BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi kasus adalah salah satu mata kuliah dalam program studi bimbingan dan konseling. Mata kuliah studi kasus yang berbobot 2 SKS dan diampu oleh Dr. Supriyo, M. Pd. mempelajari tentang tingkah laku yang menyimpang; pengertian tingkah laku menyimpang, ciri-ciri tingkah laku menyimpang, bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang, faktor-faktor penyebab tingkah laku menyimpang; pemahaman dan penyimpangan tentang kasus; tinjauan awal tentang kasus, pemahaman tentang kasus, penanganan tentang kasus, penyikapan tentang kasus; berlatih mencari dan membuat situasi kasus; mengases kebutuhan konseli, menganalis kebutuhan dan menetapkan strategi bimbingan yang tepat; serta praktik melakukan studi kasus dan memberikan layanan bimbingan dan konseling berdasarkan hasil analisa studi kasus.
Tujuan dari mata kuliah studi kasusu adalah memahami konsep studi kasus sebagai pendekatan untuk mengases, mengalisis dan memberikan layanan bimbingan dan konseling bagi konseli, agar mahasiswa dapat memahami tentang tingkah laku yang menyimpang dan berlatih menangani kasus-kasus tentang tingkah laku yang menyimpang.
Tugas akhir yang dibebankan pada mata kuliah studi kasus ini adalah menangani dua buah kasus. Hal ini dibebankan guna melatih kemampuan dasar calon konselor dalam penanganan kasus di lapangan kelak. Kasus yang pertama adalah kasus bidang belajar di sekolah dan kasus yang kedua adalah kasus bidang pribadi di luar sekolah. Calon konselor diwajibkan memilih satu konseli untuk masing-masing kasus. Konseli tersebut diminta mengemukakan masalah yang sedang dihadapinya untuk kemudian ditangani oleh calon konselor. Tingkatan kasus yang akan ditangani oleh calon konselor dipersyaratkan minimal adalah tingkatan kasus yang sedang.
Dengan alasan tesebut maka calon konselor melakukan penanganan kasus terhadap konseli sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Segala hal yang dilaksanakan dalam proses penanganan kasus ini akan dilaporkan dan dipertanggungjawabkan secara tertulis dan lisan kepada dosen pembimbing sebagai tugas akhir mata kuliah studi kasus.
B. Prosedur Pemilihan Kasus
Pemilihan kasus adalah proses dimana calon konselor memilih dan menentukan kasus seperti apa yang akan diangkat untuk ditangani. Kasus diangkat berdasarkan atas seperti apa jenis kasus pada konseli serta tingkatan kasus tersebut, apakah kasus tergolong sedang atau tergolong kasus berat. Prosedur pemilihan kasus pada kasus pribadi kali ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Calon konselor turun ke lapangan memilih dan menentukan calon konseli.
2. Calon konselor menghubungi calon konseli untuk dimintai kesediannya menjadi konseli.
3. Calon konselor menjelaskan tentang berbagai alasan dan tujuan penanganan kasus.
4. Calon konselor meminta persetujuan dari calon konseli.
5. Calon konselor membuat jadwal pertemuan dan wawancara dengan konseli.
C. Tujuan
Tujuan dari praktik penanganan kasus ini adalah sebagai berikut;
1. Membantu menangani dan memberikan jalan keluar pemecahan kasus pribadi trauma.
2. Memenuhi tugas akhir mata kuliah studi kasus bimbingan dan konseling.
D. Manfaat
Manfaat dari praktik penanganan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Dari konselor:
a. Memperoleh pengalaman menangani kasus bidang pribadi, khususnya kasus tentang trauma.
b. Lebih tahu bagaimana cara berkomunikasi terhadap konseli yang sedang terkena suatu masalah, khususnya masalah pribadi trauma.
2. Dari konseli:
a. Masalah yang sedang dialami terselesaikan.
b. Menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan masalah yang sedang dihadapi.
c. Menjadi lebih berani dalam mengungkapkan isi hati.
d. Melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang.
e. Menjadi lebih tau tentang bagaimana cara bersikap terhadap orang lain, terutama terhadap pasangan.
f. Lebih bisa berfikiran secara positif dan logis.
BAB II
IDENTIFIKASI KASUS
A. Identitas Calon Konselor
Nama : A’an Aisyah
NIM : 1301409015
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Taman siswa, Sekaran, Gunung Pati, Semarang 50229
B. Identitas Konseli
Nama : Mustafida
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Subah, Batang 51272
C. Identifikasi Kasus
Fida mengaku sedang mempunyai masalah yang berkaitan dengan trauma untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Di rumah maupun lingkungan sekitar, sebenarnya banyak laki-laki yang menaruh perhatian padanya dan mencoba mendekatinya. Namun, Fida merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka, Fida selalu teringat dengan kisah masa lalunya apabila ada laki-laki yang mencoba mendekatinya dan mengajak untuk berpacaran. Ketika didekati oleh laki-laki, Fida selalu merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan. Ia mengaku tidak takut pada laki-laki pada umumnya, namun ketika ada laki-laki yang ada indikasi ingin menjalin hubungan dengan Fida, ia selalu bersikap waspada dan merasakan adanya perasaan tegang, gugup, serta curiga yang berlebihan terhadap laki-laki tersebut. Terkadang, saat ia sedang sendirian di rumah atau pada malam hari ketika ia tidak bisa tidur, ia mulai menangis dan ketakutan. Ketika hal tersebut terjadi ia selalu mengurung diri di bawah selimut, hal itu dilakukannya karena ia berpikir dengan mengurung dibawah selimut dirinya menjadi lebih tenang dan merasa aman. Fida juga kerap kali teringat kejadian di masa lalunya ketika diputus secara sepihak oleh mantan pacarnya. ketika mengingat kembali kejadian tersebut, ia juga bisa merasakan sakit, dan sedihnya kejadian pada saat itu. Selain teringat kembali, ia juga kadang merasa seakan-akan kejadian tersebut terjadi kembali di alam pikirannya. Ketika Fida sudah benar-benar yakin akan cinta kasih tulusnya kepada mantan pacarnya, namun tiba-tiba ia diputus, hal tersebut menambahkan luka hati tersendiri dalam hati Fida. Ia tidak ingin kejadian yang menyakitkan dan menyedihkan itu terulang lagi pada dirinya. Oleh karenanya ia takut untuk menjalani sebuah hubungan dengan laki-laki lagi. Ia merasa kejadian yang sama pasti akan terulang lagi bila ia berpacaran lagi. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan lagi mau berpacaran.
1. Gejala yang timbul dalam diri Fida:
a. Merasa peristiwa masa lalu terulang kembali.
b. Memiliki gejala psikologis seperti mudah gelisah gugup, cemas, dan curiga yang berlebihan.
c. Sering teringat pengalaman atau kejadian buruk dan mengerikan.
d. Terlihat sering bersikap waspada.
e. Tiba-tiba menangis dan ketakutan.
2. Keluhan-keluhan dari Fida:
a. Selalu merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan.
b. Sering teringat kejadian di masa lalunya ketika diputus secara sepihak oleh mantan pacarnya.
c. Perasaan sakit dan sedih di masa lalunya masih terekam jelas.
d. Terkadang menangis tanpa alasan yang jelas.
e. Tidak ingin berpacaran lagi.
D. Jenis, Nama, dan Tingkatan Kasus
Identifikasi kasus yang akan ditangani calon konselor adalah sebagai berikut:
1. Jenis kasus : Kasus pribadi
2. Nama kasus : Trauma berpacaran
3. Tingkatan kasus : Sedang
BAB III
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Trauma
Dalam realitas kita sering mendengar atau mengucapkan istilah stres dan trauma. Kondisi kedua konteks ini diucapkan orang bilamana suatu persoalan yang kita hadapi terjadi berulang–ulang, beruntun dan membuat kita tidak berdaya dalam menyikapi, menghadapi dan mengatasinya. Stres secara umum dapat dipahami sebagai suatu reaksi atau tanggapan (fisik atau psikis) terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar diri manusia (lingkungan). Stres dapat berlangsung dalam jangka waktu singkat dan panjang. Stres dalam waktu singkat biasanya dapat diatasi dengan cara beristirahat, rileks, rekreasi atau berolahraga. Stres ini biasanya terjadi akibat kecapekan atau kelelahan secara fisik. Namun, bila stres itu berkepanjangan dan tidak dapat dikendalikan, tubuh dan jiwa tidak punya kesempatan untuk beristirahat, ini biasanya dikategorikan stres yang bersifat psikologis. Sebagai konsekuensinya adalah akan menimbulkan dampak negatif pada diri individu, seperti depresi, serangan jantung, sesak nafas, dsb. Kondisi stres yang berakibat fatal bagi individu (merugikan dan menyakiti) disebut distress (stres buruk), sedangkan stres yang menyenangkan, memotivasi semangat hidup, meningkatkan etos kerja, meningkatkan gairah, kreativitas dan prestasi belajar/kerja dinamakan eustress (stres baik).
Sedangkan trauma merupakan reaksi fisik dan psikis yang bersifat stress buruk akibat suatu peristiwa, kejadian atau pengalaman spontanitas/secara mendadak (tiba-tiba), yang membuat individu mengejutkan, kaget, menakutkan, shock, tidak sadarkan diri, dsb –yang tidak mudah hilang begitu saja dalam ingatan manusia. James Drever (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis.html) mengatakan trauma adalah setiap luka, kesakitan atau shock yang terjadi pada fisik dan mental individu –yang berakibat timbulnya gangguan serius. Sarwono (dalam http://wikansusanti.blogspot. com/2011/03/trauma-psikologis.html), melihat trauma sebagai pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan dan meninggalkan bekas (kesan) yang mendalam pada jiwa seseorang yang mengalaminya. Dari dua pendapat ini, dapat dianalisis bahwa trauma merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan atau buruk yang datang secara spontanitas dan merusak seluruh sendi/fungsi pertahanan kejiwaan individu, sehingga membuat individu tidak berdaya dalam mengendalikan dirinya.
Menurut Wikan Susanti (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis.html), trauma psikologis adalah jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada gangguan stres pasca trauma, kerusakan mungkin melibatkan perubahan fisik di dalam otak dan kimia otak, yang merusak kemampuan seseorang untuk memadai mengatasi stres.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder. Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder. Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder.
Menurut Supriyatni (dalam http://www.facebook.com/topic.php?uid=67956 676724&topic=9668), trauma psikologis adalah sebuah jenis kerusakan psikis yang terjadi akibat peristiwa traumatis. Bila trauma tersebut mengarah pada Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kerusakannya bisa melibatkan perubahan fisik di dalam otak dan zat kimia otak, yang dapat merusak kemampuan seseorang dalam menangani stress.
Kejadian-kejadian traumatis melibatkan peristiwa tunggal, atau sebuah peristiwa fatal atau serangkaian peristiwa, yang sangat membebani kemampuan individu untuk menerima kejadian dan emosi terkait dengan peristiwa. Keadaan terbebani dapat berlangsung berminggu-minggu, bertahun-tahun, bahkan dekade, sebagaimana seseorang berjuang untuk mengatasi lingkungannya. Trauma dapat disebabkan oleh berbagai macam peristiwa, tapi ada beberapa aspek yang umum.
Dari uraian diatas, dapat disimpulan bahwa trauma psikis merupakan keadaan atau situasi psikologis seseorang yang luka akibat kejadian dan peristiwa berat yang telah dialaminya. Trauma psikis ini akan muncul apabila seseorang tidak mempunyai ketahanan mental dalam menghadapi kejadian atau peristiwa yang dialaminya.
B. Macam-Macam Trauma
Menurut Wikansusanti (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis.html) menyebutkan bahwa dalam kajian psikologi dikenal beberapa jenis trauma sesuai dengan penyebab dan sifat terjadinya trauma, yaitu trauma psikologis, trauma neurosis, trauma psikosis, dan trauma diseases.
1. Trauma Psikologis
Trauma ini adalah akibat dari suatu peristiwa atau pengalaman yang luar biasa, yang terjadi secara spontan (mendadak) pada diri individu tanpa berkemampuan untuk mengontrolnya (loss control and loss helpness) dan merusak fungsi ketahanan mental individu secara umum. Ekses dari jenis trauma ini dapat menyerang individu secara menyeluruh (fisik dan psikis).
2. Trauma Neurosis
Trauma ini merupakan suatu gangguan yang terjadi pada saraf pusat (otak) individu, akibat benturan-benturan benda keras atau pemukulan di kepala. Implikasinya, kondisi otak individu mengalami pendarahan, iritasi, dan sebagainya. Penderita trauma ini biasanya saat terjadi tidak sadarkan diri, hilang kesadaran, dan sebagainya, yang sifatnya sementara.
3. Trauma Psychosis
Trauma psikosis merupakan suatu gangguan yang bersumber dari kondisi atau problema fisik individu, seperti cacat tubuh, amputasi salah satu anggota tubuh, dan sebagainya, yang menimbulkan shock dan gangguan emosi. Pada saat-saat tertentu gangguan kejiwaan ini biasanya terjadi akibat bayang-bayang pikiran terhadap pengalaman/ peristiwa yang pernah dialaminya, yang memicu timbulnya histeris atau fobia.
4. Trauma Diseases
Gangguan kejiwaan jenis ini oleh para ahli ilmu jiwa dan medis dianggap sebagai suatu penyakit yang bersumber dari stimulus-stimulus luar yang dialami individu secara spontan atau berulang-ulang, seperti keracunan, terjadi pemukulan, teror, ancaman, dsb.
Sementara itu, Nasution (dalam http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/ 01/30/trauma-psikis-dan-bentuk-gejalanya/) menerangkan bahwa kondisi trauma (traumatic) yang dialami orang (anak, remaja dan dewasa), juga mempunyai sifatnya masing-masing sesuai dengan pengalaman, peristiwa atau kejadian yang menyebabkan rasa trauma, yaitu ada trauma yang bersifat ringan, sedang/menengah dan trauma berat. Kondisi trauma yang ringan, biasanya perkembangannya tidak berlarut-larut, mudah diatasi dan hanya dalam batas waktu tertentu saja serta penanganannya tidak membutuhkan waktu lama, demikian pula halnya dengan kondisi trauma yang bersifat sedang atau menengah. Namun, jika keadaan trauma yang dialami individu bersifat berat, ini biasanya agak sulit ditangani dan membutuhkan waktu yang lama dalam penyembuhan. Adapun konseling yang akan diterapkan dalam kasus ini adalah harus dilakukan secara kontinyu, penuh kesabaran, penuh keikhlasan dan betul-betul ada kesadaran dari para profesional (orang-orang yang terlatih) untuk menanganinya secara baik.
C. Gejala/Ciri-ciri Trauma
Wikansusanti (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis .html) menyebutkan bahwa gejala trauma dibagi menjadi empat kategori. Seseorang yang mendapat pengalaman traumatis akan memperlihatkan beberapa gejala dan kombinasinya. Gejala-gejala yaitu:
1. Memutar kembali peristiwa traumatis seperti. Seseorang yang mengalami trauma sering merasa peristiwanya terulang kembali. Hal ini biasanya disebut flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa. Orang ini mungkin mempunyai gambaran mental di kepalanya tentang trauma, mengalami mimpi buruk, atau bahkan mungkin mengalami halusinasi tentang trauma. Gejala ini sering menyebabkan seseorang kehilangan ”saat sekarang” dan bereaksi seolah-olah mereka mengalaminya seperti awal trauma terjadi. Contoh, beberapa tahun kemudian seorang anak akibat penganiayaan mungkin akan bersembunyi gemetaran di closet bila merasa ketakutan, meskipun ketakutan itu tidak berhubungan dengan penganiayaan.
