Kamis, 29 Maret 2012

TEKNIK DESENSITISASI-RELAKSASI



A.      Asumsi Dasar
Teknik ini dipilih karena merupakan perpaduan dari teknik memikirkan sesuatu, menenangkan diri dan membayangkan sesuatu dengan memanfaatkan ketenangan jasmaniah konseli untuk melawan ketegangan jasmaniah konseli yang bila konseli berada dalam situasi yang menakutkan atau menegangkan sehingga sangat tepat untuk mengatasi gangguan kecemasan atau yang berhubungan dengan kelainan pribadi maupun masalah sosial.
B.      Pengertian Desensitisasi-Relaksasi
Menurut sejarah teknik desensitisasi sitematis, Nietzel dan Berstein (1987) mengemukakan tentang latar belakang teknik ini antara lain tokoh Watson dan Rayner melihat bahwa rasa takut dipelajari lewat conditioning, demikian juga sebaliknya rasa takut dapat dihilangkan lewat counter conditioning-nya. Tahun 1920-an Johannes Schulz, psikolog Jerman, mengembangkan teknik “Autogenic Training” yang mengkombinasikan diagnosis, relaksasi dan autosugesti untuk konseli yang mengalami kecemasan. Tahun 1935 Guthrie mengemukakan beberapa teknik untuk menghapus kebiasaan maladaptive termasuk kecemasan; dengan menghadapkan individu yang mengalami phobia pada stimulus yang tidak dapat menimbulkan kecemasan secara gradual ditingkatkan ke stimulus yang lebih kuat menimbulkan ketakutan.
Desensitisasi  Sistematis adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi  sistematis digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu, Desensitisasi  diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Wolpe (dalam Gerald Corey, 2007:210)  telah mengembangkan suatu respon yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Desensitisasi  sistematis adalah teknik yang cocok digunakan untuk menangani fobia-fobia, kecemasan dan ketakutan. Teknik ini bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan terhadap ujian, kecemasan-kecemasan neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.
Sulaiman Zein (dalam http://id.wordpress.com/tag/teknik-konseling/, 2008:6 /) mengemukakan bahwa ”Desensitisasi  sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks”. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi Desensitisasi  sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. 
C.      Karakteristik Desensitisasi-Relaksasi
Adapun karakteristik atau ciri-ciri terapeutik teknik desensitisasi sistematis menurut pendekatan behavioral adalah :
1.   Merupakan suatu teknik melemahkan respon terhadap stimulus yang tidak menyenangkan dan mengenalkan stimulus yang berlawanan (menyenangkan)
2.   Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi
3.   Merupakan perpaduan dari beberapa teknik
D.      Tujuan Desensitisasi-Relaksasi
Tujuan teknik desensitisasi sistematis adalah :
1.   Teknik desensitisasi sistematis bermaksud mengajar konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.
2.   Mengurangi sensitifitas emosional yang berkaitan dengan kelainan pribadi atau masalah sosial.
3.   Menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks.
4.   Menghapus tingkah laku negatif seperti kecemasan.
E.      Prinsip Desensitisasi-Relaksasi
Berawal dari teori atau pendekatan konseling behavior focus perubahan tingkah laku terdiri dari 3 kategori, antara lain :
1.   Memperkuat tingkah laku
2.   Modeling
3.   Melemahkan tingkah laku
Dikarenakan teknik desensitisasi sistematis berawal dari pendekatan behavior, maka prinsip perubahan tingkah laku menurut teknik ini termasuk di dalam kategori melemahkan perilaku. Hal ini disebabkan, permasalahan yang bisa diatasi dengan menggunakan teknik desensitisasi sistematis seperti phobia, anxiety dan lain-lain tidak perlu untuk dihilangkan sepenuhnya dari diri seseorang. Setiap individu perlu tetap memiliki perasaan-perasaan seperti takut, cemas asal dalam batasan yang wajar atau normal. Jika individu tidak memiliki perasaan-perasaan seperti yang disebutkan di atas maka justru individu akan bermasalah atau tidak normal.
