Jumat, 22 Juni 2012

ARTIKEL ANAK JALANAN



Suara Merdeka Online edisi 13 Januari 2012 | 23:28 wib
 Gepeng dan Anak Jalanan Masih Berjubel
SEMARANG, suaramerdeka.com - Kalangan dewan kini menyoroti persoalan gelandangan dan pengemis (gepeng) serta anak jalanan (anjal) yang belum ditangani serius oleh Pemkot Semarang. Menurut Anggota Komisi D Yanuar Muncar dasar penilaian itu dapat terlihat di beberapa ruas jalanan protokol yang kini mulai banyak dipenuhi gepeng dan anjal.

“Masih banyak anjal dan gepeng di perempatan Kaligarang, di perempatan dekat Mapolda Jateng, hingga pintu masuk tol Banyumanik. Mereka kan juga butuh perhatian dari pemerintah. Kenyataannya, Satpol PP ataupun Dinas Sosial terkesan melakukan pembiaran,” katanya.

Dari permasalahan itu, ia mengkhawatirkan, akan menimbulkan permasalahan sosial seperti munculnya aksi kriminalitas. Karena kini, banyak anjal yang terdiri dari anak-anak dan gadis remaja.

“Mereka dengan bebasnya menjalani kehidupan jalanan tanpa diimbangi dengan proteksi keamanan dan pengetahuan pergaulan yang baik sehingga anak-anak dan gadis-gadis jalanan itu bisa rentan menjadi korban kriminalitas dan pelecehan seksual,” ujarnya.

Ia berharap penanganan itu dapat dilakukan dengan kordinasi yang baik antara Satpol PP, Dinas Sosial Pemuda dan Olah Raga (Dinsospora), Bappeda, Disnakertran, dan SKPD terkait lainnya. Dengan begitu, Pemkot pun bisa cepat melakukan program pengentasan kemiskinan terhadap gepeng dan anjal.

“Mereka harusnya dilatih dan dibina untuk punya ketrampilan dan keahlian tertentu sesuai bakat dan minat. Mereka juga harus didampingi terus selama belum punya pekerjaan yang mapan. Dengan cara itu, bisa mencegah mereka kembali ke jalanan,” sarannya.
( Dicky Priyanto / CN26 / JBSM )


Suara Merdeka Online edisi 17 Maret 2012
Semarang, Kota Favorit Tujuan Gepeng
SEMARANG, suaramerdeka.com - Kota Semarang dibanjiri pengemis dan gelandangan. Adalah hal yang lumrah, sebagai kota metropolitan banyak kaum urban yang berharap mengubah nasib dengan menjadi peminta. Persoalan gelandangan, pengemis, orang gila ataupun anak/orang terlantar selalu berulang dari tahun ke tahun.

"Selama pengguna jalan masih memberi uang, mereka tetap mengandalkan pekerjaan dari meminta-minta," ujar Kabid Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial Pemuda dan Olah Raga (Dinsospora) Kota, Sutrisno, Sabtu (17/3).

Hal tersebut yang menjadi sumber pokok permasalahan ketertiban. Untuk mengatasi hal itu, pihaknya menggiatkan operasi simpatik ke jalan. Dari catatan Dinsospora Kota Semarang, 90% gelandangan, pengemis dan pengamen berasal dari luar daerah. Seperti Purwodadi, Ambarawa dan Kendal.

Menurutnya, Kota Semarang merupakan salah satu daerah transit. Besar kemungkinan mereka ini datang ke Kota Lumpia ini karena lokasinya yang menarik. Para penyandang masalah kesejahteraan sosial yang terjaring razia dibawa ke panti atau rumah persinggahan sosial, sesuai dengan permasalahan serta kebutuhan yang dihadapinya.

Dia mengatakan, razia merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam menangani persoalan PMKS termasuk pengemis, gelandangan dan orang terlantar (PGOT). Sementara untuk anak jalanan yang terjaring, dirawat di rumah singgah.

Kota Semarang sendiri, memiliki empat rumah singgah. Pendampingan yang dilakukan terhadap mereka adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Tidak dipungkiri PGOT yang terjaring dalam razia, ada juga yang sebelumnya pernah terjaring dan setelah dikembalikan di daerahnya kembali lagi ke Semarang. Pada umumnya, mereka kembali lagi ke jalan karena tergiur pendapatan yang diperoleh hingga ratusan ribu rupiah.