2. Penghindaran. Seseorang yang mengalami trauma berusaha untuk menghindari segala sesuatu yang mengingatkan mereka kembali pada kejadian traumatis. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan, termasuk juga bersikap dingin untuk menghindari rasa sakit, perasaan yang berlebihan. Membekukan pikiran dan perasaan akibat trauma disebut juga ”disasociation” dan merupakan karakteristik trauma.
3. Pelampiasan. Seseorang yang menderita trauma kadang mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok untuk menghindari ingatan-ingatan dan perasaan yang berhubungan dengan trauma. Dengan mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok memang mereka dapat merasa tenang, tetapi hal itu sifatnya hanya sementara.
4. Pemicu. Gejala-gejala pemicu psikologis dan fisiologis sangat berbeda-beda pada orang-orang dengan trauma. Mereka mungkin sangat cemas, mudah gelisah, mudah tersinggung atau marah, dan mungkin mengalami sulit tidur seperti insomnia, atau mimpi buruk. Mereka akan terlihat terus menerus waspada dan mengalami kesulitan konsentrasi. Sering orang dengan trauma akan mengalami panic attack yang dibarengi dengan nafas yang pendek dan sakit di bagian dada.
5. Perasaan bersalah. Sering seseorang merasa bersalah tentang apa yang telah terjadi dan mereka salah meyakini bahwa mereka pantas untuk disalahkan atau pantas mendapatkan hukuman.
6. Reexperiencing. Perderita seperti mengalami kembali kejadian traumatis yang pernah dialami. Biasanya kondisi ini akan muncul ketika penderita sedang melamun atau melihat suasana yang mirip dengan pengalaman traumatisnya. Penderita dapat berperilaku mengejutkan, tiba-tiba berteriak, menangis, atau berlari ketakutan. Fenomena lain juga dapat muncul seperti takut untuk tidur, karena begitu ia tidur peristiwa traumatis muncul kembali. Misalnya, peristiwa diperkosa atau pembunuhan yang berlangsung didepan mata.
7. Hyperarousal. Suatu keadaan waspada berlebihan, seperti mudah kaget, tegang, curiga menghadapi gejala sesuatu, benda yang jatuh dia anggap seperti jatuhnya sebuah bom, dan tidur sering terbangun-bangun.
Solehuddin Nasution juga menambahkan (dalam http://kesehatan.kompasiana.com/ medis/2010/01/30/trauma-psikis-dan-bentuk-gejalanya/), bentuk–bentuk gejala seseorang yang mengalami trauma psikis diantaranya sebagai berikut:
1. Mengalami kejadian yang buruk dan mengerikan.
2. Sulit tidur dan mudah terbangun.
3. Mimpi buruk terhadap hal kejadian yang mengerikan.
4. Seperti mengalami kembali peristiwa buruk dan mengerikan.
5. Menghindari tempat, orang, situasi dan hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa buruk dan mengerikan.
6. Mudah Terkejut.
7. Mudah tersinggung dan marah.
8. Sering teringat pengalaman atau kejadian buruk dan mengerikan.
9. Tidak merasakan emosi apapun.
10. Merasa tidak bersemangat dan tidak mempunyai masa depan.
D. Faktor penyebab Trauma
Penyebab dari trauma menurut Safwan (dalam http://safwankita.wordpress.com/ 2010/10/31/trauma-deteksi-dini-penanganan-awal-di-realitas-sosial/) meliputi 2 faktor yaitu:
1. Faktor internal (psikologis)
Bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental. Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor kausatif sekunder lainnya.
Secara sederhana, Trauma dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akiba ketidak mampuan seseorang mengatasi persoalan hidup yang harus dijalaninya, sehingga yang bersangkuan bertingkah secara kurang wajar.
2. Faktor eksternal
Trauma psikologis bisa disertai trauma fisik atau bisa berdiri sendiri. Tipikal penyebab trauma psikologis adalah pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, ancaman, atau menyaksikan peristiwa traumatis, khususnya pada masa kecil. Kejadian bencana seperti gempa bumi dan gunung meletus, perang atau kekerasan masal dapat juga menyebabkan trauma psikologis. Pengalaman jangka panjang pada situasi-situasi seperti kekerasan tingkat menengah seperti kekerasan verbal, dapat juga menyebabkan trauma. Secara umum, kondisi trauma yang dialami individu (anak) disebabkan oleh berbagai situasi dan kondisi, di antaranya:
a. Peristiwa atau kejadian alamiah (bencana alam), seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin topan, dan sebagainya.
b. Pengalaman dikehidupan sosial ini (psiko-sosial), seperti pola asuh yang salah, ketidak adilan, penyiksaan (secara fisik atau psikis), teror, kekerasan, perang, dan sebagainya.
c. Pengalaman langsung atau tidak langsung, seperti melihat sendiri, mengalami sendiri (langsung) dan pengalaman orang lain (tidak langsung), dan sebagainya.
Alim (dalam http://www.psikologizone.com/trauma-cara-mengatasi-dan-menghilangkan/06511180) menyebutkan secara terperinci, contoh berbagai macam peristiwa yang bisa memicu timbulnya trauma pada seseorang adalaha sebagai berikut:
a. Menyaksikan sebuah peristiwa kekerasan atau mengerikan, atau berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
b. Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim.
c. Perkosaan atau pelecehan seksual.
d. Serangan tiba-tiba atau pembajakan.
e. Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
f. Kecelakaan mobil atau kebakaran.
g. Bencana alam, seperti gempa bumi.
h. Kejadian kecelakaan besar, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris.
i. Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaan industri.
j. Veteran perang atau korban perang sipil.
k. Kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau orang yang dicintai.
l. Orang yang ditinggal atau dihianati oleh orang dekat.
E. Upaya penanganan Trauma
Safwan mengemukakan (dalam http://safwankita.wordpress.com/2010/10/31/ trauma-deteksi-dini-penanganan-awal-di-realitas-sosial/) berbagai model psikoterapi telah dikembangakan untuk mengatasi PTSD, seperti, terapi rasional emotif behavior, desensitisasi, hipnoterapi, semuanya cukup efektif asal penderita juga mendapatkan dukungan dari masyarakat lingkunganya dan juga orang terdekatnya.
Perlu untuk dibedakan, apakah seseorang sudah mengarah pada PTSD atau masih PTS (post traumatic sympton). Kalaupun masih PTS tidak akan sampai menimbulkan gangguan berat, masih dapat ditangani oleh psikolog yang terlatih. Yang perlu dilakukan adalah jangan sampai PTS menjadi PTSD.
Pada tahap penanganan awal terhadap penderita traumatik, Alim ( dalam http://www.psikologizone.com/trauma-cara-mengatasi-dan-menghilangkan/06511180) menyebutkan ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh konselor, diantaranya:
1. Direct Techniqe Aplication:
a. Pemberian bantuan langsung; chek kesehatan, materi, dan sebagainya.
b. Di sini konselor diharapkan harus terlibat langsung mengadakan penanganan korban trauma.
c. Bagaimana proses penyesuaian diri, interaksi, komunikasi dan sikap konselor akan sangat menentukan berhasil tidaknya pemberian bantuan penyembuhan. Pola kepribadian konselor adalah kunci utama dalam penanganan koran trauma.
d. Dengan teknik langsung ini, metode self help group akan menjadi efektif, kohesif dan kreatif.
2. FGD Techniqe Aplication:
a. Terapi model ini akan menghasilkan suasana kebersamaan, satu rasa dan satu tujuan kelompok.
b. Akan terbentuk persepsi diri dan persepsi sosial secara baik bagi penderita trauma.
c. Akan terbentuk konsep diri secara baik bagi penderita trauma.
d. Dengan teknik ini akan memungkinkan dilakukan usaha kearah pengembangan dan pemberdayaan ketrampilan dalam berbagai bentuk; karya wisata, kegiatan perlombaan, life skill, dan sebagainya.
Merujuk pada model penanganan tersebut, yang lebih para pemberi bantuan terhadap korban trauma mampu menjabarkan empati secara proporsional dan profesional, sehingga penanganan yang dilakukan dapat memberi hasil maksimal.
Sedangkan menurut budi astuti dalam (dalam http://wikansusanti.blogspot.com /2011/03/trauma-psikologis.html), beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk menangani masalah trauma, meliputi:
1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Intervensi juga mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera mungkin berperilaku yang positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang permasalahan yang dihadapi. Mencegah suatu kehancuran (keterpurukan hidup), yaitu mencegah kehancuran dan berupaya memulihkan melalui sasaran-sasaran jangka pendek dan terbatas.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Sebaiknya tidak memberikan harapan palsu dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan masalahnya agar kembali seimbang.
4. Memberikan dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dan sebagainya.
5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn konseli kepada konselor.
8. Rekonstruksi psikologis melalui bantuan untuk mengatasi masa lalu.
9. Rekonstruksi sosial melalui pemulihan hubungan.
F. Daftar pustaka
1. Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Raths, dan Beverly Greene. 2009. Psikologi Abnormal jilid I. Jakarta: Erlangga
2. Ilma. 2011. Askep Trauma Psikologi pada Anak. On line at http://ilmawidiya.blogspot .com/2011/07/askep-trauma-psikologi-pada-anak.html [accessed at 20/12/2011]
3. Kumpulanistilahcom. 2010. Pengertian Trauma. On line at http://id.shvoong.com/ medicine-and-health/epidemiology-public-health/2031323-pengertian-trauma/#ixzz1h1kkdXpg [accessed at 20/12/2011]
4. Supriyatno. 2010. Trauma Psikologis. On line at http://www.facebook.com/topic. php?uid=67956676724&topic=9668 [accessed at 20/12/2011]
5. Nasution, Solehuddin. 2010. Trauma Psikis dan Bentuk Gejalanya. On line at http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/01/30/trauma-psikis-dan-bentuk-gejalanya/ [accessed at 20/12/2011]
6. Alim, Muhammad Baitul. 2009. Trauma: Cara Mengatasi dan Menghilangkan. On line at http://www.psikologizone.com/trauma-cara-mengatasi-dan-menghilangkan /06511180 [accessed at 20/12/2011]
7. Safwan. 2010. Trauma: Deteksi Dini Penanganan Awal di Realitas Sosial. On line at http://safwankita.wordpress.com/2010/10/31/trauma-deteksi-dini-penanganan-awal-di-realitas-sosial/ [accessed at 20/12/2011]
8. No name. No year. Hipnoterapi Mengobati Trauma. On line at http://www. hipnoterapi.asia/trauma.htm [accessed at 20/12/2011]
9. Wikansusanti. 2011. Trauma Psikologis. On line at http://wikansusanti.blogspot. com/2011/03/trauma-psikologis.html [accessed at 20/12/2011]
BAB IV
DATA KASUS
Data kasus adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kasus pribadi yang dialami oleh konseli. Calon konselor berusaha mengumpulkan data dari berbagai sumber dan dari berbagai pihak yang diduga ada relevansinya dengan masalah yang dihadapi oleh konseli. Calon konselor ingin memperoleh data selengkap mungkin, apakah ini berupa data objektif maupun subjektif dan berbagai sumber. Data objektif yang diperoleh dari berbagai sumber di antaranya:
A. Wawancara
1. Wawancara dengan Fida
Usia Fida saat ini adalah 18 tahun, ia sudah lulus SMA, namun ia memilih untuk tidak melanjutkan keperguruan tinggi, melainkan ingin langsung meneruskan usaha keluarga saja. Ia adalah anak ke 4 dari 7 bersaudara. Dia mempunyai dua kakak laki-laki, satu kakak perempuan, satu adik perempuan, dan satu adik laki-laki, Fida mengaku sangat menyayangi semua saudara-saudaranya.
Orang tua Fida bercerai ketika Fida masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya sudah menikah lagi namun ayahnya tidak menikah lagi. Hubungan Fida dengan ayah dan ibunya terbilang cukup baik. Fida sempat syok dengan perceraian orang tuanya, namun sekarang ia sudah bisa menerima perceraian orang tuanya tersebut. Sekarang Fida tinggal dengan sang ibu, karena ia lebih dekat dengan sang ibu namun bukan berarti ia tidak pernah mengunjungi ayahnya. Fida mengatakan bahwa ia setiap harinya sering bolak-balik kerumah ibu dan rumah ayah. Ketika berada di rumah sang ayah, terkadang Fida agak sebel juga bila sedang di omeli sang ayah. Menurutnya lebih enak dengan sang ibu, karena sang ibu belum pernah mengomelinya juga Fida begitu diperhatikan dan disayang penuh oleh ibunya. Ibu dan ayah Fida mempunyai pekerjaan yang sama, yaitu sebagai penjual pestisida dan obat-obatan untuk tanaman. Meskipun jenis pekerjaannya sama, namun mereka bekerja di tempat yang berbeda. Fida mengaku ia sering membantu ibunya menjaga toko untuk mengisi waktu luang dan untuk belajar bekerja.
Sehubungan dengan masalah yang sedang dialami oleh Fida, yaitu trauma berpacaran, ia mengaku hal ini bermula ketika ia duduk di bangku kelas satu SMA. Pada waktu itu ia sedang masih dalam masa tertarik dengan lawan jenis. Ia begit senang ketika akhirnya ia berpacaran dengan laki-laki yang dari dulu ia memendam sayang kepadanya. Beberapa bulan setelah mereka berpacaran tiba-tiba tanpa alasan dan yang jelas, pacarnya memutuskannya secara sepihak. Meskipun ditanya berkali-kali oleh Fida, pacarnya tersebut terlihat sinis dan malah marah-marah, serta selalu menghindar dari Fida. Kejadian tersebut telah membuat hatinya hancur, sakit, kecewa, dan sangat sedih. Ketika benar-benar tulus menyayangi pacarnya tersebut dengan sepenuh hati, tiba-tiba dikhiatani.
Fida juga mengaku setelah kejadian diputus pacarnya tersebut, Fida pernah mengurung diri dikamar selama beberapa hari. hal itu benar-benar membuat dirinya syock. Ia tidak rela ditinggalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Ia juga masih sayang dengan pacarnya tersebut.ia tidak bisa menerima perlakuan yang semacam itu. Di rumah maupun lingkungan sekitar, sebenarnya banyak laki-laki yang menaruh perhatian padanya dan mencoba mendekatinya. Namun, Fida merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Fida selalu teringat dengan kisah masa lalunya apabila ada laki-laki yang mencoba mendekatinya dan mengajak untuk berpacaran. Ketika didekati oleh laki-laki, Fida selalu merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan. Ia mengaku tidak takut pada laki-laki pada umumnya, namun ketika ada laki-laki yang ada indikasi ingin menjalin hubungan dengan Fida.
Terkadang, saat ia sedang sendirian di rumah atau pada malam hari ketika ia tidak bisa tidur, ia mulai menangis dan ketakutan. Ketika hal tersebut terjadi ia selalu mengurung diri di bawah selimut, hal itu dilakukannya karena ia berpikir dengan mengurung dibawah selimut dirinya menjadi lebih tenang dan merasa aman. Fida juga kerap kali teringat kejadian di masa lalunya ketika diputus secara sepihak oleh mantan pacarnya. ketika mengingat kembali kejadian tersebut, ia juga bisa merasakan sakit, dan sedihnya kejadian pada saat itu. Selain teringat kembali, ia juga kadang merasa seakan-akan kejadian tersebut terjadi kembali di alam pikirannya.