F.       Manfaat Desensitisasi-Relaksasi
Desensitisasi sistematis merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif, biasanya berupa kecemasan dan disertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik, respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Manfaatnya diantaranya sebagai berikut:
1.     Desensitisasi sistematis sering digunakan untuk mengurangi maladaptasi kecemasan yang dipelajari lewat conditioning (seperti phobia) tapi juga dapat diterapkan pada masalah lain.
2.     Dengan teknik desensitisasi sistematis konseli dapat melemahkan atau mengurangi perilaku negatifnya tanpa menghilangkannya.
3.     Konseli mampu mengaplikasikan teknik ini dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus ada konselor yang memandu
4.     Desensitisasi sistematis merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif, biasanya berupa kecemasan dan disertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik, respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap.
G.     Kelebihan dan Kekurangan Desensitisasi-Relaksasi
1.       Kelebihan
Teknik ini mampu menimbulkan respon yang tidak konsisten dengan respon sebelumnya terhadap suatu hal yang dianggap menimbulkan rasa tidak aman pada diri konseli yang ingin diubah oleh konseli. Respon yang tidak konsisten ini nantinya yang akan menjadi titik awal munculnya tingkah laku baru yang diharapkan.
2.       Kekurangan
a)       Terdapat Konselor yang masih mendasarkan konseling dengan menggunakan teknik yang berakar pada hukum-hukum belajar.
b)      Tidak semua konselor mampu berperan propagandist dalam penerapan teknik konseling Desensitisasi Sistematis.
c)       Dalam teknik desensitisasi sistematis perlu melibatkan teknik-teknik lain untuk membantu konseli . Contoh: relaksasi.
d)      Teknik ini memerlukan waktu yang lama untuk penerapannya sebab terdapat tahap-tahap atau tingkatan yang berkelanjutan dalam membantu konseli. Misalnya:
Tahap I               : menghilangkan kecemasan tingkat rendah
Tahap II             : menghilangkan kecemasan tingkat sedang
Tahap III            : menghilangkan kecemasan tingkat tinggi
e)       Konselor perlu membuat format-format tertentu yang sangat detail mengenai masalah konseli sesuai dengan tingkatan atau tahapan-tahapan teknik ini.
H.      Tahap-tahap atau Langkah-langkah Desensitisasi-Relaksasi
1.   Analisis Perilaku yang menimbulkan masalah (kecemasan/ketakutan).
2.   Menyusun Hierarkhi atau jenjang-jenjang situasi yang menimbulkan masalah (ketakutan/kecemasan) dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan klien.
3.   Memberi latihan-latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki. Kaki klien diletakkan di atas bantal atau kain wool. Secara terinci relaksasi otot dimulai dari lengan, kepala, kemudian leher dan bahu, bagian belakang, perut dan dada, dan kemudian anggota bagian bawah.
4.   Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkannya seperti di pantai, di tengah taman yang hijau dan lain-lain.
5.   Klien disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan situasi yang kurang mencemaskan. Bila klien sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti situasi tersebut dapat diatasi klien. Demikian seterusnya hingga ke situasi yang paling mencemaskan.
6.   Bila pada suatu situasi klien merasa cemas/gelisah, konselor memerintahkan klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan rasa kecemasan/ketakutan yang baru saja terjadi.
7.   Menyusun Hierarki atau jenjang kecemasan harus bersama klien, dan konselor menuliskannya pada selembar kertas.
I.        Relevansi Desensitisasi-Relaksasi