"Ada penderita lepra yang kami temui meminta-minta di jalan dan sudah dikembalikan ke Solo. Mereka kembali lagi ke Semarang, karena sehari bisa menghasilkan uang hingga Rp 700.000," beber dia.
( Hartatik / CN31 / JBSM )


Suara Merdeka Online edisi 23 Maret 2012 | 22:32 wib
2013 Jateng Ditargetkan Bebas Anjal
SEMARANG, suaramerdeka.com - Provinsi Jawa Tengah saat ini memiliki 5.311 anak jalanan yang tersebar di 35 kabupaten/kota.

Jumlah tersebut bertambah dengan adanya penampungan yang disediakan lembaga swadaya masyarakat sebanyak enam LSM dengan total anak jalanan mencapai 1.339 anak. Tahun 2013 ditargetkan jumlah itu berkruang dan Jateng bebas anak jalanan.

Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, Adhi Karsidi, mengatakan hal itu, Jumat (23/3). Untuk mencapai target, ujarnya, penanggulangan anak jalanan dituntaskan melalui Balai Rehabilitasi Sosial yang berada di berbagai kabupaten.
Selain itu, partisipasi masyrakat juga telah terbentuk dengan membuah rumah singgah. Saat ini terdapat tujuh rumah singgah yang bekerjasama dengan Depsos Jateng untuk memberikan perlindungan sosial terhadap anak.

Di sisi lain, Depsos juga mempunyai strategi cepat dengan Tim Reaksi Cepat (TRC) dan pembinaan karakter anak jalanan yang bekerja sama dengan Rindam Diponegoro.

Bentuk lain dalam bidang pendidikan kemasyarakatan, kata Adhi, Depsos memberikan pelatihan ketrampilan kewirausahaan bagi anak jalanan sebanyak 80 anak di tahun 2011 dan direncanakan pada tahun 2012 sebanyak 240 anak. "Harapannya tahun 2013 Jateng bebas anak jalanan," ujarnya.
( Zakki Amali / CN34 / JBSM )


Suara Merdeka Online edisi 16 Mei 2012 | 15:43 wib
 Penanganan Anak Jalanan Bukan Domainnya Pendidik
SEMARANG, suaramerdeka.com - Penanganan anak-anak di bawah usia yang menjajakan koran di pinggir-pinggir jalan dan anak-anak jalanan secara umum dinilai sangat mendesak untuk ditangani.

Untuk itu pemerintah tidak bisa melakukan pembiaran, karena sangat tidak mungkin persoalan ini hanya dipikirkan oleh kalangan pendidik, LSM atau pemerhati dunia anak, dan bukan semata-mata domainnya pendidik.

"Pergaulan di jalan raya itu kan tidak terseleksi. Maka secara fisik dan psikologis (fenomena) ini jelas tidak baik. Ini merupakan persoalan serius yang bukan saja harus diselesaikan oleh para orang tua dari anak-anak itu, tapi juga persoalan kita dan pemerintah," kata Dra Probowatie Tjondronegoro Msi Psikologi, Selasa (15/5).

"Ini sangat ironis, karena anak-anak itu harus membantu orang tua mencari nafkah, sementara mereka sebenarnya harus bermain dan belajar. Jadi mereka ini masak sebelum saatnya," tambahnya.

Ditemui di kantornya Humas RS St Elizabeth Semarang, psikolog sekaligus pemerhati anak-anak ini mengatakan, persoalan anak jalanan bukan domainnya pendidik atau psikolog, tapi pemerintah harus ikut turun tangan.

Di Semarang anak-anak usia SD bahkan kurang dari itu, sering terlihat di beberapa titik traffic light, misalnya di Jalan Pemuda, Pandanaran, Pahlawan, dan beberapa jalan protokol lain. Keberadaan mereka sering mengkhawatirkan karena tidak mengindahkan kendaraan yang melaju.
( Bambang Isti / CN31 / JBSM )


Suara Merdeka Online edisi 06 Mei 2012 | 18:34 wib
Merebaknya Fenomena Anak Jalanan
ANAK jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Di tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan berdasar hubungan mereka dengan keluarga.