Ketika Fida sudah benar-benar yakin akan cinta kasih tulusnya kepada mantan pacarnya, namun tiba-tiba ia diputus, hal tersebut menambahkan luka hati tersendiri dalam hati Fida. Ia tidak ingin kejadian yang menyakitkan dan menyedihkan itu terulang lagi pada dirinya. Oleh karenanya ia takut untuk menjalani sebuah hubungan dengan laki-laki lagi. Ia merasa kejadian yang sama pasti akan terulang lagi bila ia berpacaran lagi. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan lagi mau berpacaran.
Sebenarnya pada lubuk hati Fida yang paling dalam, ia juga ingin sembuh dari traumanya. Kadang ia merasa iri dengan teman-temannya yang sudah memiliki pasangan masing-masing, bahkan ada juga yang sudah menikah. Namun ketika teringat kejadian sewaktu SMA, ia kembali meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tak mau mengalami sakit hati seperti waktu itu. Sakit yang dulu sudah cukup membuat dirinya tidak ingin jatuh cinta untuk yang kedua kali. Fida juga berharap bahwa ia tidak merasakan takut dan menangis lagi ketika malam hari, tidak lagi teringat dengan kisah masa lalu, tidak lagi terbayang-bayang oleh rekaman kejadian masa lalu, dan merasa lebih rileks dan nyaman dalam menjalani kesehariannya.
2. Teman tetangga di rumah
Menurut teman tetangga yang ada di sekitar rumah Fida, Fida anaknya selalu riang ceria, dan gampang diajak berteman. Ia juga sering ngobrol dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Menurutnya, karena Fida orangnya gampang bergaul, temannya banyak. Sering juga terlihat teman-temannya beramai-ramai datang ke rumahnya Fida. Banyak juga laki-laki yang tertarik kepadanya.
Berdasarkan cerita teman tetangga Fida ini, ia tahu bahwa Fida mempunyai masalah dengan enggan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Hal ini terjadi semenjak waktu Fida masih di kelas satu SMA, karena kebetulan Fida dan teman tetangganya ini bersekolah di tempat yang sama. Teman tetangga di rumah Fida mengungkapkan bahwa kejadiannya dulu waktu di kelas satu, Fida diputus oleh pacarnya. kabar itu sampai membuat heboh anak satu sekolah, dia juga tidak menyangka bahwa kejadian itu begitu membekas hingga sekarang di hati Fida.
Fida memang sering bercerita ke teman-temannya, termasuk temaan tetangga di rumah bahwa ia bersumpah untuk tidak lagi mau berpacaran. Ia mengaku bahwa ia tidak ingin merasakan perasaan yang begitu menyesakkan seperti waktu dulu lagi.
3. Wawancara dengan kakak Fida
Kakak Fida yang berinisial H ini adalah kakak laki-laki kedua Fida. Ketika ditanya tentang bagaimana pendapatnya mengenai adiknya tersebut, H mengaku bahwa dia sangat menyayangi adiknya itu. Ia juga menyatakan meskipun ayah dan ibu mereka sudah bercerai, tapi H dan saudara-saudaranya tetap saling menyayangi. Meskipun sekarang H dan Fida tidak hidup satu atap, karena H ikut dengan sang ayah, sedangkan Fida ikut dengan sang ibu, namun hubungan mereka tetap harmonis.
H mengatakan Fida anak yang patuh pada orang tua, juga begitu peduli dengan saudara-saudaranya. Ia juga sekarang anaknya sudah lebih feminin dibandingkan dulu ketika Fida duduk di bangku SMP. Waktu di bangku SMP, Fida anaknya tomboi, sikap dan kelakuannya seperti laki-laki. Tetapi semenjak duduk di bangku SMA, menurut H, Fida terlihat berubah dan semakin lebih feminin.
H juga mengetahui tentang masalah adiknya yang tidak mau berpacaran atau tidak mau menjalin hubungan dengan lawan jenis ini. Menurutnya, tidak berpacaran ketika masih bersekolah memang bagus, supaya bisa lebih fokus untuk belajar. Tapi H melihat bahwa trauma Fida ini semakin lama bukannya hilang tapi menjadi semakin kuat. Terkadang Fida terlihat seperti sedang gugup, cemas dan terlalu waspada dalam menyikapi laki-laki yang sedang mendekatinya. Ia mengaku kadang khawatir dengan masa depan adiknya apabila traumanya tidak kunjung sembuh. H berharap bahwa adiknya supaya lekas sembuh dari traumanya.
BAB V
ANALISIS DAN DIAGNOSIS
A. Analisis kasus
Analisis memiliki makna suatu kegiatan menguraikan, menjabarkan, dan menerangkan suatu data permasalahan secara rinci dan lengkap.
1. Analisis konten
Masalah yang dihadapi oleh Fida adalah masalah yang berhubungan dengan pengalaman traumatis ketika berpacaran. Berdasarkan gejala-gejala yang diperlihatkan oleh Fida, yaitu merasa peristiwa masa lalu ketika dirinya ditinggalkan oleh sang pacar terulang kembali, mudah gelisah, sering gugup, sering merasa cemas, memiliki perasaan curiga yang berlebihan terhadap laki-laki yang sedang mencoba mendekatinya, sering teringat pengalaman atau kejadian buruk tentang pengalaman berpacarannya di masa lalu, terlihat sering bersikap waspada, dan terkadang tiba-tiba menangis serta ketakutan, masalah yang dialami oleh Fida adalah masalah yang berhubungan dengan trauma menjalani hubungan dengan lawan jenis/trauma berpacaran.
2. Analisis logis
Selama ini Fida mengeluhkan bahwa ia mengalami trauma berpacaran yang sudah cukup lama, yaitu sejak dirinya duduk di bangku SMA kelas satu. Ketika ditanya lebih dalam tentang masa lalunya, ternyata Fida ketika duduk di bangku SMA pernah ditinggalkan begitu saja oleh pacarnya tanpa alasan yang jelas, padahal Fida sangat menyayangi dan tidak mau kehilangan pacarnya tersebut. Luka hati karena ditinggalkan pacar ternyata berdampak menjadikan Fida mempunyai masalah trauma berpacaran.
Berdasarkan histori keluarga Fida yang orang tuanya telah bercerai ketika Fida masih duduk di sekolah dasar agaknya sedikit banyak telah berperan menguatkan persepsi Fida tentang sakitnya ketika sepasang pasangan berpisah. Apalagi dalam kasus Fida, ia ditinggalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Pengalaman perceraian orang tuanya tersebut bisa jadi memicu Fida untuk sebisa mungkin ia tidak ingin berpisah dengan orang yang disayanginya.
3. Analisis comparative
Berdasarkan pengakuan teman Fida di rumah, Fida mempunyai masalah dengan enggan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis dan bersumpah untuk tidak lagi mau berpacaran. Ia juga mengatakan bahwa Fida tidak merasakan perasaan yang begitu menyesakkan seperti waktu dulu lagi. Sedangkan menurut pengakuan kakak kandugnya Fida, adiknya tidak mau berpacaran atau tidak mau menjalin hubungan dengan lawan jenis. Juga terkadang Fida terlihat seperti sedang gugup, cemas dan terlalu waspada dalam menyikapi laki-laki yang sedang mendekatinya. Fia juga mengungkapkan hal yang kurang lebih sama seperti yang telah diungkapkan teman tetangganya di rumah dan kakaknya sendiri.
Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh teman tetangganya di rumah dan kakak Fida, keduanya cocok dengan pengungkapan yang diungkapkan oleh Fida sendiri. Hal ini berarti apa yang dirasakan dan dilakukan oleh Fida sama persis dengan pandangan dan persepsi orang luar, dalam hal ini adalah teman tetangganya di rumah dan kakaknya sendiri. Semua hal yang diungkapkan tersebut menggambarkan bahwa Fida memiliki masalah yang berkaitan dengan adanya rasa trauma berpacaran.
Perbandingan juga bisa dilihat dari harapan apa saja yang dimiliki oleh Fida serta bagaimana kenyataan yang sesungguhnya ia alami apakah sudah sesuai dengan harapan-harapannya atau belum. Dalam hal ini, pada lubuk hati Fida yang paling dalam, ia ingin sembuh dari traumanya, namun pada kenyataannya ia masih saja terbelenggu pada traumanya tersebut. Fida juga berharap bahwa ia tidak merasakan takut dan menangis lagi ketika malam hari, namun pada kenyataannya ia masih sering mengalami ketakutan dan terkadang tiba-tiba menangis sendiri di malam hari. Selanjutnya ia berharap tidak teringat lagi dengan kisah masa lalu, namun pada kenyataannya ia masih sering teringat dengan kisah masa lalunya. Fida juga berharap bisa bebas dari bayang-bayang rekaman kejadian masa lalu, namun pada kenyataannya ia masih sering terbayang dengan kejadian masa lalunya. Selanjutnya Fida juga menambahkan bahwa ia berharap bisa merasa lebih rileks dan nyaman dalam menjalani kesehariannya, namun pada kenyataannya ia masih sering merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan.
Berdasarkan analisa perbandingan antara harapan dan kenyataan yang dimiliki oleh Fida, semua harapan yang dimiliki oleh Fida masih belum tercapai, karena pada kenyataannya Fida masih terpaku pada masa lalunya yang disisi lain berkebalikan dengan apa yang menjadi harapan-harapannya. Hal ini tidak lepas dari masalah yang dialami oleh Fida, yaitu masalah yang berkaitan dengan adanya rasa trauma berpacaran.
B. Diagnosis
Diagnosis memiliki arti yaitu suatu upaya untuk mengenal, menetapkan atau menentukan sifat, serta hakekat dalam suatu peristiwa melalui pengamatan terhadap gejala.
1. Esensi masalah
Esensi atau pokok dari permasalahan yang dihadapi oleh Fida adalah dalam diri Nia mempunyai trauma berpacaran. Fida tidak ingin lagi mengalami sakit hati ketika menjalani sebuah hubungan dengan lawan jenis. Trauma berpacaran ini sudah dialaminya semenjak duduk di bangku SMA.
2. Latar belakang masalah
Yang melatar belakangi masalah yang ada pada diri Fida, yaitu masalah tentang rasa trauma berpacaran adalah kondisi dalam keluarga Fida dan hubungan sosialnya dengan pacarnya ketika masih di bangku SMA. Perceraian orang tua Fida pada saat ia masih duduk di sekolah dasar menimbulkan dasar persepsi yang kuat terhadap suatu hubungan apalagi hubungan dengan lawan jenis. Yang selanjutnya adalah hubungan sosial dengan lawan jenis, ketika Fida mengalami kegagalan dalam berpacaran, ia merasa sakit, kecewa, dan berbagai macam perasaan menyedihkan yang lainnya. Fida terlalu takut untuk mengalami kejadian buruk yang menimpanya di masa lalu, sehingga ia mengalami trauma dalam menjalani hubungan dengan lawan jenis/trauma berpacaran.
3. Penyebab utama masalah
Penyebab utama yang menyebabkan Fida memiliki masalah dengan rasa trauma berpacaran adalah karena kepercayaannya yang sangat kuat bahwa bila ia menjalin hubungan berpacaran lagi, ia akan mendapat rasa sakit yang sama seperti ketika ia ditinggalkan oleh pacarnya ketika di SMA. Terhadap pemikirannya tersebut, Fida sangat percaya, bahwa bila ia berpacaran lagi, meskipun berpacaran dengan laki-laki yang berbeda, tetapi laki-laki itu pada akhirnya akan memberikan rasa sakit yang sama seperti rasa sakit yang dialaminya dulu. Hal ini menimbulkan persepsi yang kuat pada diri Fida, bahwa pada akhirnya berpacaran akan menimbulkan rasa sakit, sedih, dan kecewa yang luar biasa, sehingga ia mempunyai rasa trauma dalam berpacaran
4. Dinamika psikis konseli
Dinamika psikis konseli terbagi menjadi dua, yaitu dinamika psikis konseli yang bersifat positif dan dinamika psikis konseli yang bersifat negatif.
a. Dinamika psikis konseli yang positif:
• Fida sudah terbuka dan jujur dalam mengungkapkan masalah yang sedang sialaminya.
• Fida memiliki potensi yang cukup memadai untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri.
• Mempunyai keinginan untuk berubah menjadi lebih baik.
• Fida memiliki harapan yang jelas dan wajar.
• Memiliki kepribadian yang mandiri.
b. Dinamika psikis konseli yang negatif:
• Dalam menyikapi masalah yang dialaminya, Fida selalu bersikap negatif, subjektif, dan idealis.
• Fida merasa bahwa masalah yang sedang dialaminya tersebut adalah masalah yang biasa-biasa saja atau masalah yang berat.
• Selalu memandang masalah yang dialaminya dengan emosional.
BAB VI
PROGNOSIS
A. Alternatif pemecahan
Beberap alternatif pemecahan masalah yang berkaitan dengan trauma berpacaran diantaranya:
1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan semangat.
2. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif.
3. Memberikan harapan yang positif.
4. Memberikan dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dan sebagainya.
5. Membantu merencanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membantu bersama-sama melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
7. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
8. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn konseli kepada konselor.
9. Merekonstruksi psikologis konseli melalui bantuan untuk mengatasi masa lalu.
10. Merekonstruksi keadaan sosial konseli melalui pemulihan hubungan.
B. Pendekatan
Untuk membantu penanganan masalah trauma berpacaran ini calon konselor mencoba menawarkan konsep konseling rasional emotif behavior. Pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy adalah pendekatan behavior kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy di kembangkan oleh Albert Ellis melalui beberapa tahapan. pandanagan dasar pendekatan ini tentang manusia adalah bahwa individu memiliki tendensi untuk berpikir irasional yang salah satunya didapat melalui belajar social. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir rasional. pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDE.
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Rasional emotif behavior terapi lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi pada kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti ia menitikbertkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak. Rasional emotif behavior terapi sangat didaktik dan direktif serta lebih banyak berurusan dengan dimensi-dimensi pikiran ketimbang dengan dimensi-dimensi perasaan.
Penggunaan konseling rasional emotif behavior sebagai alternatif pemecahan masalah trauma berpacaran, menurut penulis karena mengingat konseling realitas memiliki konsep-konsep dasar sebagai berikut:
1. Terapi rasional emotif adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
2. Terapi rasional emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
3. Terapi rasional emotif behavior menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
4. Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
5. Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah Menurut Ellis, pilaran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengarulu pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran.
6. Pandangan yang penting dari teori rasional-emotif adalah konsep hahwa banyak perilaku emosional indiuidu yang berpangkal pada “self-talk:” atau “omong diri” atau internatisasi kalimat-kalimat yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang yang seperti itu, menurut Eilis adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas, (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikir secara cerdas tetapi tidak tahu bagaimana herpikir secara jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi, (3) orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan seeara memadai.
Dengan melihat keunggulan konseling rasional emotif behavior tersebut diatas, calon konselor berharap dapat sedikit demi sedikit menghilangkan gangguan traumatik berpacaran pada diri konseli, sehingga konseli dapat mengentaskan masalah yang sedang dihadapinya dan bisa memenuhi harapan-harapan yang dimilikinya.
