Suara
Merdeka Online edisi 13 Januari 2012 | 23:28 wib
Gepeng dan Anak Jalanan Masih Berjubel
SEMARANG,
suaramerdeka.com - Kalangan
dewan kini menyoroti persoalan gelandangan dan pengemis (gepeng) serta anak
jalanan (anjal) yang belum ditangani serius oleh Pemkot Semarang. Menurut
Anggota Komisi D Yanuar Muncar dasar penilaian itu dapat terlihat di beberapa
ruas jalanan protokol yang kini mulai banyak dipenuhi gepeng dan anjal.
“Masih
banyak anjal dan gepeng di perempatan Kaligarang, di perempatan dekat Mapolda
Jateng, hingga pintu masuk tol Banyumanik. Mereka kan juga butuh perhatian dari
pemerintah. Kenyataannya, Satpol PP ataupun Dinas Sosial terkesan melakukan
pembiaran,” katanya.
Dari
permasalahan itu, ia mengkhawatirkan, akan menimbulkan permasalahan sosial
seperti munculnya aksi kriminalitas. Karena kini, banyak anjal yang terdiri
dari anak-anak dan gadis remaja.
“Mereka
dengan bebasnya menjalani kehidupan jalanan tanpa diimbangi dengan proteksi
keamanan dan pengetahuan pergaulan yang baik sehingga anak-anak dan gadis-gadis
jalanan itu bisa rentan menjadi korban kriminalitas dan pelecehan seksual,”
ujarnya.
Ia berharap
penanganan itu dapat dilakukan dengan kordinasi yang baik antara Satpol PP,
Dinas Sosial Pemuda dan Olah Raga (Dinsospora), Bappeda, Disnakertran, dan SKPD
terkait lainnya. Dengan begitu, Pemkot pun bisa cepat melakukan program
pengentasan kemiskinan terhadap gepeng dan anjal.
“Mereka
harusnya dilatih dan dibina untuk punya ketrampilan dan keahlian tertentu
sesuai bakat dan minat. Mereka juga harus didampingi terus selama belum punya
pekerjaan yang mapan. Dengan cara itu, bisa mencegah mereka kembali ke jalanan,”
sarannya.
( Dicky
Priyanto / CN26 / JBSM )
Suara Merdeka Online edisi 17
Maret 2012
Semarang, Kota Favorit Tujuan Gepeng
SEMARANG,
suaramerdeka.com - Kota
Semarang dibanjiri pengemis dan gelandangan. Adalah hal yang lumrah, sebagai
kota metropolitan banyak kaum urban yang berharap mengubah nasib dengan menjadi
peminta. Persoalan gelandangan, pengemis, orang gila ataupun anak/orang
terlantar selalu berulang dari tahun ke tahun.
"Selama
pengguna jalan masih memberi uang, mereka tetap mengandalkan pekerjaan dari
meminta-minta," ujar Kabid Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Dinas
Sosial Pemuda dan Olah Raga (Dinsospora) Kota, Sutrisno, Sabtu (17/3).
Hal tersebut
yang menjadi sumber pokok permasalahan ketertiban. Untuk mengatasi hal itu,
pihaknya menggiatkan operasi simpatik ke jalan. Dari catatan Dinsospora Kota
Semarang, 90% gelandangan, pengemis dan pengamen berasal dari luar daerah.
Seperti Purwodadi, Ambarawa dan Kendal.
Menurutnya,
Kota Semarang merupakan salah satu daerah transit. Besar kemungkinan mereka ini
datang ke Kota Lumpia ini karena lokasinya yang menarik. Para penyandang
masalah kesejahteraan sosial yang terjaring razia dibawa ke panti atau rumah
persinggahan sosial, sesuai dengan permasalahan serta kebutuhan yang
dihadapinya.
Dia
mengatakan, razia merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam menangani
persoalan PMKS termasuk pengemis, gelandangan dan orang terlantar (PGOT).
Sementara untuk anak jalanan yang terjaring, dirawat di rumah singgah.
Kota
Semarang sendiri, memiliki empat rumah singgah. Pendampingan yang dilakukan
terhadap mereka adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Tidak
dipungkiri PGOT yang terjaring dalam razia, ada juga yang sebelumnya pernah
terjaring dan setelah dikembalikan di daerahnya kembali lagi ke Semarang. Pada
umumnya, mereka kembali lagi ke jalan karena tergiur pendapatan yang diperoleh
hingga ratusan ribu rupiah.