Teknik desensitisasi sistematis dalam pelaksanaan terapinya tidak bisa atau harus menggunakan bantuan teknik lain di antaranya adalah teknik relaksasi dan teknik modelling. Menurut teknik relaksasi cara yang digunakan adalah dalam keadaan santai. Stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai. Pemasangan secara berulang-ulang sehingga stimulus yang semula menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur. Sedangkan menurut teknik modeling konselor diharapkan berperan sebagai model atau counter propagandis. Desensitisasi umumnya digunakan pada klien yang mengalami gangguan kecemasan, akan tetapi sebenarnya dapat juga digunakan untuk mengurangi kemarahan, mengatasi situasi sedih, dan berbagai rasa takut serta masalah-masalah sosial.
J.       Penerapan dalam pembelajaran
Secara garis besarnya, desensitisasi terdiri dari dua langkah, yaitu: pertama, rileksasi dan kedua, secara bertahap mengalami situasi yang membuat cemas (hingga tidak lagi cemas). Rileksasi dilakukan dengan cara melemaskan seluruh otot tubuh, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Latihan ini untuk setiap bagian tubuh disertai mengatur pernapasan perut (napas panjang). Pernapasan ini dilakukan sebelum melemaskan otot-otot.
Setelah dicapai keadaan rileks, kegiatan dilanjutkan dengan memulai berlatih menghadapi situasi yang menimbulkan kecemasan. Caranya dengan membayangkan hingga sungguh-sungguh menghadapinya secara bertahap, dari keadaan sedikit mencemaskan hingga paling mencemaskan. Kombinasi rileksasi dan latihan menghadapi situasi yang mencemaskan ini dilakukan hingga seseorang benar-benar tidak cemas menghadapi stimulus yang ada.
1.   Skenario
Operasionalisasi teknik ini dapat dimulai dengan meminta siswa mengidentifikasi saat-saat di sekolah atau di dalam kelas yang tidak menyenangkan bagi mereka. Para siswa mungkin akan menjawab pada saat mengikuti tes, pada saat membaca pelajaran dengan suara nyaring sementara teman dan guru memperhatikannya, mencari teman baru untuk melakukan tugas, bekerja sama dengan siswa rival di kelas, dan sebagainya.
Setelah itu siswa diminta untuk membayangkan saat-saat dalam hidup mereka yang penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, misalnya ketika terbang di angkasa dan menyaksikan bumi dari jauh, atau pada saat duduk berdua dengan seseorang yang berarti sambil memandang rembulan, atau pada saat mencetak gol pada pertandingan sebak bola, dan sebagainya. Setiap siswa membayangkan satu atau dua keadaan yang membuat mereka merasa nyaman dan rileks.
Langkah berikutnya adalah mempertentangkan kondisi yang tidak menyenangkan dengan kondisi yang menyenangkan. Guru meminta siswa untuk membayangkan seolah-olah mereka sedang menghadapi ujian akhir semester lalu dengan segera membanyangkan mereka sedang bermain bola lalu mencetak gol sebanyak-banyaknya. Mereka terus membayangkan sedang bermain bola dan mencetak gol sehingga akhirnya mereka benar-benar merasa sedang menjadi sang juara.
Selanjutnya guru memainkan peran seolah-olah dia akan memberikan setumpuk soal ujian akhir semester. Guru meminta siswa membayangkan seolah-olah dia masuk ke dalam ruangan dengan membawa lembar soal tetapi tidak tahu mengapa dia membawa lembar soal itu, lalu dengan perasaan bingung sang guru kembali ke kantornya dan menemukan para orang tua siswa sudah menunggu dengan ekpresi muka yang menunjukkan kekecewaan kepada sang guru. Para siswa terus membayangkan hal-hal yang menyenangkan setiap kali hal-hal yang tidak menyenangkan terkait dengan ujian akhir semester muncul dalam benak mereka. Pada akhir sesi terapi guru meminta para siswa untuk menggunakan teknik tersebut setiap kali akan menghadapi ujian atau hal-hal yang tidak menyenangkan bagi mereka.
2.   Strategi Peniruan Kognitif (Cognitive Coping Stategies)
Pengalaman seseorang sangat mempengaruhi perasaananya dan dia bereaksi terhdap perasaan-perasaan ini dengan berbagai cara. Beberapa dari reaksi kita mambantu penguasaan situasi emosi sedih dengan cara yang berpengaruh pada kebaikan kita, dan ada juga reaksi kita yang malah menambah stress dan menggantikan sikap yang lebih. Perasaan itu menjaga kami untuk tetap pada pola-pola negative.