C. Langkah-langkah
Rasional emotif behavior terapi membantu konseli mengenali dan memahami perasaan, pemikiran, dan tingkah laku yang irasional. Dalam proses ini konseli diajarkan bahwa perasaan, pemikiran, dan tingkah laku tersebut diciptakan dan diverbalisasikan oleh konseli sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, konseli membutuhkan konselor untuk membantu mengatasi permasalahannya. Dalam proses konseling dengan menggunakan pendekatan rasional emotif behavior terdapat beberapa langkah yang dikerjakan oleh konselor, yaitu:
1. Memperlihatkan dan menyadarkan konseli bahwa mereka tidak logis dan irasional.
2. Meyakinkan konseli bahwa perasaan dan pemikiran negatif dapat ditantang dan diubah.
3. Membantu konseli untuk secara terus-menerus mengembangkan pikiran rasional serta mengembangkan filosofi hidup yang rasional.
Secara khusus terdapat beberapa langkah intervensi konseling dengan pendekatan rasional emotif behavior, yaitu:
1. Bekerja sama dengan konseli:
2. Melakukan assesmen terhadap masalah, orang, dan situasi.
3. Mempersiapkan konseli untuk terapi.
4. Mengimplementasikan program penanganan.
5. Mengevaluasi kemajuan.
6. Mempersiapkan konseli untuk mengakhiri konseling.
BAB VII
TREATMENT
A. Tahap-tahap proses konseling
Konseling terhadap Fida dilakukan pada hari Senin tanggal 2 Januari 2012 bertempat di rumah Fida pukul 14.00 sampai dengan selesai. Proses konseling ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan rasional emotif behavior. Tahap-tahap konseling dapat dirinci sebagai berikut:
1. Tahap 1
Pada langkah pertama proses konseling yaitu langkah bekerja sama dengan konseli, pertama-tama yang dilakukan calon konselor adalah membangun hubungan dengan konseli dengan melakukan empati, bersikap penuh kehangatan terhadap konseli, dan memberikan penghargaan kepada konseli dengan pujian dan senyum. Karena pada awal konseling calon konselor sudah mengetahui permasalahan yang dialami oleh konseli, maka calon konselor mulai memperhatikan tentang “secondary disturbances” atau hal yang mengganggu konseli yang mendorong konseli mencari bantuan. Setelah konseli menceritaka sedikit tentang harapannya bahwa ia ingin masalahnya segera terselesaikan dan meminta bantuan kepada calon konselor maka calon konselor memperlihatkan kepada konseli tentang kemungkinan perubahan yang bisa dicapai dan kemampuan calon konselor untuk membantu konseli mencapai tujuan dari konseling yaitu agar masalah konseli terselesaikan.
Langkah proses konseling yang kedua yakni melakukan assesmen terhadap masalah yang dialami konseli, orang di sekitar konseli yang turut berpengaruh terhadap perkembangan masalah yang dialami oleh konseli, dan situasi tempat konseli tinggal. Calon konselor memulai dengan mengidentifikasi pandangan-pandangan tentang apa yang menurut konseli salah. Disini konseli memandang bahwa ditinggalkannya konseli oleh pacarnya tanpa alasan yang jelas adalah sesuatu yang sangat salah. Setelah itu calon konselor juga memperhatikan bagaimana perasaan konseli mengalami masalah yang dialaminya tersebut. Konseli merasa masalah yang dialaminya tersebut sangat berat dan selalu menanggapi masalahnya tersebut secara emosional yang berlebihan, sangat subjektif, dan idealis. Calon konselor juga secara umum menanyakan kepada konseli tentang latar belakang personal dan sosial, kedalaman masalah, hubungan dengan kepribadian individu, dan sebab-sebab non-fisik seperti: kondisi fisik dan lingkungan. Pada langkah ini, calon konselor secara umum mengumpulkan data sebanyak-banyaknya agar memudahkan calon konselor dalam melakukan langkah konseling yang selanjutnya. Pengumpulan data ini juga dilakukan agar proses treatment yang dilakukan sesuai masalah pokok yang dialami oleh konseli.
2. Tahap 2
Pada tahap ini, langkah berikutnya adalah mempersiapkan konseli untuk melakukan terapi. Konseli dibantu untuk yakin bahwa perasaan dan pemikiran negatif tersebut dapat ditantang dan diubah. Pada tahap ini konseli mengeksplorasi ide-ide untuk menentukan tujuan-tujuan rasional. Calon konselor dan konseli secara bersama-sama mengklarifikasi dan melakukan persetujuan tentang tujuan-tujuan konseling yang ingin dicapai oleh konseli. Dalam proses ini, calon konselor secara terus menerus memotivasi diri konseli agar mau untuk berubah. Setelah tujuan konseling ditetapkan, calon konselor dan konseli mendiskusikan tentang pendekatan yang akan dipakai dalam konseling, yaitu pendekatan rasional emotive behavior terapi. Calon konselor memberikan sedikit pengantar mengenai jenis pendekatan ini. Kemudian calon konselor mulai mendebat pikiran irasional konseli dengan menggunakan pertanyaan untuk menantang validitas ide tentang diri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Pada tahap ini calon konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling rasional emotif behavior untuk membantu konseli mengembangkan pemikiran rasional.
Langkah selanjutnya yaitu mengimplementasi program penanganan. Pada langkah ini, calon konselor menerapkan alternatif pemecahan masalah yang telah direncanakan. Calon konselor menganalisis episode spesifik dimana inti masalah tersebut terjadi, menemukan keyakinan-keyakinan yang terlibat dalam masalah, dan mengembangkan homework.Mengembangkan tugas-tugas tingkah laku untuk mengurangi ketakutan dan trauma yang dialami oleh konseli. Disamping itu, pada lnagkah ini calon konselor secara periodik melakukan intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan semangat. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positi terhadap masalah yang dialami oleh konselif. Memberikan dukungan juga perlu mengingat konseli mempunyai harapan untuk berubah dan ingin segera menyelesaikan masalahnya, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dan sebagainya. Calon konselor juag membantu merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan masalah konseli. Agar pribadi konseli mau berubah, membangun harga diri konseli sangat penting, calon konselor melakukannya dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama. Menanamkan rasa percaya diri pada konseli bahwa masalahnya bisa terselesaikan dan trauma yang dialaminya bisa sembuh adalah salah satu upaya yang digunakan, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn konseli kepada konselor. Treatment yang terakhir yang dilakukan adalah dengan merekonstruksi psikologis konseli melalui bantuan untuk mengatasi masa dan merekonstruksi keadaan sosial konseli melalui pemulihan hubungan.
Langkah berikutnya yaitu mengevaluasi kemajuan apa saja yang telah dialami oleh konseli setelah mendapat treatmen dari calon konselor. Pada menjelang akhir intervensi, calon konselor memastikan apakah konseli mencapai perubahan yang signifikan dalam berpikir atau perubahan tersebut disebabkan oleh faktor lain. Evaluasi dilakukan secara bersama-sama oleh calon konselor dan konseli.
Langkah erakhir adalah mempersiapkan konseli untuk mengakhiri konseling. Pada langkah ini calon konselor secara terus-menerus menguatkan kembali hasil yang sudah dicapai. Selain itu mempersiapkan konseli untuk dapat menerima kemungkinan adanya kemunduran dari hasil yang sudah dicapai atau kemungkinan mengalami masalah di kemudian hari. Tahap akhir ini, konseli dibantu untuk secara terus-menerus mengembangkan pikiran rasional serta mengembangkan filosofi hidup yang rasional sehingga konseli tidak terjebak pada masalah yang disebabkan oleh pemikiran irasional.
Setelah semua langkah konseling dilaksanakan, calon konselor dan konseli bersepakat untuk mengakhiri konseling, setelah mengungkapkan perasaan dan hasil perubahan pemikiran yang baru, konseli mengemukakan bahwa ia akan terus berusaha berfikir bahwa tidak semua laki-laki akan melakukan hal yang sama terhadap dirinya ketika berpacaran. Calon konselor menutup konseling dengan memberi dorongan semangat dan berjabat tangan dengan konseli.
BAB VIII
EVALUASI
A. Evaluasi tiap langkah dalam konseling
1. Bekerja sama dengan konseli.
Pada langkah ini, konseli sudah mau bekerja sama dengan calon konselor, hal ini ditunjukkan dengan sikap konseli yang ceria, bersedia mengungkapkan permasalahannya, dan menunjukkan adanya perhatian kepada calon konselor.
2. Melakukan assesmen terhadap masalah, orang, dan situasi.
Pada langkah ini, konseli sudah mau menceritakan akar permasalahan yang dialaminya. Konseli secara terbuka mengungkapkan berbagai macam informasi yang berhubungan dengan masalahnya, diantaranya informasi yang berhubungan dengan masalah konseli, orang-orang disekitar konseli yang menurut konseli turut berpengaruh, dan menceritakan secara mendetai tentang situasi yang dialaminya.
3. Mempersiapkan konseli untuk terapi.
Pada langkah ini, pertama konseli merasa ragu dengan sistem pendekatan yang akan digunakan. Konseli masih saja terpikirkan dengan masalah yang dialaminya dan sulit untuk diajak bekerja sama. Namun dengan dorongan dari calon konselor, akhirnya konseli mau untuk melakukan terapi konseling rasional emotif behavior.
4. Mengimplementasikan program penanganan.
Pada langkah ini, konseli secara serius memperhatikan dan mencoba memahai treatment yang diberikan oleh calon konselor. Meskipun dengan ekspresi yang masih agak takut, konseli sudah mau menyimak penanganan yang diberikan oleh calon konselor.
5. Mengevaluasi kemajuan.
Pada langkah ini, konseli sudah mau untuk mencoba memandang kembali masalahnya dengan sudut pandang yang berbeda. Konseli sudah berusaha untuk melawan rasa trauma yang dialaminya. Konseli juga berjanji akan mencoba berubah dengan sikap yang sederhana terlebih dahulu.
6. Mempersiapkan konseli untuk mengakhiri konseling.
Pada langkah ini, konseli secara positif yakin akan terselesaikan masalahnya apabila ia terus beruasa. Konseli juga tidak langsung putus asa ketika calon konselor mengemukakan tentang adanya kemungkinan akan kemunduran atas hasil yang telah dicapai.
B. Evaluasi tiap pertemuan
1. Pertemuan pertama (tahap 1)
Pada konseling tahap pertama, konseli sudah mau bekerja sama dengan calon konselor, hal ini ditunjukkan dengan sikap konseli yang ceria, bersedia mengungkapkan permasalahannya, dan menunjukkan adanya perhatian kepada calon konselor. Konseli juga sudah mau menceritakan akar permasalahan yang dialaminya. Konseli secara terbuka mengungkapkan berbagai macam informasi yang berhubungan dengan masalahnya, diantaranya informasi yang berhubungan dengan masalah konseli, orang-orang disekitar konseli yang menurut konseli turut berpengaruh, dan menceritakan secara mendetai tentang situasi yang dialaminya.
2. Pertemuan kedua (tahap 2)
Pada konseling tahap kedua, pertama konseli merasa ragu dengan sistem pendekatan yang akan digunakan. Konseli masih saja terpikirkan dengan masalah yang dialaminya dan sulit untuk diajak bekerja sama. Namun dengan dorongan dari calon konselor, akhirnya konseli mau untuk melakukan terapi konseling rasional emotif behavior. Konseli secara serius memperhatikan dan mencoba memahai treatment yang diberikan oleh calon konselor. Meskipun dengan ekspresi yang masih agak takut, konseli sudah mau menyimak penanganan yang diberikan oleh calon konselor. Konseli juga sudah mau untuk mencoba memandang kembali masalahnya dengan sudut pandang yang berbeda. Konseli sudah berusaha untuk melawan rasa trauma yang dialaminya. Konseli juga berjanji akan mencoba berubah dengan sikap yang sederhana terlebih dahulu. Ketika kegiatan konseling akan segera diakhiri, konseli secara positif yakin akan terselesaikan masalahnya apabila ia terus beruasa. Konseli juga tidak langsung putus asa ketika calon konselor mengemukakan tentang adanya kemungkinan akan kemunduran atas hasil yang telah dicapai.
C. Evaluasi secara keseluruhan
Secara keseluruhan, konseli sudah secara sukarela dan terbuka dalam mengungkapkan masalahnya kepada calon konselor. Hal ini merupakan sesuatu hal yang baik, karena dengan sikap konseli yang terbuka dan sukarela, proses konseling akan lebih mudah dilaksanakan. Konseli juga sudah mau berusaha untuk melawan rasa trauma yang dialaminya. Hal ini merupakan sesuatu yang positif bahwa konseli mempunyai keinginan yang kuat untuk memecahkan masalahnya sendiri. Dengan adanya konseling konseli menjadi lebih termotivasi untuk segera lepas dari trauma yang dialaminya tersebut.
BAB IX
TINDAK LANJUT
Tindak lanjut dalam kegiatan konseling adalah proses tindakan yang dilakukan secara bersama-sama antara konselor dan konseli apabila konseli masih membutuhkan bantuan dari konselor sedangkan proses treatment sudah selesai dilaksanakan. Pada penanganan kasus pribadi kali ini, konseli sudah merasa cukup terbantu dengan konseling yang dilaksanakan dalam waktu dua kali pertemuan. Konseli menunjukkan adanya perubahan kemajuan meskipun belum sepenuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa proses konseling yang dilakukan oleh calon konselor menghasilkan adanya kemajuan positif pada diri konseli meskipun belum sepenuhnya. Calon konselor dan konseli memutuskan untuk mengakhiri konseling pada pertemuan kedua dan tidak melakukan tindak lanjut dikarenakan konseli sudah merasa cukup puas dengan hasil yang ia dapatkan pada proses konseling sebelumnya dan tidak ingin melakukan proses konseling lanjutan lagi.
BAB X
PENUTUP
A. Simpulan
Kasus yang ditangani oleh calon konselor adalah kasus pribadi tentang trauma berpacaran. Dalam menangani kasus tersebut, calon konselor pertama melakukan pengumpulan data kasus dengan cara wawancara kepada konseli dan dari sumber lain untuk kelengkapan dan ketepatan data. Setelah dilakukan analisa kasus, diketahui bahwa penebab utama masalah yang dihadapi konseli adalah kejadian dari masa lalunya. Pada tahap prognosis diputuskan bahwa pendekatan konseling yang akan digunakan untuk mentraetment konseli adalah pendekatan rasional emotive behavior. Pada tahap treatment konseling, calon konselor melaksanakan sesuai dengan langkah-langkah yang ada pada pendekatan rasional emotive behavior dan sesuai pula dengan upaya penanganan yang telah direncanakan. Treatment yang dilakukan calon konselor ternyata membuahkan hasil, setelah di evaluasi ternyata konseli sudah ada kemajuan pada cara berfikirnya menjadi lebih rasional.
B. Saran
Berdasarkan proses konseling yang dilaksanakan, maka yang perlu disarankan adalah sebagai berikut:
1. Dalam mengumpulkan data, alangkah lebih baik bila mengumpulkan informasi mengenai konseli bukan Cuma dari satu sumber saja, melainkan dari berbagai sumber agar informasi yang didapat lebih akurat dan lebih lengkap sehingga memudahkan dalam proses penanganan konseling.
2. Sebaiknya mempererat hubungan antara konselor dan konseli, agar konselor mendapat kepercayaan penuh dari konseli terkait penyelesaian masalah yang konseli hadapi.
