasi secara sosial. Geng-geng remaja yang terdiri oleh para remaja yang ditolak secara sosial oleh teman-teman sebaya mereka yang kurang agresif. Contoh: geng-geng yang menunjukkan senioritas yang ada di institusi pendidikan. Geng-geng itu dianggap menarik bagi individu-individu yang mempunyai tingkat agresivitas tinggi dan bertaanggungjawab atas tingginya proporsi agresi remaja, termasuk perkelahian antargeng. Sementara kekerasan geng secara luas masih dianggap sebagai fenomena laki-laki. Laporan mengenai geng remaja perempuan yang mampu melakukan agresi serius kini kian sering ditemukan. Moffit, dkk. (1996) memperlihatkan bahwa 73% anak laki-laki yang pernah dipenjara karena melakukan penyerangan disertai kekerasan pada usia 18 tahun, ternyata juga memiliki sejarah perilaku antisosial yang menetap sejak masa kanak-kanak (Krahe, 2005:85).

2.10.   Hubungan antara Gaya Manajamen Konflik dengan Perilaku Agresif
Menurut Krahe (2005) , dalam teori insting ganda, Freud mengusulkan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan bdasar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat manusiawi, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos). Eros mendorong orang ke arah mencari kesenagan dan berusaha memenuhi keinginan, sedangkan thenatos diarahkan pada destruksi diri. Karena sifat antagonisiknya, kedua insting itu merupakan sumber konflik intrafisik berkelanjutan, yang hanya dapat diatasi dengan mengalihkan kekuatanitu dari orang yang bersangkutan kepada orag lain. Jadi, bertindak agresif terhadap orang lain dianggap merupakan mekanisme untuk melepaskan energi destruktif sebagai cara melindungi stabilitas intrafisik pelakunya. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan Krahe (2005) di atas, peneliti mengasumsikan ada hubungan negatif dan signifikan antara gaya menajemen konflik dengan kecenderungan perilaku agresif narapidana remaja di Lapas Anak Pria Tangerang. Dalam hal ini gaya manajemen konflik dijadikan ukuran dalam menetapkan tingkah laku bagi remaja, yaitu kecenderungan berperilaku agresif. Individu dengan gaya manajemen konflik yang baik diharapkan tidak berperilaku agresif.

3.   HASIL PENELITIAN
3.1. Analisis Deskriptif
3.1.1. Variabel Gaya Mananajemen Konflik dan Variabel Kecenderungan Perilaku Agresif
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 127 narapidana usia remaja Lapas Anak Pria Tangerang memiliki gaya manajemen konflik yang cenderung sedang, yaitu sebanyak 70 narapidana atau 55% dari jumlah secara keseluruhan. Sedangkan variabel kecenderungan perilaku agresif didapatkan hasil penelitian bahwa dari 127 narapidana ang memiliki kecenderungan perilaku agresif pada kategori rendah sebanyak 67 narapidana  atau 53% dari total secara keseluruhan narapidana yang ada di Lapas Anak Pria Tangerang.
Dari kelima gaya manajemen konflik yang ada, pernah digunakan oleh narapidana usia remaja di Lapas Anak Pria Tangerang. Gaya manajemen konflik kolaborator merupakan gaya yang digunakan oleh narapidana untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dibuktikan dengan jumlah pemilih yang mendominasi yaitu 84 narapidana (66%). Sedangkan gaya manajemen penghindar merupakan gaya yang tidak pernah digunakan oleh narapidana untuk menyelesaikan konflik. Hal ini terlihat dari 91 narapidana (72%) yang menolak menggunakan gaya tersebut.

3.2. Analisis Korelasi
Berdasarkan hasil tabel dalam penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negative dan signifikan antara gaya manajemen konflik dengan kecenderungan perilaku agresif. Hal ini berarti semakin tinggi tinggi tingkat penggunaan gaya manajemen konflik maka akan semakin rendah kecenderungan perilaku agresif, dan sebaliknya semakin rendah tingkat penggunaan gaya manajemen konflik, maka akan semakin tinggi pula tingkat kecenderungan perilaku agresif.

4.   PEMBAHASAN
Pickering (2000) mengemukakan pentingnya individu untuk mengembangkan kemampuan manajemen konflik di dalam dirinya seperti halnya pada perilaku agresif. Kecenderungan perilaku agresif dapat diminimalisir jika setiap individu memiliki atau mengembangkan kemampuan menggunakan gaya manajemen konflik yang responsive dan adaptif dengan situasi yang dihadapi. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa narapidana usia remaja di Lapas Anak Pria Tangerang memiliki tingkat gaya manajemen konflik yang cenderung sedang. Meskipun dalam pengembangan kemampuan manajemen konflik tersebut belum maksimal, akan tetapi nara pidana mampu menempatkan atau menggunakan gaya manajemen konflik sesuai dengan situasi. Adapun gaya manajemen konflik yang digunakan oleh narapidana usia remaja di Lapas Anak Pria Tangerang adalah gaya kolaborator yang artinya para narapidana selalu berusaha untuk menciptakan situasi yang memungkinkan agar tujuan semua kelompok dapat dicapai dan dapat diterima oleh semua pihak  termasuk tujuan pribadinya dapat tercapai seiring dengan tujuan semua kelompok. Sedangkan gaya manajemen konflik yang tidak pernah digunakan oleh narapidana adalah gaya penghindar.

5.   KETERKAITAN DENGAN KONSELING REHABILITASI
Dalam konseling rehabilitasi, pengguanaan gaya manajemen konflik dengan kecenderungan perilaku agresif narapidana usia remaja di Lapas Anak Pria Tangerang merupakan bentuk intervensi yang digunakan sebagai suatu alternatif pada remaja khususnya remaja pria yang mempunyai permasalahan yang berkenaan dengan konflik batin yang akhirnya dapat menimbulkan adanya suatu bentuk tindakan yang agresif. Penerapan gaya manajemen konflik dalam konseling rehabilitasi sosial bertujuan untuk mengembangkan keterampilan pada narapidana remaja pria yang ada di Lapas Pria Tangerang. Diharapkan dengan menerapkan gaya manaemen konflik para narapidana di Lapas Anak Pria Tangerang dapat meminimalisir adanya perilaku agresif.

Littlre snake pin