Robert Decker misalnya menjelaskan hubungan antara emosi dengan pola makan dan cara-cara orang yang salah dalam menghadapi perasaannya. Dia juga menjelaskan beberapa strategi peniruan yang berguna bagi orang-orang sebagai alternative untuk menghadapi emosi stress mereka. Dr. Decker mengembangkan pemikirannya dari model emosi yang orang-orang tunjukkan untuk merespon berbagai kejadian yang diberikan dengan beberapa jenis input kognitif. (1) penafsiran, keyakinan dan sikap, (2) pikiran, daya ingat, imajinasi, (3) konsep diri dan penghargaan-diri. Dia beranggapan bahwa input kognitif ini mengatur respons khusus emosi yang akan berkembang ketika berhubungan dengan kejadian khusus. Ketika seorang suami melihat isterinya yang makan makanan berlemak ketika dia sedang mencoba untuk diet, maka sang isteri mungkin akan menterjemahkan sikap itu sebagai niat jahat suami nya untuk menghukumnya atau mungkin itu sebagai bukti ketidakpedulian suami. Istri mungkin akan merasakan kemarahan, perutnya menjadi sesak atau mungkin dia akan mengingat bagaimana ketidakpedulian ayahnya kepada ibunya pada situasi yang sama. Atau mungkin sia akan berkata pada dirinya sendiri betapa mengerinya aku, ketika dia tidak bisa memancing kemarahan suaminya.
Di antara strategi-strategi yang menurut orang bisa digunakan adalah strategi ekologi kognitif yang digunakan untuk menghentikan atau merubah pikiran negatif. Albert Ellies, seorang psikolog klinis, telah membuat daftar keyakinan irasional yang menurut dia berkontribusi pada perasaan-perasaan negatif, seperti: kesengsaraan manusia disebabkan oleh tekanan dari luar; seseorang harus mempunyai kontrol yang kuat atas segala sesuatu, atau tidak orang yang mampu menguasai emosinya. Ide dasar yang ingin disampaikan adalah menghentikan orang menggunakan pikiran-pikiran irasional ini lalu menggantinya dengan alasan yang lebih masuk akal. Strategi pertama adalah menentang kepercayaan-kepercayaan irasional tersebut. Strategi yang lain adalah mengganti pikiran-pikiran negatif dengan pikiran-pikiran positif, menghindari untuk menyatakan pikiran-pikiran negatif dengan keras, memberikan pujian untuk diri sendiri, berpikir tentang solusi bukan kesalahan atau hanya angan-angan, mengatur dan menerima hasil.
3.   Hirarki dan Imajinasi dalam Desensitisasi
Dua konsep operasional yang menjadi pusat dari model ini adalah hirarki dan imajinasi. Hirarki dan imajinasi adalah serangkaian urutan waktu dan situasi atau adegan-adegan yang nantinya akan dibayangkan oleh klien pada saat mereka melakukan relaksasi. Mengimajinasi dalam desensitisasi adalah kemampuan untuk memvisualisasi dengan jelas adegan demi adegan yang akan mengurangi kecemasan siswa.
Adegan itu menggambarkan situasi yang kongkrit yang relevan dengan masalah siswa. Asumsi yang melandasi konsep ini adalah bahwa tingkatan-tingkatan yang ada berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan adegan yang pertama akan mengurangi rasa cemas lalu dilanjutkan dengan adegan-adegan berikutnya. Ketika siswa telah melewati serangakaian alternatif imajinasi dan relaksasi, maka dia telah melewati masalahnya.
Tanggung jawab untuk pengembangan hirarki semestinya berada pada siswa. Namun demikian, guru dapat membantu siswa mengembangannya, khususnya membantu siswa menentukan point-point pokoknya, yaitu adegan pertama, kedua dan dan seterusnya sampai tingkat terakhir. Berikut ini adalah hirarki yang digunakan secara sukses oleh Wolpe dengan pelajar yang mengalami masalah kecemasan menghadapi tes:
a)       4 hari sebelum ujian.
b)       3 hari sebelum ujian.
c)       2 hari sebelum ujian.
d)       1 hari sebelum ujian.
e)       Malam hari sebelum ujian.
f)        Di jalan menuju sekolah
g)       Saat kertas ujian ada di depan mata.
h)       Menunggu pembagian kertas ujian.