3. Kerjasama antara konselor dan konseli dalam proses konseli sangat penting dan harus terus ditingkatkan demi tercapainya tujuan yang diinginkan dalam proses konseling.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi kasus adalah salah satu mata kuliah dalam program studi bimbingan dan konseling. Mata kuliah studi kasus yang berbobot 2 SKS dan diampu oleh Dr. Supriyo, M. Pd. mempelajari tentang tingkah laku yang menyimpang; pengertian tingkah laku menyimpang, ciri-ciri tingkah laku menyimpang, bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang, faktor-faktor penyebab tingkah laku menyimpang; pemahaman dan penyimpangan tentang kasus; tinjauan awal tentang kasus, pemahaman tentang kasus, penanganan tentang kasus, penyikapan tentang kasus; berlatih mencari dan membuat situasi kasus; mengases kebutuhan konseli, menganalis kebutuhan dan menetapkan strategi bimbingan yang tepat; serta praktik melakukan studi kasus dan memberikan layanan bimbingan dan konseling berdasarkan hasil analisa studi kasus.
Tujuan dari mata kuliah studi kasusu adalah memahami konsep studi kasus sebagai pendekatan untuk mengases, mengalisis dan memberikan layanan bimbingan dan konseling bagi konseli, agar mahasiswa dapat memahami tentang tingkah laku yang menyimpang dan berlatih menangani kasus-kasus tentang tingkah laku yang menyimpang.
Tugas akhir yang dibebankan pada mata kuliah studi kasus ini adalah menangani dua buah kasus. Hal ini dibebankan guna melatih kemampuan dasar calon konselor dalam penanganan kasus di lapangan kelak. Kasus yang pertama adalah kasus bidang belajar di sekolah dan kasus yang kedua adalah kasus bidang pribadi di luar sekolah. Calon konselor diwajibkan memilih satu konseli untuk masing-masing kasus. Konseli tersebut diminta mengemukakan masalah yang sedang dihadapinya untuk kemudian ditangani oleh calon konselor. Tingkatan kasus yang akan ditangani oleh calon konselor dipersyaratkan minimal adalah tingkatan kasus yang sedang.
Dengan alasan tesebut maka calon konselor melakukan penanganan kasus terhadap konseli sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Segala hal yang dilaksanakan dalam proses penanganan kasus ini akan dilaporkan dan dipertanggungjawabkan secara tertulis dan lisan kepada dosen pembimbing sebagai tugas akhir mata kuliah studi kasus.
B. Prosedur Pemilihan Kasus
Pemilihan kasus adalah proses dimana calon konselor memilih dan menentukan kasus seperti apa yang akan diangkat untuk ditangani. Kasus diangkat berdasarkan atas seperti apa jenis kasus pada konseli serta tingkatan kasus tersebut, apakah kasus tergolong sedang atau tergolong kasus berat. Prosedur pemilihan kasus pada kasus pribadi kali ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Calon konselor turun ke lapangan memilih dan menentukan calon konseli.
2. Calon konselor menghubungi calon konseli untuk dimintai kesediannya menjadi konseli.
3. Calon konselor menjelaskan tentang berbagai alasan dan tujuan penanganan kasus.
4. Calon konselor meminta persetujuan dari calon konseli.
5. Calon konselor membuat jadwal pertemuan dan wawancara dengan konseli.
C. Tujuan
Tujuan dari praktik penanganan kasus ini adalah sebagai berikut;
1. Membantu menangani dan memberikan jalan keluar pemecahan kasus pribadi trauma.
2. Memenuhi tugas akhir mata kuliah studi kasus bimbingan dan konseling.
D. Manfaat
Manfaat dari praktik penanganan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Dari konselor:
a. Memperoleh pengalaman menangani kasus bidang pribadi, khususnya kasus tentang trauma.
b. Lebih tahu bagaimana cara berkomunikasi terhadap konseli yang sedang terkena suatu masalah, khususnya masalah pribadi trauma.
2. Dari konseli:
a. Masalah yang sedang dialami terselesaikan.
b. Menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan masalah yang sedang dihadapi.
c. Menjadi lebih berani dalam mengungkapkan isi hati.
d. Melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang.
e. Menjadi lebih tau tentang bagaimana cara bersikap terhadap orang lain, terutama terhadap pasangan.
f. Lebih bisa berfikiran secara positif dan logis.
BAB II
IDENTIFIKASI KASUS
A. Identitas Calon Konselor
Nama : A’an Aisyah
NIM : 1301409015
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Taman siswa, Sekaran, Gunung Pati, Semarang 50229
B. Identitas Konseli
Nama : Mustafida
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Subah, Batang 51272
C. Identifikasi Kasus
Fida mengaku sedang mempunyai masalah yang berkaitan dengan trauma untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Di rumah maupun lingkungan sekitar, sebenarnya banyak laki-laki yang menaruh perhatian padanya dan mencoba mendekatinya. Namun, Fida merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka, Fida selalu teringat dengan kisah masa lalunya apabila ada laki-laki yang mencoba mendekatinya dan mengajak untuk berpacaran. Ketika didekati oleh laki-laki, Fida selalu merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan. Ia mengaku tidak takut pada laki-laki pada umumnya, namun ketika ada laki-laki yang ada indikasi ingin menjalin hubungan dengan Fida, ia selalu bersikap waspada dan merasakan adanya perasaan tegang, gugup, serta curiga yang berlebihan terhadap laki-laki tersebut. Terkadang, saat ia sedang sendirian di rumah atau pada malam hari ketika ia tidak bisa tidur, ia mulai menangis dan ketakutan. Ketika hal tersebut terjadi ia selalu mengurung diri di bawah selimut, hal itu dilakukannya karena ia berpikir dengan mengurung dibawah selimut dirinya menjadi lebih tenang dan merasa aman. Fida juga kerap kali teringat kejadian di masa lalunya ketika diputus secara sepihak oleh mantan pacarnya. ketika mengingat kembali kejadian tersebut, ia juga bisa merasakan sakit, dan sedihnya kejadian pada saat itu. Selain teringat kembali, ia juga kadang merasa seakan-akan kejadian tersebut terjadi kembali di alam pikirannya. Ketika Fida sudah benar-benar yakin akan cinta kasih tulusnya kepada mantan pacarnya, namun tiba-tiba ia diputus, hal tersebut menambahkan luka hati tersendiri dalam hati Fida. Ia tidak ingin kejadian yang menyakitkan dan menyedihkan itu terulang lagi pada dirinya. Oleh karenanya ia takut untuk menjalani sebuah hubungan dengan laki-laki lagi. Ia merasa kejadian yang sama pasti akan terulang lagi bila ia berpacaran lagi. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan lagi mau berpacaran.
1. Gejala yang timbul dalam diri Fida:
a. Merasa peristiwa masa lalu terulang kembali.
b. Memiliki gejala psikologis seperti mudah gelisah gugup, cemas, dan curiga yang berlebihan.
c. Sering teringat pengalaman atau kejadian buruk dan mengerikan.
d. Terlihat sering bersikap waspada.
e. Tiba-tiba menangis dan ketakutan.
2. Keluhan-keluhan dari Fida:
a. Selalu merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan.
b. Sering teringat kejadian di masa lalunya ketika diputus secara sepihak oleh mantan pacarnya.
c. Perasaan sakit dan sedih di masa lalunya masih terekam jelas.
d. Terkadang menangis tanpa alasan yang jelas.
e. Tidak ingin berpacaran lagi.
D. Jenis, Nama, dan Tingkatan Kasus
Identifikasi kasus yang akan ditangani calon konselor adalah sebagai berikut:
1. Jenis kasus : Kasus pribadi
2. Nama kasus : Trauma berpacaran
3. Tingkatan kasus : Sedang
BAB III
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Trauma
Dalam realitas kita sering mendengar atau mengucapkan istilah stres dan trauma. Kondisi kedua konteks ini diucapkan orang bilamana suatu persoalan yang kita hadapi terjadi berulang–ulang, beruntun dan membuat kita tidak berdaya dalam menyikapi, menghadapi dan mengatasinya. Stres secara umum dapat dipahami sebagai suatu reaksi atau tanggapan (fisik atau psikis) terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar diri manusia (lingkungan). Stres dapat berlangsung dalam jangka waktu singkat dan panjang. Stres dalam waktu singkat biasanya dapat diatasi dengan cara beristirahat, rileks, rekreasi atau berolahraga. Stres ini biasanya terjadi akibat kecapekan atau kelelahan secara fisik. Namun, bila stres itu berkepanjangan dan tidak dapat dikendalikan, tubuh dan jiwa tidak punya kesempatan untuk beristirahat, ini biasanya dikategorikan stres yang bersifat psikologis. Sebagai konsekuensinya adalah akan menimbulkan dampak negatif pada diri individu, seperti depresi, serangan jantung, sesak nafas, dsb. Kondisi stres yang berakibat fatal bagi individu (merugikan dan menyakiti) disebut distress (stres buruk), sedangkan stres yang menyenangkan, memotivasi semangat hidup, meningkatkan etos kerja, meningkatkan gairah, kreativitas dan prestasi belajar/kerja dinamakan eustress (stres baik).
Sedangkan trauma merupakan reaksi fisik dan psikis yang bersifat stress buruk akibat suatu peristiwa, kejadian atau pengalaman spontanitas/secara mendadak (tiba-tiba), yang membuat individu mengejutkan, kaget, menakutkan, shock, tidak sadarkan diri, dsb –yang tidak mudah hilang begitu saja dalam ingatan manusia. James Drever (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis.html) mengatakan trauma adalah setiap luka, kesakitan atau shock yang terjadi pada fisik dan mental individu –yang berakibat timbulnya gangguan serius. Sarwono (dalam http://wikansusanti.blogspot. com/2011/03/trauma-psikologis.html), melihat trauma sebagai pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan dan meninggalkan bekas (kesan) yang mendalam pada jiwa seseorang yang mengalaminya. Dari dua pendapat ini, dapat dianalisis bahwa trauma merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan atau buruk yang datang secara spontanitas dan merusak seluruh sendi/fungsi pertahanan kejiwaan individu, sehingga membuat individu tidak berdaya dalam mengendalikan dirinya.
Menurut Wikan Susanti (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis.html), trauma psikologis adalah jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada gangguan stres pasca trauma, kerusakan mungkin melibatkan perubahan fisik di dalam otak dan kimia otak, yang merusak kemampuan seseorang untuk memadai mengatasi stres.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder. Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder. Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder.
Menurut Supriyatni (dalam http://www.facebook.com/topic.php?uid=67956 676724&topic=9668), trauma psikologis adalah sebuah jenis kerusakan psikis yang terjadi akibat peristiwa traumatis. Bila trauma tersebut mengarah pada Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kerusakannya bisa melibatkan perubahan fisik di dalam otak dan zat kimia otak, yang dapat merusak kemampuan seseorang dalam menangani stress.
Kejadian-kejadian traumatis melibatkan peristiwa tunggal, atau sebuah peristiwa fatal atau serangkaian peristiwa, yang sangat membebani kemampuan individu untuk menerima kejadian dan emosi terkait dengan peristiwa. Keadaan terbebani dapat berlangsung berminggu-minggu, bertahun-tahun, bahkan dekade, sebagaimana seseorang berjuang untuk mengatasi lingkungannya. Trauma dapat disebabkan oleh berbagai macam peristiwa, tapi ada beberapa aspek yang umum.
Dari uraian diatas, dapat disimpulan bahwa trauma psikis merupakan keadaan atau situasi psikologis seseorang yang luka akibat kejadian dan peristiwa berat yang telah dialaminya. Trauma psikis ini akan muncul apabila seseorang tidak mempunyai ketahanan mental dalam menghadapi kejadian atau peristiwa yang dialaminya.
B. Macam-Macam Trauma
Menurut Wikansusanti (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis.html) menyebutkan bahwa dalam kajian psikologi dikenal beberapa jenis trauma sesuai dengan penyebab dan sifat terjadinya trauma, yaitu trauma psikologis, trauma neurosis, trauma psikosis, dan trauma diseases.
1. Trauma Psikologis
Trauma ini adalah akibat dari suatu peristiwa atau pengalaman yang luar biasa, yang terjadi secara spontan (mendadak) pada diri individu tanpa berkemampuan untuk mengontrolnya (loss control and loss helpness) dan merusak fungsi ketahanan mental individu secara umum. Ekses dari jenis trauma ini dapat menyerang individu secara menyeluruh (fisik dan psikis).
2. Trauma Neurosis
Trauma ini merupakan suatu gangguan yang terjadi pada saraf pusat (otak) individu, akibat benturan-benturan benda keras atau pemukulan di kepala. Implikasinya, kondisi otak individu mengalami pendarahan, iritasi, dan sebagainya. Penderita trauma ini biasanya saat terjadi tidak sadarkan diri, hilang kesadaran, dan sebagainya, yang sifatnya sementara.
3. Trauma Psychosis
Trauma psikosis merupakan suatu gangguan yang bersumber dari kondisi atau problema fisik individu, seperti cacat tubuh, amputasi salah satu anggota tubuh, dan sebagainya, yang menimbulkan shock dan gangguan emosi. Pada saat-saat tertentu gangguan kejiwaan ini biasanya terjadi akibat bayang-bayang pikiran terhadap pengalaman/ peristiwa yang pernah dialaminya, yang memicu timbulnya histeris atau fobia.
4. Trauma Diseases
Gangguan kejiwaan jenis ini oleh para ahli ilmu jiwa dan medis dianggap sebagai suatu penyakit yang bersumber dari stimulus-stimulus luar yang dialami individu secara spontan atau berulang-ulang, seperti keracunan, terjadi pemukulan, teror, ancaman, dsb.
Sementara itu, Nasution (dalam http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/ 01/30/trauma-psikis-dan-bentuk-gejalanya/) menerangkan bahwa kondisi trauma (traumatic) yang dialami orang (anak, remaja dan dewasa), juga mempunyai sifatnya masing-masing sesuai dengan pengalaman, peristiwa atau kejadian yang menyebabkan rasa trauma, yaitu ada trauma yang bersifat ringan, sedang/menengah dan trauma berat. Kondisi trauma yang ringan, biasanya perkembangannya tidak berlarut-larut, mudah diatasi dan hanya dalam batas waktu tertentu saja serta penanganannya tidak membutuhkan waktu lama, demikian pula halnya dengan kondisi trauma yang bersifat sedang atau menengah. Namun, jika keadaan trauma yang dialami individu bersifat berat, ini biasanya agak sulit ditangani dan membutuhkan waktu yang lama dalam penyembuhan. Adapun konseling yang akan diterapkan dalam kasus ini adalah harus dilakukan secara kontinyu, penuh kesabaran, penuh keikhlasan dan betul-betul ada kesadaran dari para profesional (orang-orang yang terlatih) untuk menanganinya secara baik.
C. Gejala/Ciri-ciri Trauma
Wikansusanti (dalam http://wikansusanti.blogspot.com/2011/03/trauma-psikologis .html) menyebutkan bahwa gejala trauma dibagi menjadi empat kategori. Seseorang yang mendapat pengalaman traumatis akan memperlihatkan beberapa gejala dan kombinasinya. Gejala-gejala yaitu:
1. Memutar kembali peristiwa traumatis seperti. Seseorang yang mengalami trauma sering merasa peristiwanya terulang kembali. Hal ini biasanya disebut flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa. Orang ini mungkin mempunyai gambaran mental di kepalanya tentang trauma, mengalami mimpi buruk, atau bahkan mungkin mengalami halusinasi tentang trauma. Gejala ini sering menyebabkan seseorang kehilangan ”saat sekarang” dan bereaksi seolah-olah mereka mengalaminya seperti awal trauma terjadi. Contoh, beberapa tahun kemudian seorang anak akibat penganiayaan mungkin akan bersembunyi gemetaran di closet bila merasa ketakutan, meskipun ketakutan itu tidak berhubungan dengan penganiayaan.
