A. Konsep
Masalah
seksualitas menjadi perhatian penting bagi penyandang cacat. Seks merupakan
ekspresi dari dorongan seks melalui tindakan seks dalam kontes identitas orang
tersebut, termasuk kelelakian dan keperempuanan individu yang dipengaruhi
dengan belajar budaya masa lalu, citra diri, dan harapan orang lain.
Seksualitas merupakan hal yang sangat penting dari rehabilitasi karena
hubungannya dengan harga diri dan citra diri serta kesejahteraan penyandang
cacat. Taleporos dan
McCabe menyatakan bahwa harga diri seksual, body esteem, dan kepuasan seksual
menjadi prediktor kuat terhadap harga diri dan depresi di antara orang dengan cacat fisik dan lebih kuat di antara orang-orang cacat daripada di antara orang tanpa cacat.
McCabe menyatakan bahwa harga diri seksual, body esteem, dan kepuasan seksual
menjadi prediktor kuat terhadap harga diri dan depresi di antara orang dengan cacat fisik dan lebih kuat di antara orang-orang cacat daripada di antara orang tanpa cacat.
Pengetahuan
pendidikan seksualitas, sikap penyandang cacat terhadap seksualitas dan kenyamanan mempengaruhi kesediaan konselor
rehabilitasi untuk membahas seksualitas dengan klien,dengan pengetahuan seksualitas dan kenyamanan yang diberikan oleh konselor mendorong pada kemauan klien untuk membahas masalah
seksualitas.
Berdasarkan
hasil penelitian Maria Helena Juergens, berkaitan
dengan pelayanan kesehatan dan pengaturan seksual, pendidikan seksualitas mempunyai
dua efek terhadap kemauan klien dalam membahas masalah seksualitasnya, yaitu:
1. Efek
Langsung
Pendidikan
tentang seksualitas memiliki efek langsung terhadap
kemauan
klien untuk membahas masalah
seksualitas. Hubungan antara
kenyamanan
dan seksualitas erat
kaitannya dengan kemampuan konselor
rehabilitasi untuk membantu klien
dengan masalah
seksual (Levenson-Gingiss &
Hamilton, 1989).
Banyak studi menemukan hubungan positif antara kenyamanan
dan kesediaan untuk
membahas seksualitas
(misalnya, Berman,1996; Graham &
Smith, 1984; Hays,
2002; Roche, 1998).
Marlys (1988) menemukan bahwa beberapa terapis tidak terlibat dalam konseling seksual, karena merasa pengetahuan yang tidak memadai
tentang seksualitas dan kurangnya persiapan menghadapi
situasi
tersebut.
Berman (1996) berpendapat
bahwa pengetahuan
tentang kenyamanan dengan seksualitas
merupakan komponen
integral dari
kemampuan konselor dalam membantu mengatasi masalah seksual
klien.
2. Efek tidak
langsung.
Pendidikan seksualitas juga memiliki efek tidak
langsung terhadap keinginan untuk membahas seksualitas.
Berman
(1996) mengatakan
bahwa dengan adanya pengetahuan tentang pendidikan seksualitas
yang dimiliki oleh konselor mendorong kesediaan
klien untuk membahas seksualitas.
Menurut Roche, pendidikan seksual memiliki efek secara langsung bagi konselor dalam membantu
menghadapi klien dengan masalah seksualitas. Sehingga konselor harus menunjukkan kenyamanan dan kesediaan untuk merespon isu-isu
seksual.
B.
Implikasi
Bagi Konseling Rehabilitasi
Seksualitas
dalam fisik dan kesejahteraan emosi bagi penyandang sangat penting sehingga konselor
rehabilitasi harus dipersiapkan secara professional untuk membantu menangani
masalah seksual. Diskusi tentang seksualitas dengan klien dapat berjalan secara
efektif jika dalam wawancara dilakukan oleh seorang professional yang dilakukan
ditempat yang khusus dan tertutup. Wawancara bisa dilakukan dengan mencari
informasi umum misal keadaan masyarakat tempat tinggal dan sejarah keluarga,
informasi tersebut mencakup informasi mengenai harapan seksual individu,
tingkat pengetahuan seksual dan pentingnya masalah seksual dalam kehidupan
klien. Setelah mengetahui jenis dan sifat masalah seksual, ada beberapa hal
yang harus diberikan kepada klien yaitu :
a. Memberikan
informasi tentang ekspresi seksual yang diterima secara sosial,
b. Memberikan
informasi pendidikan tentang seksual dan anatomi
c. Memberikan
pendidikan tentang kecacatan atau penyakit yang dapat mempengaruhi fungsi
seksual individu
d. Mendidik
individu penyandang cacat dan pasangannya atau anggota keluarga mengenai efek
pengobatan, perawatan, operasi, dan penuaan terhadap seksualitas individu,
e. Mendorong
harapan seks baru
f. Membantu
individu mengembangkan pribadinya mengenai definisi seksualitas dan
mengeksplorasi praktek seksualitas yang
bau serta membahas metode alternatif ekspresi seksual dan kepedulian
g. Menyediakan
sumber daya untuk dieksplorasi lebih lanjut
Beberapa
penulis (misalnya, Boyle, 1993; DiGiulio, 2003; Thomas et al, 1980.) Telah
menyarankan bahwa pekerja social untuk penyandang cacat harus menggunakan model
PLISSIT (Permission, Limited information, Spesific Suggestions, Intensive
Therapy) yang dikembangkan oleh Annon (1976) sebagai alat untuk mengatasi
masalah seksualitas klien. Konselor rehabilitasi harus bekerjasama dengan
instansi terkait yang menangani masalah seksualitas. Tidak semua konselor
rehabilitasi nyaman dan mampu membahas seksualitas dengan klien secara tuntas
yang sesuai dengan kebutuhan klien. Oleh karena itu, setidaknya dalam tim
rehabilitasi memiliki paling tidak satu konselor rehabilitasi yang paham
mengenai masalah seksualitas. Selain itu dalam pendidikan rehabilitasi sosial
harus memiliki program pendidikan seksualitas untuk klien sehingga mampu
meningkatkan kesediaan klien untuk berdiskusi tentang seksualitas secara nyaman,
mampu meningkatkan pengetahuan tentang seksualitas dan sikap positif terhadap
seksualitas.
Sumber: Juergens,Maria
Helena,dkk.2009. Willingness of Graduate
Students in Rehabilitation Counseling to Discuss Sexuality With Clients.
Madlson: Edgewood College: jurnal