"Ada
penderita lepra yang kami temui meminta-minta di jalan dan sudah dikembalikan
ke Solo. Mereka kembali lagi ke Semarang, karena sehari bisa menghasilkan uang
hingga Rp 700.000," beber dia.
(
Hartatik / CN31 / JBSM )
Suara
Merdeka Online edisi 23 Maret 2012 | 22:32 wib
2013 Jateng Ditargetkan Bebas Anjal
SEMARANG,
suaramerdeka.com - Provinsi
Jawa Tengah saat ini memiliki 5.311 anak jalanan yang tersebar di 35
kabupaten/kota.
Jumlah
tersebut bertambah dengan adanya penampungan yang disediakan lembaga swadaya
masyarakat sebanyak enam LSM dengan total anak jalanan mencapai 1.339 anak.
Tahun 2013 ditargetkan jumlah itu berkruang dan Jateng bebas anak jalanan.
Kepala Dinas
Sosial Provinsi Jawa Tengah, Adhi Karsidi, mengatakan hal itu, Jumat (23/3).
Untuk mencapai target, ujarnya, penanggulangan anak jalanan dituntaskan melalui
Balai Rehabilitasi Sosial yang berada di berbagai kabupaten.
Selain itu,
partisipasi masyrakat juga telah terbentuk dengan membuah rumah singgah. Saat
ini terdapat tujuh rumah singgah yang bekerjasama dengan Depsos Jateng untuk
memberikan perlindungan sosial terhadap anak.
Di sisi
lain, Depsos juga mempunyai strategi cepat dengan Tim Reaksi Cepat (TRC) dan
pembinaan karakter anak jalanan yang bekerja sama dengan Rindam Diponegoro.
Bentuk lain
dalam bidang pendidikan kemasyarakatan, kata Adhi, Depsos memberikan pelatihan
ketrampilan kewirausahaan bagi anak jalanan sebanyak 80 anak di tahun 2011 dan
direncanakan pada tahun 2012 sebanyak 240 anak. "Harapannya tahun 2013
Jateng bebas anak jalanan," ujarnya.
( Zakki
Amali / CN34 / JBSM )
Suara
Merdeka Online edisi 16 Mei 2012 | 15:43 wib
Penanganan Anak Jalanan Bukan Domainnya Pendidik
SEMARANG,
suaramerdeka.com - Penanganan
anak-anak di bawah usia yang menjajakan koran di pinggir-pinggir jalan dan
anak-anak jalanan secara umum dinilai sangat mendesak untuk ditangani.
Untuk itu
pemerintah tidak bisa melakukan pembiaran, karena sangat tidak mungkin
persoalan ini hanya dipikirkan oleh kalangan pendidik, LSM atau pemerhati dunia
anak, dan bukan semata-mata domainnya pendidik.
"Pergaulan
di jalan raya itu kan tidak terseleksi. Maka secara fisik dan psikologis
(fenomena) ini jelas tidak baik. Ini merupakan persoalan serius yang bukan saja
harus diselesaikan oleh para orang tua dari anak-anak itu, tapi juga persoalan
kita dan pemerintah," kata Dra Probowatie Tjondronegoro Msi Psikologi,
Selasa (15/5).
"Ini
sangat ironis, karena anak-anak itu harus membantu orang tua mencari nafkah,
sementara mereka sebenarnya harus bermain dan belajar. Jadi mereka ini masak
sebelum saatnya," tambahnya.
Ditemui di
kantornya Humas RS St Elizabeth Semarang, psikolog sekaligus pemerhati
anak-anak ini mengatakan, persoalan anak jalanan bukan domainnya pendidik atau
psikolog, tapi pemerintah harus ikut turun tangan.
Di Semarang
anak-anak usia SD bahkan kurang dari itu, sering terlihat di beberapa titik traffic
light, misalnya di Jalan Pemuda, Pandanaran, Pahlawan, dan beberapa jalan
protokol lain. Keberadaan mereka sering mengkhawatirkan karena tidak
mengindahkan kendaraan yang melaju.
( Bambang
Isti / CN31 / JBSM )
Suara
Merdeka Online edisi
06 Mei 2012 | 18:34 wib
Merebaknya Fenomena Anak Jalanan
ANAK jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada
anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan. Tapi hingga kini belum
ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Di
tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya
pengelompokan berdasar hubungan mereka dengan keluarga.