2. Penghindaran. Seseorang yang mengalami trauma berusaha untuk menghindari segala sesuatu yang mengingatkan mereka kembali pada kejadian traumatis. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan, termasuk juga bersikap dingin untuk menghindari rasa sakit, perasaan yang berlebihan. Membekukan pikiran dan perasaan akibat trauma disebut juga ”disasociation” dan merupakan karakteristik trauma.
3. Pelampiasan. Seseorang yang menderita trauma kadang mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok untuk menghindari ingatan-ingatan dan perasaan yang berhubungan dengan trauma. Dengan mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok memang mereka dapat merasa tenang, tetapi hal itu sifatnya hanya sementara.
4. Pemicu. Gejala-gejala pemicu psikologis dan fisiologis sangat berbeda-beda pada orang-orang dengan trauma. Mereka mungkin sangat cemas, mudah gelisah, mudah tersinggung atau marah, dan mungkin mengalami sulit tidur seperti insomnia, atau mimpi buruk. Mereka akan terlihat terus menerus waspada dan mengalami kesulitan konsentrasi. Sering orang dengan trauma akan mengalami panic attack yang dibarengi dengan nafas yang pendek dan sakit di bagian dada.
5. Perasaan bersalah. Sering seseorang merasa bersalah tentang apa yang telah terjadi dan mereka salah meyakini bahwa mereka pantas untuk disalahkan atau pantas mendapatkan hukuman.
6. Reexperiencing. Perderita seperti mengalami kembali kejadian traumatis yang pernah dialami. Biasanya kondisi ini akan muncul ketika penderita sedang melamun atau melihat suasana yang mirip dengan pengalaman traumatisnya. Penderita dapat berperilaku mengejutkan, tiba-tiba berteriak, menangis, atau berlari ketakutan. Fenomena lain juga dapat muncul seperti takut untuk tidur, karena begitu ia tidur peristiwa traumatis muncul kembali. Misalnya, peristiwa diperkosa atau pembunuhan yang berlangsung didepan mata.
7. Hyperarousal. Suatu keadaan waspada berlebihan, seperti mudah kaget, tegang, curiga menghadapi gejala sesuatu, benda yang jatuh dia anggap seperti jatuhnya sebuah bom, dan tidur sering terbangun-bangun.
Solehuddin Nasution juga menambahkan (dalam http://kesehatan.kompasiana.com/ medis/2010/01/30/trauma-psikis-dan-bentuk-gejalanya/), bentuk–bentuk gejala seseorang yang mengalami trauma psikis diantaranya sebagai berikut:
1. Mengalami kejadian yang buruk dan mengerikan.
2. Sulit tidur dan mudah terbangun.
3. Mimpi buruk terhadap hal kejadian yang mengerikan.
4. Seperti mengalami kembali peristiwa buruk dan mengerikan.
5. Menghindari tempat, orang, situasi dan hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa buruk dan mengerikan.
6. Mudah Terkejut.
7. Mudah tersinggung dan marah.
8. Sering teringat pengalaman atau kejadian buruk dan mengerikan.
9. Tidak merasakan emosi apapun.
10. Merasa tidak bersemangat dan tidak mempunyai masa depan.
D. Faktor penyebab Trauma
Penyebab dari trauma menurut Safwan (dalam http://safwankita.wordpress.com/ 2010/10/31/trauma-deteksi-dini-penanganan-awal-di-realitas-sosial/) meliputi 2 faktor yaitu:
1. Faktor internal (psikologis)
Bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental. Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor kausatif sekunder lainnya.
Secara sederhana, Trauma dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akiba ketidak mampuan seseorang mengatasi persoalan hidup yang harus dijalaninya, sehingga yang bersangkuan bertingkah secara kurang wajar.
2. Faktor eksternal
Trauma psikologis bisa disertai trauma fisik atau bisa berdiri sendiri. Tipikal penyebab trauma psikologis adalah pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, ancaman, atau menyaksikan peristiwa traumatis, khususnya pada masa kecil. Kejadian bencana seperti gempa bumi dan gunung meletus, perang atau kekerasan masal dapat juga menyebabkan trauma psikologis. Pengalaman jangka panjang pada situasi-situasi seperti kekerasan tingkat menengah seperti kekerasan verbal, dapat juga menyebabkan trauma. Secara umum, kondisi trauma yang dialami individu (anak) disebabkan oleh berbagai situasi dan kondisi, di antaranya:
a. Peristiwa atau kejadian alamiah (bencana alam), seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin topan, dan sebagainya.
b. Pengalaman dikehidupan sosial ini (psiko-sosial), seperti pola asuh yang salah, ketidak adilan, penyiksaan (secara fisik atau psikis), teror, kekerasan, perang, dan sebagainya.
c. Pengalaman langsung atau tidak langsung, seperti melihat sendiri, mengalami sendiri (langsung) dan pengalaman orang lain (tidak langsung), dan sebagainya.
Alim (dalam http://www.psikologizone.com/trauma-cara-mengatasi-dan-menghilangkan/06511180) menyebutkan secara terperinci, contoh berbagai macam peristiwa yang bisa memicu timbulnya trauma pada seseorang adalaha sebagai berikut:
a. Menyaksikan sebuah peristiwa kekerasan atau mengerikan, atau berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
b. Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim.
c. Perkosaan atau pelecehan seksual.
d. Serangan tiba-tiba atau pembajakan.
e. Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
f. Kecelakaan mobil atau kebakaran.
g. Bencana alam, seperti gempa bumi.
h. Kejadian kecelakaan besar, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris.
i. Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaan industri.
j. Veteran perang atau korban perang sipil.
k. Kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau orang yang dicintai.
l. Orang yang ditinggal atau dihianati oleh orang dekat.
E. Upaya penanganan Trauma
Safwan mengemukakan (dalam http://safwankita.wordpress.com/2010/10/31/ trauma-deteksi-dini-penanganan-awal-di-realitas-sosial/) berbagai model psikoterapi telah dikembangakan untuk mengatasi PTSD, seperti, terapi rasional emotif behavior, desensitisasi, hipnoterapi, semuanya cukup efektif asal penderita juga mendapatkan dukungan dari masyarakat lingkunganya dan juga orang terdekatnya.
Perlu untuk dibedakan, apakah seseorang sudah mengarah pada PTSD atau masih PTS (post traumatic sympton). Kalaupun masih PTS tidak akan sampai menimbulkan gangguan berat, masih dapat ditangani oleh psikolog yang terlatih. Yang perlu dilakukan adalah jangan sampai PTS menjadi PTSD.
Pada tahap penanganan awal terhadap penderita traumatik, Alim ( dalam http://www.psikologizone.com/trauma-cara-mengatasi-dan-menghilangkan/06511180) menyebutkan ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh konselor, diantaranya:
1. Direct Techniqe Aplication:
a. Pemberian bantuan langsung; chek kesehatan, materi, dan sebagainya.
b. Di sini konselor diharapkan harus terlibat langsung mengadakan penanganan korban trauma.
c. Bagaimana proses penyesuaian diri, interaksi, komunikasi dan sikap konselor akan sangat menentukan berhasil tidaknya pemberian bantuan penyembuhan. Pola kepribadian konselor adalah kunci utama dalam penanganan koran trauma.
d. Dengan teknik langsung ini, metode self help group akan menjadi efektif, kohesif dan kreatif.
2. FGD Techniqe Aplication:
a. Terapi model ini akan menghasilkan suasana kebersamaan, satu rasa dan satu tujuan kelompok.
b. Akan terbentuk persepsi diri dan persepsi sosial secara baik bagi penderita trauma.
c. Akan terbentuk konsep diri secara baik bagi penderita trauma.
d. Dengan teknik ini akan memungkinkan dilakukan usaha kearah pengembangan dan pemberdayaan ketrampilan dalam berbagai bentuk; karya wisata, kegiatan perlombaan, life skill, dan sebagainya.
Merujuk pada model penanganan tersebut, yang lebih para pemberi bantuan terhadap korban trauma mampu menjabarkan empati secara proporsional dan profesional, sehingga penanganan yang dilakukan dapat memberi hasil maksimal.
Sedangkan menurut budi astuti dalam (dalam http://wikansusanti.blogspot.com /2011/03/trauma-psikologis.html), beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk menangani masalah trauma, meliputi:
1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Intervensi juga mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera mungkin berperilaku yang positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang permasalahan yang dihadapi. Mencegah suatu kehancuran (keterpurukan hidup), yaitu mencegah kehancuran dan berupaya memulihkan melalui sasaran-sasaran jangka pendek dan terbatas.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Sebaiknya tidak memberikan harapan palsu dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan masalahnya agar kembali seimbang.
4. Memberikan dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dan sebagainya.
5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn konseli kepada konselor.
8. Rekonstruksi psikologis melalui bantuan untuk mengatasi masa lalu.
9. Rekonstruksi sosial melalui pemulihan hubungan.
F. Daftar pustaka
1. Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Raths, dan Beverly Greene. 2009. Psikologi Abnormal jilid I. Jakarta: Erlangga
2. Ilma. 2011. Askep Trauma Psikologi pada Anak. On line at http://ilmawidiya.blogspot .com/2011/07/askep-trauma-psikologi-pada-anak.html [accessed at 20/12/2011]
3. Kumpulanistilahcom. 2010. Pengertian Trauma. On line at http://id.shvoong.com/ medicine-and-health/epidemiology-public-health/2031323-pengertian-trauma/#ixzz1h1kkdXpg [accessed at 20/12/2011]
4. Supriyatno. 2010. Trauma Psikologis. On line at http://www.facebook.com/topic. php?uid=67956676724&topic=9668 [accessed at 20/12/2011]
5. Nasution, Solehuddin. 2010. Trauma Psikis dan Bentuk Gejalanya. On line at http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/01/30/trauma-psikis-dan-bentuk-gejalanya/ [accessed at 20/12/2011]
6. Alim, Muhammad Baitul. 2009. Trauma: Cara Mengatasi dan Menghilangkan. On line at http://www.psikologizone.com/trauma-cara-mengatasi-dan-menghilangkan /06511180 [accessed at 20/12/2011]
7. Safwan. 2010. Trauma: Deteksi Dini Penanganan Awal di Realitas Sosial. On line at http://safwankita.wordpress.com/2010/10/31/trauma-deteksi-dini-penanganan-awal-di-realitas-sosial/ [accessed at 20/12/2011]
8. No name. No year. Hipnoterapi Mengobati Trauma. On line at http://www. hipnoterapi.asia/trauma.htm [accessed at 20/12/2011]
9. Wikansusanti. 2011. Trauma Psikologis. On line at http://wikansusanti.blogspot. com/2011/03/trauma-psikologis.html [accessed at 20/12/2011]
BAB IV
DATA KASUS
Data kasus adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kasus pribadi yang dialami oleh konseli. Calon konselor berusaha mengumpulkan data dari berbagai sumber dan dari berbagai pihak yang diduga ada relevansinya dengan masalah yang dihadapi oleh konseli. Calon konselor ingin memperoleh data selengkap mungkin, apakah ini berupa data objektif maupun subjektif dan berbagai sumber. Data objektif yang diperoleh dari berbagai sumber di antaranya:
A. Wawancara
1. Wawancara dengan Fida
Usia Fida saat ini adalah 18 tahun, ia sudah lulus SMA, namun ia memilih untuk tidak melanjutkan keperguruan tinggi, melainkan ingin langsung meneruskan usaha keluarga saja. Ia adalah anak ke 4 dari 7 bersaudara. Dia mempunyai dua kakak laki-laki, satu kakak perempuan, satu adik perempuan, dan satu adik laki-laki, Fida mengaku sangat menyayangi semua saudara-saudaranya.
Orang tua Fida bercerai ketika Fida masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya sudah menikah lagi namun ayahnya tidak menikah lagi. Hubungan Fida dengan ayah dan ibunya terbilang cukup baik. Fida sempat syok dengan perceraian orang tuanya, namun sekarang ia sudah bisa menerima perceraian orang tuanya tersebut. Sekarang Fida tinggal dengan sang ibu, karena ia lebih dekat dengan sang ibu namun bukan berarti ia tidak pernah mengunjungi ayahnya. Fida mengatakan bahwa ia setiap harinya sering bolak-balik kerumah ibu dan rumah ayah. Ketika berada di rumah sang ayah, terkadang Fida agak sebel juga bila sedang di omeli sang ayah. Menurutnya lebih enak dengan sang ibu, karena sang ibu belum pernah mengomelinya juga Fida begitu diperhatikan dan disayang penuh oleh ibunya. Ibu dan ayah Fida mempunyai pekerjaan yang sama, yaitu sebagai penjual pestisida dan obat-obatan untuk tanaman. Meskipun jenis pekerjaannya sama, namun mereka bekerja di tempat yang berbeda. Fida mengaku ia sering membantu ibunya menjaga toko untuk mengisi waktu luang dan untuk belajar bekerja.
Sehubungan dengan masalah yang sedang dialami oleh Fida, yaitu trauma berpacaran, ia mengaku hal ini bermula ketika ia duduk di bangku kelas satu SMA. Pada waktu itu ia sedang masih dalam masa tertarik dengan lawan jenis. Ia begit senang ketika akhirnya ia berpacaran dengan laki-laki yang dari dulu ia memendam sayang kepadanya. Beberapa bulan setelah mereka berpacaran tiba-tiba tanpa alasan dan yang jelas, pacarnya memutuskannya secara sepihak. Meskipun ditanya berkali-kali oleh Fida, pacarnya tersebut terlihat sinis dan malah marah-marah, serta selalu menghindar dari Fida. Kejadian tersebut telah membuat hatinya hancur, sakit, kecewa, dan sangat sedih. Ketika benar-benar tulus menyayangi pacarnya tersebut dengan sepenuh hati, tiba-tiba dikhiatani.
Fida juga mengaku setelah kejadian diputus pacarnya tersebut, Fida pernah mengurung diri dikamar selama beberapa hari. hal itu benar-benar membuat dirinya syock. Ia tidak rela ditinggalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Ia juga masih sayang dengan pacarnya tersebut.ia tidak bisa menerima perlakuan yang semacam itu. Di rumah maupun lingkungan sekitar, sebenarnya banyak laki-laki yang menaruh perhatian padanya dan mencoba mendekatinya. Namun, Fida merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Fida selalu teringat dengan kisah masa lalunya apabila ada laki-laki yang mencoba mendekatinya dan mengajak untuk berpacaran. Ketika didekati oleh laki-laki, Fida selalu merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan. Ia mengaku tidak takut pada laki-laki pada umumnya, namun ketika ada laki-laki yang ada indikasi ingin menjalin hubungan dengan Fida.
Terkadang, saat ia sedang sendirian di rumah atau pada malam hari ketika ia tidak bisa tidur, ia mulai menangis dan ketakutan. Ketika hal tersebut terjadi ia selalu mengurung diri di bawah selimut, hal itu dilakukannya karena ia berpikir dengan mengurung dibawah selimut dirinya menjadi lebih tenang dan merasa aman. Fida juga kerap kali teringat kejadian di masa lalunya ketika diputus secara sepihak oleh mantan pacarnya. ketika mengingat kembali kejadian tersebut, ia juga bisa merasakan sakit, dan sedihnya kejadian pada saat itu. Selain teringat kembali, ia juga kadang merasa seakan-akan kejadian tersebut terjadi kembali di alam pikirannya.