i)        Sebelum ruang ujian ditutup.
j)        Pada saat menjawab di kertas ujian.
4.   Pembelajaran Model Desensitisasi
Pembelajaran model ini melalui lima fase, yaitu: (1) prosedur penyaringan, (2) penentuan hirarki, (3) pengaturan relaksasi, (4) prosedur desensitisasi (penyajian berbagai imajinasi dan relaksasi) dan (5) penerapan teknik-teknik relaksasi pada tempat-tempat yang lain.
Fase pertama, prosedur penyaringan, meliputi penentuan (1) apakah masalah siswa tepat untuk diatasi dengan desensitisasi (2) apakah siswa bisa memvisualisasikannya dan (3) apakah relaksasi yang mendalam membuatnya menjadi lebih tenang. Jika semua hal di atas menunjukkan hasil positif, maka masalahnya tepat untuk diatasi dengan desensitisasi. Masalah yang perlu dipertimbangkan untuk diatasi dengan desensitisasi adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kecemasan irasional. Kecemasan irasional adalah ketika siswa sebanrnya mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalahnya. Sebagai contoh, jika siswa sudah belajar maksimal untuk menghadapi ujian, lalu dia tetap juga cemas, maka kecemasan seperti itu adalah kecemasan irasional.
Fase kedua, menentukan hirarki. Salah satu caranya adalah meminta siswa untuk memikirkan sebanyak mungkin adegan yang berhubungan dengan masalahnya dan mendatanya secara terpisah pada kartu-kartu. Selanjutnya guru dan siswa bisa memulai menetapkan rentangan skala jenis terendah pada tingkat produksi kecemasan (1-2), tengah (5-6) dan tinggi (9-10). Secara berangsur-angsur skala dapat dikembangkan. Setelah skala pertama diselesaikan, sebaiknya kesalahan-kesalahan yang ada dikoreksi.
Fase ketiga adalah menentukan satu atau dua bagian adegan relaksasi yang akan siswa bayangkan di antara beberapa tahap hirarki. Adegan-adegan tersebut hendaknya divisualisasikan dengan jelas dan dicek untuk kekuatan relaksasinya. Bila perlu mereka bisa berlatih di rumah sampai gambaran-gambaran itu menjadi jelas.
Fase keempat. Fase ini terdiri dari silih bergantinya visualisasi kecemasan dengan relaksasi. Siswa diperintahkan untuk berimajinasi dengan adegan-adegan yang sudah ditentukan sebelumnya seolah-olah dia mengalaminya langsung. Siswa juga diminta untuk menunjuk jari segera ketika dia mengalami kecemasan, dan untuk menandai sesegera mungkin imajinasi itu jelas dan stabil. Setelah merasa yakin bahwa siswa cukup relaks, adegan hirarki pertama disajikan, guru menggambarkan adegan-adegan itu dan menunggu siswa untuk memberi tanda bahwa gambaran-gambaran itu menjadi jelas; kemudian guru menunggu selama 7 detik untuk meyakinkan tidak ada kecemasan lagi yang dialami. Jika siswa tidak memberikan tanda-tanda kecemasan, dia sebaiknya ditanya rata-rata tingkat kecemasannya antara 1-10. Hal ini perlu dilakukan karena beberapa orang mengalami kecemasan tetapi gagal menandainya pada saat membayangkan adegan. Jika ada rasa cemas yang dilaporkan, guru hendaknya dengan cepat meminta siswa untuk berhenti memvisualisasi lalu memulai prosedur relaksasi (visualisasi dan meregangkan otot-otot). Alternatif lainnya adalah dengan cara guru menanyakan apa sebenarnya yang siswa rasakan dan pikirkan. Prosedur ini diulangi sampai semua hirarki imajinasi dilewati, dan mungkin membutuhkan beberapa sesi.
Fase kelima. Sebagaimana halnya model belajar yang lain, ide utamanya adalah mentransfer hasil dari prosedur-prosedur yang telah dilalui sehingga mereka berada di bawah kontrol siswa sehingga para siswa dapat mengaplikasikannya kepada situasi-situasi yang tepat. Para suswa sudah belajar bagaimana mengidentifikasi masalahnya sendiri, membuat daftar adegan atau kejadian yang digabungkan dengan target dan dilengkapi dengan bermacam-macam derajat kecemasan pada diri mereka sendiri. Dalam hal ini mereka berangsur-angsur memiliki kontrol atas diri mereka sendiri melebihi situasi kecemasan dalam hidupnya, sedikitnya beberapa tingkat.