Salah
satunya adalah anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di
jalanan dan tidak memiliki hubungan atau memutuskan hubungan dengan
keluarganya. Aktivitas sekumpulan anak jalanan yang di Kota Semarang memiliki
ciri berpakaian lusuh, hidup di jalan, usia remaja dan biasanya tidak
mengenakan alas kaki alias nyokor saat ini terus merebak.
Khususnya di
pusat-pusat kota dan di jalanan, keberadaan mereka sangat mudah dijumpai.
Tapi sayangnya, tak sedikit di antara mereka yang perilakunya meresahkan warga.
Warga Kampung Palgunadi, Kelurahan Bulu Lor, Semarang Utara misalnya, banyak
warga yang mengaku resah akibat kampungnya menjadi tempat berkumpul anak
jalanan.
Selain nongkrong
sampai larut malam, para ABG tersebut juga kerap menggelar pesta minuman keras
(miras). “Kalau sudah kumpul banyak, apalagi sampai ada yang bawa miras dan
minum di sekitar taman perempatan Palgunadi pasti suasana jadi ramai. Ini sudah
mengganggu ketenangan warga yang ingin istirahat,” kata Winarto, warga
Palgunadi saat acara reses Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi di Kantor
Kelurahan Bulu Lor, Kecamatan Semarang Utara, Jumat (4/5).
Dari
pengamatan warga, rata-rata para ABG tersebut berasal dari luar wilayahnya.
Mereka mulai berdatangan ke taman Palgunadi sekitar pukul 19.00 WIB dan bubar
jelang pagi. Berulangkali warga sudah meminta untuk tak beraktivitas di daerah
itu, namun peringatan itu tak digubris.
“Kami minta
perhatian dari para petugas keamanan, khususnya dari kepolisian, agar bisa
menertibkan anak jalanan yang semakin banyak. Tak hanya di kampung ini, tapi
juga di daerah lain,” ujarnya.
Berbuat Onar
Tak hanya di
daerah Bulu Lor, fenomena anak jalanan juga merebak di wilayah-wilayah lain di
Kota Semarang. Kekhawatiran warga atas aktivitas anak jalanan ini memang bukan
tanpa alasan. Track record remaja yang kebanyakan putus sekolah itu
cukup nggegirisi.
Selain kerap
membuat keonaran dengan melakukan pemalakan sejumlah pelajar usai jam sekolah,
mereka juga kerap adu fisik dengan kelompok lain. Khususnya saat digelar konser
musik di tempat umum. Pihak kepolisian juga kerap menangani kasus kriminal
jalanan yang melibatkan di antara mereka.
Wakil Ketua
DPRD Supriyadi meminta persoalan ini menjadi perhatian serius aparat
kepolisian. Sudah tidak sekali dua kali para ABG dengan ciri tertentu ini
membuat keonaran dan terlibat aksi pidana jalanan. Pihaknya juga meminta peran
aktif dari Dinas Pendidikan untuk mengantisipasi semakin banyaknya remaja yang
memilih turun ke jalan.
“Yang
terpenting adalah bagaimana peran keluarga, khususnya orang tua. Karena tak
bisa dipungkiri, rata-rata anak jalanan ini adalah mereka yang berasal dari
keluarga broken home. Mereka tidak mendapatkan perhatian di keluarganya
dan akhirnya mencari pelampiasan di jalanan,” kata dia.
Belum lama
ini, Kapolrestabes Kota Semarang Kombes Elan Subilan mengakui tentang fenomena
merebaknya anak jalanan. Salah satu yang menonjol dan pernah ditanganinya
adalah kasus geng cokor. Diakuinya pula, perilaku gang cokor cukup meresahkan
masyarakat.
Hal itu,
kata dia, dilihat dari tingkah laku serta sebab akibat yang dilakukan pada
komunitas tanpa alas kaki ini. "Perampasan, pengroyokan serta tindak
kriminal jalanan lain acap dilakukan oleh mereka (geng cokor-red),"
katanya.
Menurutnya,
anggota geng cokor berjumlah sekitar ratusan, rata-rata berusia antara 14
hingga 23 tahun dan sering mangkal di jalanan maupun tempat lain yang nantinya
dijadikan base camp atau tempat berkumpulnya komunitas. "Berkumpul
di suatu tempat dan dari situlah komunitas ini menjadi sebuah rantai atau
jaringan," paparnya.
(Lanang
Wibisono, Erry Budi Prasetyo/CN26)