Ketika Fida sudah benar-benar yakin akan cinta kasih tulusnya kepada mantan pacarnya, namun tiba-tiba ia diputus, hal tersebut menambahkan luka hati tersendiri dalam hati Fida. Ia tidak ingin kejadian yang menyakitkan dan menyedihkan itu terulang lagi pada dirinya. Oleh karenanya ia takut untuk menjalani sebuah hubungan dengan laki-laki lagi. Ia merasa kejadian yang sama pasti akan terulang lagi bila ia berpacaran lagi. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan lagi mau berpacaran.
Sebenarnya pada lubuk hati Fida yang paling dalam, ia juga ingin sembuh dari traumanya. Kadang ia merasa iri dengan teman-temannya yang sudah memiliki pasangan masing-masing, bahkan ada juga yang sudah menikah. Namun ketika teringat kejadian sewaktu SMA, ia kembali meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tak mau mengalami sakit hati seperti waktu itu. Sakit yang dulu sudah cukup membuat dirinya tidak ingin jatuh cinta untuk yang kedua kali. Fida juga berharap bahwa ia tidak merasakan takut dan menangis lagi ketika malam hari, tidak lagi teringat dengan kisah masa lalu, tidak lagi terbayang-bayang oleh rekaman kejadian masa lalu, dan merasa lebih rileks dan nyaman dalam menjalani kesehariannya.
2. Teman tetangga di rumah
Menurut teman tetangga yang ada di sekitar rumah Fida, Fida anaknya selalu riang ceria, dan gampang diajak berteman. Ia juga sering ngobrol dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Menurutnya, karena Fida orangnya gampang bergaul, temannya banyak. Sering juga terlihat teman-temannya beramai-ramai datang ke rumahnya Fida. Banyak juga laki-laki yang tertarik kepadanya.
Berdasarkan cerita teman tetangga Fida ini, ia tahu bahwa Fida mempunyai masalah dengan enggan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Hal ini terjadi semenjak waktu Fida masih di kelas satu SMA, karena kebetulan Fida dan teman tetangganya ini bersekolah di tempat yang sama. Teman tetangga di rumah Fida mengungkapkan bahwa kejadiannya dulu waktu di kelas satu, Fida diputus oleh pacarnya. kabar itu sampai membuat heboh anak satu sekolah, dia juga tidak menyangka bahwa kejadian itu begitu membekas hingga sekarang di hati Fida.
Fida memang sering bercerita ke teman-temannya, termasuk temaan tetangga di rumah bahwa ia bersumpah untuk tidak lagi mau berpacaran. Ia mengaku bahwa ia tidak ingin merasakan perasaan yang begitu menyesakkan seperti waktu dulu lagi.
3. Wawancara dengan kakak Fida
Kakak Fida yang berinisial H ini adalah kakak laki-laki kedua Fida. Ketika ditanya tentang bagaimana pendapatnya mengenai adiknya tersebut, H mengaku bahwa dia sangat menyayangi adiknya itu. Ia juga menyatakan meskipun ayah dan ibu mereka sudah bercerai, tapi H dan saudara-saudaranya tetap saling menyayangi. Meskipun sekarang H dan Fida tidak hidup satu atap, karena H ikut dengan sang ayah, sedangkan Fida ikut dengan sang ibu, namun hubungan mereka tetap harmonis.
H mengatakan Fida anak yang patuh pada orang tua, juga begitu peduli dengan saudara-saudaranya. Ia juga sekarang anaknya sudah lebih feminin dibandingkan dulu ketika Fida duduk di bangku SMP. Waktu di bangku SMP, Fida anaknya tomboi, sikap dan kelakuannya seperti laki-laki. Tetapi semenjak duduk di bangku SMA, menurut H, Fida terlihat berubah dan semakin lebih feminin.
H juga mengetahui tentang masalah adiknya yang tidak mau berpacaran atau tidak mau menjalin hubungan dengan lawan jenis ini. Menurutnya, tidak berpacaran ketika masih bersekolah memang bagus, supaya bisa lebih fokus untuk belajar. Tapi H melihat bahwa trauma Fida ini semakin lama bukannya hilang tapi menjadi semakin kuat. Terkadang Fida terlihat seperti sedang gugup, cemas dan terlalu waspada dalam menyikapi laki-laki yang sedang mendekatinya. Ia mengaku kadang khawatir dengan masa depan adiknya apabila traumanya tidak kunjung sembuh. H berharap bahwa adiknya supaya lekas sembuh dari traumanya.
BAB V
ANALISIS DAN DIAGNOSIS
A. Analisis kasus
Analisis memiliki makna suatu kegiatan menguraikan, menjabarkan, dan menerangkan suatu data permasalahan secara rinci dan lengkap.
1. Analisis konten
Masalah yang dihadapi oleh Fida adalah masalah yang berhubungan dengan pengalaman traumatis ketika berpacaran. Berdasarkan gejala-gejala yang diperlihatkan oleh Fida, yaitu merasa peristiwa masa lalu ketika dirinya ditinggalkan oleh sang pacar terulang kembali, mudah gelisah, sering gugup, sering merasa cemas, memiliki perasaan curiga yang berlebihan terhadap laki-laki yang sedang mencoba mendekatinya, sering teringat pengalaman atau kejadian buruk tentang pengalaman berpacarannya di masa lalu, terlihat sering bersikap waspada, dan terkadang tiba-tiba menangis serta ketakutan, masalah yang dialami oleh Fida adalah masalah yang berhubungan dengan trauma menjalani hubungan dengan lawan jenis/trauma berpacaran.
2. Analisis logis
Selama ini Fida mengeluhkan bahwa ia mengalami trauma berpacaran yang sudah cukup lama, yaitu sejak dirinya duduk di bangku SMA kelas satu. Ketika ditanya lebih dalam tentang masa lalunya, ternyata Fida ketika duduk di bangku SMA pernah ditinggalkan begitu saja oleh pacarnya tanpa alasan yang jelas, padahal Fida sangat menyayangi dan tidak mau kehilangan pacarnya tersebut. Luka hati karena ditinggalkan pacar ternyata berdampak menjadikan Fida mempunyai masalah trauma berpacaran.
Berdasarkan histori keluarga Fida yang orang tuanya telah bercerai ketika Fida masih duduk di sekolah dasar agaknya sedikit banyak telah berperan menguatkan persepsi Fida tentang sakitnya ketika sepasang pasangan berpisah. Apalagi dalam kasus Fida, ia ditinggalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Pengalaman perceraian orang tuanya tersebut bisa jadi memicu Fida untuk sebisa mungkin ia tidak ingin berpisah dengan orang yang disayanginya.
3. Analisis comparative
Berdasarkan pengakuan teman Fida di rumah, Fida mempunyai masalah dengan enggan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis dan bersumpah untuk tidak lagi mau berpacaran. Ia juga mengatakan bahwa Fida tidak merasakan perasaan yang begitu menyesakkan seperti waktu dulu lagi. Sedangkan menurut pengakuan kakak kandugnya Fida, adiknya tidak mau berpacaran atau tidak mau menjalin hubungan dengan lawan jenis. Juga terkadang Fida terlihat seperti sedang gugup, cemas dan terlalu waspada dalam menyikapi laki-laki yang sedang mendekatinya. Fia juga mengungkapkan hal yang kurang lebih sama seperti yang telah diungkapkan teman tetangganya di rumah dan kakaknya sendiri.
Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh teman tetangganya di rumah dan kakak Fida, keduanya cocok dengan pengungkapan yang diungkapkan oleh Fida sendiri. Hal ini berarti apa yang dirasakan dan dilakukan oleh Fida sama persis dengan pandangan dan persepsi orang luar, dalam hal ini adalah teman tetangganya di rumah dan kakaknya sendiri. Semua hal yang diungkapkan tersebut menggambarkan bahwa Fida memiliki masalah yang berkaitan dengan adanya rasa trauma berpacaran.
Perbandingan juga bisa dilihat dari harapan apa saja yang dimiliki oleh Fida serta bagaimana kenyataan yang sesungguhnya ia alami apakah sudah sesuai dengan harapan-harapannya atau belum. Dalam hal ini, pada lubuk hati Fida yang paling dalam, ia ingin sembuh dari traumanya, namun pada kenyataannya ia masih saja terbelenggu pada traumanya tersebut. Fida juga berharap bahwa ia tidak merasakan takut dan menangis lagi ketika malam hari, namun pada kenyataannya ia masih sering mengalami ketakutan dan terkadang tiba-tiba menangis sendiri di malam hari. Selanjutnya ia berharap tidak teringat lagi dengan kisah masa lalu, namun pada kenyataannya ia masih sering teringat dengan kisah masa lalunya. Fida juga berharap bisa bebas dari bayang-bayang rekaman kejadian masa lalu, namun pada kenyataannya ia masih sering terbayang dengan kejadian masa lalunya. Selanjutnya Fida juga menambahkan bahwa ia berharap bisa merasa lebih rileks dan nyaman dalam menjalani kesehariannya, namun pada kenyataannya ia masih sering merasa tegang, gugup, cemas, gelisah, dan curiga berlebihan.
Berdasarkan analisa perbandingan antara harapan dan kenyataan yang dimiliki oleh Fida, semua harapan yang dimiliki oleh Fida masih belum tercapai, karena pada kenyataannya Fida masih terpaku pada masa lalunya yang disisi lain berkebalikan dengan apa yang menjadi harapan-harapannya. Hal ini tidak lepas dari masalah yang dialami oleh Fida, yaitu masalah yang berkaitan dengan adanya rasa trauma berpacaran.
B. Diagnosis
Diagnosis memiliki arti yaitu suatu upaya untuk mengenal, menetapkan atau menentukan sifat, serta hakekat dalam suatu peristiwa melalui pengamatan terhadap gejala.
1. Esensi masalah
Esensi atau pokok dari permasalahan yang dihadapi oleh Fida adalah dalam diri Nia mempunyai trauma berpacaran. Fida tidak ingin lagi mengalami sakit hati ketika menjalani sebuah hubungan dengan lawan jenis. Trauma berpacaran ini sudah dialaminya semenjak duduk di bangku SMA.
2. Latar belakang masalah
Yang melatar belakangi masalah yang ada pada diri Fida, yaitu masalah tentang rasa trauma berpacaran adalah kondisi dalam keluarga Fida dan hubungan sosialnya dengan pacarnya ketika masih di bangku SMA. Perceraian orang tua Fida pada saat ia masih duduk di sekolah dasar menimbulkan dasar persepsi yang kuat terhadap suatu hubungan apalagi hubungan dengan lawan jenis. Yang selanjutnya adalah hubungan sosial dengan lawan jenis, ketika Fida mengalami kegagalan dalam berpacaran, ia merasa sakit, kecewa, dan berbagai macam perasaan menyedihkan yang lainnya. Fida terlalu takut untuk mengalami kejadian buruk yang menimpanya di masa lalu, sehingga ia mengalami trauma dalam menjalani hubungan dengan lawan jenis/trauma berpacaran.
3. Penyebab utama masalah
Penyebab utama yang menyebabkan Fida memiliki masalah dengan rasa trauma berpacaran adalah karena kepercayaannya yang sangat kuat bahwa bila ia menjalin hubungan berpacaran lagi, ia akan mendapat rasa sakit yang sama seperti ketika ia ditinggalkan oleh pacarnya ketika di SMA. Terhadap pemikirannya tersebut, Fida sangat percaya, bahwa bila ia berpacaran lagi, meskipun berpacaran dengan laki-laki yang berbeda, tetapi laki-laki itu pada akhirnya akan memberikan rasa sakit yang sama seperti rasa sakit yang dialaminya dulu. Hal ini menimbulkan persepsi yang kuat pada diri Fida, bahwa pada akhirnya berpacaran akan menimbulkan rasa sakit, sedih, dan kecewa yang luar biasa, sehingga ia mempunyai rasa trauma dalam berpacaran
4. Dinamika psikis konseli
Dinamika psikis konseli terbagi menjadi dua, yaitu dinamika psikis konseli yang bersifat positif dan dinamika psikis konseli yang bersifat negatif.
a. Dinamika psikis konseli yang positif:
• Fida sudah terbuka dan jujur dalam mengungkapkan masalah yang sedang sialaminya.
• Fida memiliki potensi yang cukup memadai untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri.
• Mempunyai keinginan untuk berubah menjadi lebih baik.
• Fida memiliki harapan yang jelas dan wajar.
• Memiliki kepribadian yang mandiri.
b. Dinamika psikis konseli yang negatif:
• Dalam menyikapi masalah yang dialaminya, Fida selalu bersikap negatif, subjektif, dan idealis.
• Fida merasa bahwa masalah yang sedang dialaminya tersebut adalah masalah yang biasa-biasa saja atau masalah yang berat.
• Selalu memandang masalah yang dialaminya dengan emosional.
BAB VI
PROGNOSIS
A. Alternatif pemecahan
Beberap alternatif pemecahan masalah yang berkaitan dengan trauma berpacaran diantaranya:
1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan semangat.
2. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif.
3. Memberikan harapan yang positif.
4. Memberikan dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dan sebagainya.
5. Membantu merencanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membantu bersama-sama melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
7. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
8. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn konseli kepada konselor.
9. Merekonstruksi psikologis konseli melalui bantuan untuk mengatasi masa lalu.
10. Merekonstruksi keadaan sosial konseli melalui pemulihan hubungan.
B. Pendekatan
Untuk membantu penanganan masalah trauma berpacaran ini calon konselor mencoba menawarkan konsep konseling rasional emotif behavior. Pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy adalah pendekatan behavior kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy di kembangkan oleh Albert Ellis melalui beberapa tahapan. pandanagan dasar pendekatan ini tentang manusia adalah bahwa individu memiliki tendensi untuk berpikir irasional yang salah satunya didapat melalui belajar social. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir rasional. pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDE.
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Rasional emotif behavior terapi lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi pada kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti ia menitikbertkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak. Rasional emotif behavior terapi sangat didaktik dan direktif serta lebih banyak berurusan dengan dimensi-dimensi pikiran ketimbang dengan dimensi-dimensi perasaan.
Penggunaan konseling rasional emotif behavior sebagai alternatif pemecahan masalah trauma berpacaran, menurut penulis karena mengingat konseling realitas memiliki konsep-konsep dasar sebagai berikut:
1. Terapi rasional emotif adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
2. Terapi rasional emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
3. Terapi rasional emotif behavior menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
4. Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
5. Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah Menurut Ellis, pilaran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengarulu pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran.
6. Pandangan yang penting dari teori rasional-emotif adalah konsep hahwa banyak perilaku emosional indiuidu yang berpangkal pada “self-talk:” atau “omong diri” atau internatisasi kalimat-kalimat yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang yang seperti itu, menurut Eilis adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas, (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikir secara cerdas tetapi tidak tahu bagaimana herpikir secara jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi, (3) orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan seeara memadai.
Dengan melihat keunggulan konseling rasional emotif behavior tersebut diatas, calon konselor berharap dapat sedikit demi sedikit menghilangkan gangguan traumatik berpacaran pada diri konseli, sehingga konseli dapat mengentaskan masalah yang sedang dihadapinya dan bisa memenuhi harapan-harapan yang dimilikinya.