Salah satunya adalah anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau memutuskan hubungan dengan keluarganya. Aktivitas sekumpulan anak jalanan yang di Kota Semarang memiliki ciri berpakaian lusuh, hidup di jalan, usia remaja dan biasanya tidak mengenakan alas kaki alias nyokor saat ini terus merebak.

Khususnya di pusat-pusat kota dan di jalanan, keberadaan mereka sangat mudah dijumpai.  Tapi sayangnya, tak sedikit di antara mereka yang perilakunya meresahkan warga. Warga Kampung Palgunadi, Kelurahan Bulu Lor, Semarang Utara misalnya, banyak warga yang mengaku resah akibat kampungnya menjadi tempat berkumpul anak jalanan.

Selain nongkrong sampai larut malam, para ABG tersebut juga kerap menggelar pesta minuman keras (miras). “Kalau sudah kumpul banyak, apalagi sampai ada yang bawa miras dan minum di sekitar taman perempatan Palgunadi pasti suasana jadi ramai. Ini sudah mengganggu ketenangan warga yang ingin istirahat,” kata Winarto, warga Palgunadi saat acara reses Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi di Kantor Kelurahan Bulu Lor, Kecamatan Semarang Utara, Jumat (4/5).

Dari pengamatan warga, rata-rata para ABG tersebut berasal dari luar wilayahnya. Mereka mulai berdatangan ke taman Palgunadi sekitar pukul 19.00 WIB dan bubar jelang pagi. Berulangkali warga sudah meminta untuk tak beraktivitas di daerah itu, namun peringatan itu tak digubris.

“Kami minta perhatian dari para petugas keamanan, khususnya dari kepolisian, agar bisa menertibkan anak jalanan yang semakin banyak. Tak hanya di kampung ini, tapi juga di daerah lain,” ujarnya.

Berbuat Onar
Tak hanya di daerah Bulu Lor, fenomena anak jalanan juga merebak di wilayah-wilayah lain di Kota Semarang. Kekhawatiran warga atas aktivitas anak jalanan ini memang bukan tanpa alasan. Track record remaja yang kebanyakan putus sekolah itu cukup nggegirisi.

Selain kerap membuat keonaran dengan melakukan pemalakan sejumlah pelajar usai jam sekolah, mereka juga kerap adu fisik dengan kelompok lain. Khususnya saat digelar konser musik di tempat umum. Pihak kepolisian juga kerap menangani kasus kriminal jalanan yang melibatkan di antara mereka.

Wakil Ketua DPRD Supriyadi meminta persoalan ini menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Sudah tidak sekali dua kali para ABG dengan ciri tertentu ini membuat keonaran dan terlibat aksi pidana jalanan. Pihaknya juga meminta peran aktif dari Dinas Pendidikan untuk mengantisipasi semakin banyaknya remaja yang memilih turun ke jalan.

“Yang terpenting adalah bagaimana peran keluarga, khususnya orang tua. Karena tak bisa dipungkiri, rata-rata anak jalanan ini adalah mereka yang berasal dari keluarga broken home. Mereka tidak mendapatkan perhatian di keluarganya dan akhirnya mencari pelampiasan di jalanan,” kata dia.

Belum lama ini, Kapolrestabes Kota Semarang Kombes Elan Subilan mengakui tentang fenomena merebaknya anak jalanan. Salah satu yang menonjol dan pernah ditanganinya adalah kasus geng cokor. Diakuinya pula, perilaku gang cokor cukup meresahkan masyarakat.

Hal itu, kata dia, dilihat dari tingkah laku serta sebab akibat yang dilakukan pada komunitas tanpa alas kaki ini.  "Perampasan, pengroyokan serta tindak kriminal jalanan lain acap dilakukan oleh mereka (geng cokor-red)," katanya.

Menurutnya, anggota geng cokor berjumlah sekitar ratusan, rata-rata berusia antara 14 hingga 23 tahun dan sering mangkal di jalanan maupun tempat lain yang nantinya dijadikan base camp atau tempat berkumpulnya komunitas. "Berkumpul di suatu tempat dan dari situlah komunitas ini menjadi sebuah rantai atau jaringan," paparnya.
(Lanang Wibisono, Erry Budi Prasetyo/CN26

Littlre snake pin