Daftar pustaka:
1.       Jones, Richard Nelson. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2.       Komalasari, G. et al. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks
3.        Fauzan, Lutfi. 2009. Konseptual Tentang Desensitisasi Sistematisi. Online http://lutfifauzan.wordpress.com/2009/08/09/kontrak-perilaku/ [accessed 16/11/2011]




VERBATIM TEKNIK DESENSITISASI-SISTEMATIS

Peran
Dialog
Teknik
Ki
Assalamualaikum...(sambil mengetuk pintu)

Ko
Waalaikumsalam....silahkan masuk, dan silahkan duduk
Attending
Ki
Iya Bu, makasih

Ko
Habis pelajaran apa tadi?
Topik Netral
Ki
Matematika Bu.., pusing sekali

Ko
Oh matematikan, pusing kenapa Ana?

Ki
Susah Bu belajar matematika

Ko
Ya.., Ibu dulu juga seperti Itu, tapi lama-lama karena belajar jadi bisa. Kamu juga pasti bisa kalau mau belajar

Ki
Iya Bu, Bu...sebelumnya saya datang kesini ingin cerita sama Ibu

Ko
Cerita? Cerita apa.., Coba Ibu dengarkan,
Kalimat Penjembatan
Ki
Jadi Begini Ibu, saya kesal dengan sikap teman saya bu, dia selalu mencotek tugas saya

Ko
Bisakah kamu menceritakan lebih lanjut masalah kamu itu?
Lead Umum
Ki
Jadi begini bu, saya memiliki seorang teman, dan teman saya itu selalu mencotek tugas saya, setiap kali mendapatkan tugas dia selalu saja melihat tugas saya, dan dia itu bukan hanya melihat tugas saya saja, melainkan tugas teman-teman yang lain.

Ko
hmm.., jadi teman anda itu selalu memcontek tugas anda dan teman anda yang lain?
Pharaprase
Ki
benar bu, Coba ibu bayangkan saya yang sudah capek mengerjakan tugas selalu saja kalah saing dengan dia yang hanya mencontek.

Ko
berarti selama ini nilai dia lebih banyak dibanding anda?
Klarifikasi
Ki
iya bu, saya marah, gondok banget sama dia..., seandainya saja saya berani saya pengin memukul-mukul dia bu, menjambak rambutnya, dan memarainya habis-habisan (sambil terengah-engah)

Ko
sabar..sabar, ibu tau perasan kamu, sekarang atur dulu emosi kamu, lihat saking marahnya tubuhmu sampai berkeringat seperti itu. Sekarang tarik nafas pelan-pelan dan keluarkan agar kamu bisa relaks dalam bercerita
Relaksasi
Ki
baik bu

Ko
sekarang bagaimana? Sudah cukup tenang

Ki
sudah bu..,

Ko
baiklah lanjutkan cerita kamu

Ki
Iya Bu..

Littlre snake pin