C. Langkah-langkah
Rasional emotif behavior terapi membantu konseli mengenali dan memahami perasaan, pemikiran, dan tingkah laku yang irasional. Dalam proses ini konseli diajarkan bahwa perasaan, pemikiran, dan tingkah laku tersebut diciptakan dan diverbalisasikan oleh konseli sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, konseli membutuhkan konselor untuk membantu mengatasi permasalahannya. Dalam proses konseling dengan menggunakan pendekatan rasional emotif behavior terdapat beberapa langkah yang dikerjakan oleh konselor, yaitu:
1. Memperlihatkan dan menyadarkan konseli bahwa mereka tidak logis dan irasional.
2. Meyakinkan konseli bahwa perasaan dan pemikiran negatif dapat ditantang dan diubah.
3. Membantu konseli untuk secara terus-menerus mengembangkan pikiran rasional serta mengembangkan filosofi hidup yang rasional.
Secara khusus terdapat beberapa langkah intervensi konseling dengan pendekatan rasional emotif behavior, yaitu:
1. Bekerja sama dengan konseli:
2. Melakukan assesmen terhadap masalah, orang, dan situasi.
3. Mempersiapkan konseli untuk terapi.
4. Mengimplementasikan program penanganan.
5. Mengevaluasi kemajuan.
6. Mempersiapkan konseli untuk mengakhiri konseling.
BAB VII
TREATMENT
A. Tahap-tahap proses konseling
Konseling terhadap Fida dilakukan pada hari Senin tanggal 2 Januari 2012 bertempat di rumah Fida pukul 14.00 sampai dengan selesai. Proses konseling ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan rasional emotif behavior. Tahap-tahap konseling dapat dirinci sebagai berikut:
1. Tahap 1
Pada langkah pertama proses konseling yaitu langkah bekerja sama dengan konseli, pertama-tama yang dilakukan calon konselor adalah membangun hubungan dengan konseli dengan melakukan empati, bersikap penuh kehangatan terhadap konseli, dan memberikan penghargaan kepada konseli dengan pujian dan senyum. Karena pada awal konseling calon konselor sudah mengetahui permasalahan yang dialami oleh konseli, maka calon konselor mulai memperhatikan tentang “secondary disturbances” atau hal yang mengganggu konseli yang mendorong konseli mencari bantuan. Setelah konseli menceritaka sedikit tentang harapannya bahwa ia ingin masalahnya segera terselesaikan dan meminta bantuan kepada calon konselor maka calon konselor memperlihatkan kepada konseli tentang kemungkinan perubahan yang bisa dicapai dan kemampuan calon konselor untuk membantu konseli mencapai tujuan dari konseling yaitu agar masalah konseli terselesaikan.
Langkah proses konseling yang kedua yakni melakukan assesmen terhadap masalah yang dialami konseli, orang di sekitar konseli yang turut berpengaruh terhadap perkembangan masalah yang dialami oleh konseli, dan situasi tempat konseli tinggal. Calon konselor memulai dengan mengidentifikasi pandangan-pandangan tentang apa yang menurut konseli salah. Disini konseli memandang bahwa ditinggalkannya konseli oleh pacarnya tanpa alasan yang jelas adalah sesuatu yang sangat salah. Setelah itu calon konselor juga memperhatikan bagaimana perasaan konseli mengalami masalah yang dialaminya tersebut. Konseli merasa masalah yang dialaminya tersebut sangat berat dan selalu menanggapi masalahnya tersebut secara emosional yang berlebihan, sangat subjektif, dan idealis. Calon konselor juga secara umum menanyakan kepada konseli tentang latar belakang personal dan sosial, kedalaman masalah, hubungan dengan kepribadian individu, dan sebab-sebab non-fisik seperti: kondisi fisik dan lingkungan. Pada langkah ini, calon konselor secara umum mengumpulkan data sebanyak-banyaknya agar memudahkan calon konselor dalam melakukan langkah konseling yang selanjutnya. Pengumpulan data ini juga dilakukan agar proses treatment yang dilakukan sesuai masalah pokok yang dialami oleh konseli.
2. Tahap 2
Pada tahap ini, langkah berikutnya adalah mempersiapkan konseli untuk melakukan terapi. Konseli dibantu untuk yakin bahwa perasaan dan pemikiran negatif tersebut dapat ditantang dan diubah. Pada tahap ini konseli mengeksplorasi ide-ide untuk menentukan tujuan-tujuan rasional. Calon konselor dan konseli secara bersama-sama mengklarifikasi dan melakukan persetujuan tentang tujuan-tujuan konseling yang ingin dicapai oleh konseli. Dalam proses ini, calon konselor secara terus menerus memotivasi diri konseli agar mau untuk berubah. Setelah tujuan konseling ditetapkan, calon konselor dan konseli mendiskusikan tentang pendekatan yang akan dipakai dalam konseling, yaitu pendekatan rasional emotive behavior terapi. Calon konselor memberikan sedikit pengantar mengenai jenis pendekatan ini. Kemudian calon konselor mulai mendebat pikiran irasional konseli dengan menggunakan pertanyaan untuk menantang validitas ide tentang diri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Pada tahap ini calon konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling rasional emotif behavior untuk membantu konseli mengembangkan pemikiran rasional.
Langkah selanjutnya yaitu mengimplementasi program penanganan. Pada langkah ini, calon konselor menerapkan alternatif pemecahan masalah yang telah direncanakan. Calon konselor menganalisis episode spesifik dimana inti masalah tersebut terjadi, menemukan keyakinan-keyakinan yang terlibat dalam masalah, dan mengembangkan homework.Mengembangkan tugas-tugas tingkah laku untuk mengurangi ketakutan dan trauma yang dialami oleh konseli. Disamping itu, pada lnagkah ini calon konselor secara periodik melakukan intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan semangat. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positi terhadap masalah yang dialami oleh konselif. Memberikan dukungan juga perlu mengingat konseli mempunyai harapan untuk berubah dan ingin segera menyelesaikan masalahnya, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dan sebagainya. Calon konselor juag membantu merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan masalah konseli. Agar pribadi konseli mau berubah, membangun harga diri konseli sangat penting, calon konselor melakukannya dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama. Menanamkan rasa percaya diri pada konseli bahwa masalahnya bisa terselesaikan dan trauma yang dialaminya bisa sembuh adalah salah satu upaya yang digunakan, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn konseli kepada konselor. Treatment yang terakhir yang dilakukan adalah dengan merekonstruksi psikologis konseli melalui bantuan untuk mengatasi masa dan merekonstruksi keadaan sosial konseli melalui pemulihan hubungan.
Langkah berikutnya yaitu mengevaluasi kemajuan apa saja yang telah dialami oleh konseli setelah mendapat treatmen dari calon konselor. Pada menjelang akhir intervensi, calon konselor memastikan apakah konseli mencapai perubahan yang signifikan dalam berpikir atau perubahan tersebut disebabkan oleh faktor lain. Evaluasi dilakukan secara bersama-sama oleh calon konselor dan konseli.
Langkah erakhir adalah mempersiapkan konseli untuk mengakhiri konseling. Pada langkah ini calon konselor secara terus-menerus menguatkan kembali hasil yang sudah dicapai. Selain itu mempersiapkan konseli untuk dapat menerima kemungkinan adanya kemunduran dari hasil yang sudah dicapai atau kemungkinan mengalami masalah di kemudian hari. Tahap akhir ini, konseli dibantu untuk secara terus-menerus mengembangkan pikiran rasional serta mengembangkan filosofi hidup yang rasional sehingga konseli tidak terjebak pada masalah yang disebabkan oleh pemikiran irasional.
Setelah semua langkah konseling dilaksanakan, calon konselor dan konseli bersepakat untuk mengakhiri konseling, setelah mengungkapkan perasaan dan hasil perubahan pemikiran yang baru, konseli mengemukakan bahwa ia akan terus berusaha berfikir bahwa tidak semua laki-laki akan melakukan hal yang sama terhadap dirinya ketika berpacaran. Calon konselor menutup konseling dengan memberi dorongan semangat dan berjabat tangan dengan konseli.
BAB VIII
EVALUASI
A. Evaluasi tiap langkah dalam konseling
1. Bekerja sama dengan konseli.
Pada langkah ini, konseli sudah mau bekerja sama dengan calon konselor, hal ini ditunjukkan dengan sikap konseli yang ceria, bersedia mengungkapkan permasalahannya, dan menunjukkan adanya perhatian kepada calon konselor.
2. Melakukan assesmen terhadap masalah, orang, dan situasi.
Pada langkah ini, konseli sudah mau menceritakan akar permasalahan yang dialaminya. Konseli secara terbuka mengungkapkan berbagai macam informasi yang berhubungan dengan masalahnya, diantaranya informasi yang berhubungan dengan masalah konseli, orang-orang disekitar konseli yang menurut konseli turut berpengaruh, dan menceritakan secara mendetai tentang situasi yang dialaminya.
3. Mempersiapkan konseli untuk terapi.
Pada langkah ini, pertama konseli merasa ragu dengan sistem pendekatan yang akan digunakan. Konseli masih saja terpikirkan dengan masalah yang dialaminya dan sulit untuk diajak bekerja sama. Namun dengan dorongan dari calon konselor, akhirnya konseli mau untuk melakukan terapi konseling rasional emotif behavior.
4. Mengimplementasikan program penanganan.
Pada langkah ini, konseli secara serius memperhatikan dan mencoba memahai treatment yang diberikan oleh calon konselor. Meskipun dengan ekspresi yang masih agak takut, konseli sudah mau menyimak penanganan yang diberikan oleh calon konselor.
5. Mengevaluasi kemajuan.
Pada langkah ini, konseli sudah mau untuk mencoba memandang kembali masalahnya dengan sudut pandang yang berbeda. Konseli sudah berusaha untuk melawan rasa trauma yang dialaminya. Konseli juga berjanji akan mencoba berubah dengan sikap yang sederhana terlebih dahulu.
6. Mempersiapkan konseli untuk mengakhiri konseling.
Pada langkah ini, konseli secara positif yakin akan terselesaikan masalahnya apabila ia terus beruasa. Konseli juga tidak langsung putus asa ketika calon konselor mengemukakan tentang adanya kemungkinan akan kemunduran atas hasil yang telah dicapai.
B. Evaluasi tiap pertemuan
1. Pertemuan pertama (tahap 1)
Pada konseling tahap pertama, konseli sudah mau bekerja sama dengan calon konselor, hal ini ditunjukkan dengan sikap konseli yang ceria, bersedia mengungkapkan permasalahannya, dan menunjukkan adanya perhatian kepada calon konselor. Konseli juga sudah mau menceritakan akar permasalahan yang dialaminya. Konseli secara terbuka mengungkapkan berbagai macam informasi yang berhubungan dengan masalahnya, diantaranya informasi yang berhubungan dengan masalah konseli, orang-orang disekitar konseli yang menurut konseli turut berpengaruh, dan menceritakan secara mendetai tentang situasi yang dialaminya.
2. Pertemuan kedua (tahap 2)
Pada konseling tahap kedua, pertama konseli merasa ragu dengan sistem pendekatan yang akan digunakan. Konseli masih saja terpikirkan dengan masalah yang dialaminya dan sulit untuk diajak bekerja sama. Namun dengan dorongan dari calon konselor, akhirnya konseli mau untuk melakukan terapi konseling rasional emotif behavior. Konseli secara serius memperhatikan dan mencoba memahai treatment yang diberikan oleh calon konselor. Meskipun dengan ekspresi yang masih agak takut, konseli sudah mau menyimak penanganan yang diberikan oleh calon konselor. Konseli juga sudah mau untuk mencoba memandang kembali masalahnya dengan sudut pandang yang berbeda. Konseli sudah berusaha untuk melawan rasa trauma yang dialaminya. Konseli juga berjanji akan mencoba berubah dengan sikap yang sederhana terlebih dahulu. Ketika kegiatan konseling akan segera diakhiri, konseli secara positif yakin akan terselesaikan masalahnya apabila ia terus beruasa. Konseli juga tidak langsung putus asa ketika calon konselor mengemukakan tentang adanya kemungkinan akan kemunduran atas hasil yang telah dicapai.
C. Evaluasi secara keseluruhan
Secara keseluruhan, konseli sudah secara sukarela dan terbuka dalam mengungkapkan masalahnya kepada calon konselor. Hal ini merupakan sesuatu hal yang baik, karena dengan sikap konseli yang terbuka dan sukarela, proses konseling akan lebih mudah dilaksanakan. Konseli juga sudah mau berusaha untuk melawan rasa trauma yang dialaminya. Hal ini merupakan sesuatu yang positif bahwa konseli mempunyai keinginan yang kuat untuk memecahkan masalahnya sendiri. Dengan adanya konseling konseli menjadi lebih termotivasi untuk segera lepas dari trauma yang dialaminya tersebut.
BAB IX
TINDAK LANJUT
Tindak lanjut dalam kegiatan konseling adalah proses tindakan yang dilakukan secara bersama-sama antara konselor dan konseli apabila konseli masih membutuhkan bantuan dari konselor sedangkan proses treatment sudah selesai dilaksanakan. Pada penanganan kasus pribadi kali ini, konseli sudah merasa cukup terbantu dengan konseling yang dilaksanakan dalam waktu dua kali pertemuan. Konseli menunjukkan adanya perubahan kemajuan meskipun belum sepenuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa proses konseling yang dilakukan oleh calon konselor menghasilkan adanya kemajuan positif pada diri konseli meskipun belum sepenuhnya. Calon konselor dan konseli memutuskan untuk mengakhiri konseling pada pertemuan kedua dan tidak melakukan tindak lanjut dikarenakan konseli sudah merasa cukup puas dengan hasil yang ia dapatkan pada proses konseling sebelumnya dan tidak ingin melakukan proses konseling lanjutan lagi.
BAB X
PENUTUP
A. Simpulan
Kasus yang ditangani oleh calon konselor adalah kasus pribadi tentang trauma berpacaran. Dalam menangani kasus tersebut, calon konselor pertama melakukan pengumpulan data kasus dengan cara wawancara kepada konseli dan dari sumber lain untuk kelengkapan dan ketepatan data. Setelah dilakukan analisa kasus, diketahui bahwa penebab utama masalah yang dihadapi konseli adalah kejadian dari masa lalunya. Pada tahap prognosis diputuskan bahwa pendekatan konseling yang akan digunakan untuk mentraetment konseli adalah pendekatan rasional emotive behavior. Pada tahap treatment konseling, calon konselor melaksanakan sesuai dengan langkah-langkah yang ada pada pendekatan rasional emotive behavior dan sesuai pula dengan upaya penanganan yang telah direncanakan. Treatment yang dilakukan calon konselor ternyata membuahkan hasil, setelah di evaluasi ternyata konseli sudah ada kemajuan pada cara berfikirnya menjadi lebih rasional.
B. Saran
Berdasarkan proses konseling yang dilaksanakan, maka yang perlu disarankan adalah sebagai berikut:
1. Dalam mengumpulkan data, alangkah lebih baik bila mengumpulkan informasi mengenai konseli bukan Cuma dari satu sumber saja, melainkan dari berbagai sumber agar informasi yang didapat lebih akurat dan lebih lengkap sehingga memudahkan dalam proses penanganan konseling.
2. Sebaiknya mempererat hubungan antara konselor dan konseli, agar konselor mendapat kepercayaan penuh dari konseli terkait penyelesaian masalah yang konseli hadapi.
3. Kerjasama antara konselor dan konseli dalam proses konseli sangat penting dan harus terus ditingkatkan demi tercapainya tujuan yang diinginkan dalam proses konseling.