Minggu, 26 Februari 2012

KEBIJAKAN MUTU PELAYANAN BK

A.    Kebijakan Mutu Pelayanan BK
Dilihat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada  kemandirian dan kreatifitas sekolah. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) merupakan proses pengintegrasian, pengkoordinasian dan pemanfaatan dengan melibatkan secara menyeluruh elemen-elemen yang ada pada sekolah untuk mencapai tujuan (mutu pendidikan) yang diharapkan secara efisien.
Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional dan melibatkan berbagai pihak yang terkait di sekolah (stakeholders) agar dapat mencapai peningkatan mutu pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.


B.    Pelaksanaan Kebijakan Mutu Pelayanan BK
Penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang :
1.    Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju  desentralistik-profesional. Sentralistik-birokratik yaitu konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan inovatif. Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesional, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.
Desentralistik-profesional sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional. Konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional. Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.
Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
1.    Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling.
2.    Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP.
Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan.
2.    Akuntabilitas Kerja Konselor
Pada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas konselor. Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.
Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.
Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima berbagai complain dari masyarakat. Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik.
3.    Konselor Sebagai Agen Informasi
Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno.
Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team work tersebut.
C.    Tantangan Profesionalisme Konselor di era Globalisasi
Era globalisasi merupakan masa dimana batas-batas antar wilayah sudah menjadi samar. Jarak dan waktu sangat mudah menembus wilayah satu dengan wilayah lainnya dalam hitungan detik, kecepatan yang luar biasa. Dengan tekhnologi masa kini, dunia semakin mengglobal, dimana perubahan arus informasi semakin cepat. Globalisasi telah mengubah cara pandang, gaya hidup, interaksi, perilaku, nilai-nilai yang terkandung dalam tatanan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Konseling merupakan sebuah praktik yang berkembang sebagai repons terhadap kondisi social dan sebagai hasil dari kreatifitas praktisinya. Konseling terus dibentuk dan direkonstruksi untuk merefleksikan kebutuhan dan kondisi kelompok orang-orang yang berbeda dalam masyarakat yang kompleks, tidak teratur dan mudah berubah. Konseling hadir untuk menjawab berbagai persoalan dalam dunia yang semakin mengglobal ini.
Di Indonesia, perkembangan dunia konseling cukup manarik untuk disimak. Melalui sejarah dan perjuangan yang panjang, maka terbentuklah Asosiasi Profesi Konseling Indonesia yang selanjutnya disingkat dengan ABKIN. Organisai inilah yang setidaknya berusaha secara profesional menggerakkan kegiatan konseling di Indonesia. Cita-cita luhurnya adalah terwujudnya para konselor profesional yang dapat berperan dalam membantu masayarakat dan negara. Namun eksitensi konselor profesional mendapatkan berbagai tantangan harus terus dihadapi.
Ada dua sisi tinjau yang harus dihadapi yakni tantangan dari dalam konseling/ABKIN dan dari luar yaitu:
1.    Tantangan Internal
Konsep dasar yang harus ditegakkan adalah bagaimana eksistensi profesi konselor ditengan masyarakat modern Indonesia ini semakin diakui. Tanpa pengakuan masyarakat perkembangan konseling tentu akan angat lambat dan berat. Salah satu bagian yang krusial adalah bagaimana menciptakan konselor profesioanal melalui pendidikan konselor yang handal. Pendidikan profesi ini berarti sebuah usaha untuk memenuhi kompetensi dasar sebagai konselor profesional. Kompetensi diartikan sebagai sesuatu yang harus ada dan dimiliki serta melekat pada jiwa konselor.
Kompetensi konselor menyangkut kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi akademik konselor yakni S1 bidang konseling atau S2 konseling dan melanjutkan pendidikan profesi 1 tahun. Sedang kompetensi profesional konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan kompetensi akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai dalam kontek otentik di sekolah. Hal ini terentang dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan ketrampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing, latihan terstruktur dan latihan mandiri serta program pemagangan dan kesemuanya itu dibawah pengawasan dosen pembimbing dan konselor pamong.
Pekerjaan besar tantangan internal adalah bagaimana AKBIN membangun etika profesi konselor yang didalamnya menyangkut pengembangan isi dan prosedur dalam penanaman etika profesi agar dimiliki oleh konselor. Pekerjaan besar dalam membangun etika profesi konselor menjadi bagian penting untuk membangun ekistensi konselor agar diakui dan dibutuhkan oleh masyarakat.
2.    Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal merupakan tantangan yang berasal dari luar lingkungan pendidikan bimbingan dan kenseling yang petanya sangat rumit dan kompleks. Berkaitan dengan eksistensi konselor ada tantangan yang luar biasa dari bidang lain misalnya psikologi, kesadaran masyarakat akan kebutuhan konselor, lingkungan sekolah sebagai setting bidang garap yang lebih mempercayai psikolog, perubahan perilaku dan nilai-nilai dan perkembangan teknologi dunia yang semakin cepat, memaksa pendidikan konselor harus tetap bisa bertarung dan eksis dalam menyikapi berbagai situasi ini serta landasan hukum/kebijakan yang terkait dengan eksistensi konselor dengan segala atributnya.
Salah satu fenomena yang sekarang muncul adalah masyarakat yang lebih memilih menggunakan teknologi sebagai alat bersosialisasi. Termasuk didalamnya adalah para remaja usia sekolah yang ada diperkotaan. Dari bertukar informasi, mencari teman, melakukan transaksi hingga mengekpresikan permasalahan kehidupan pribadinya sebagai bentuk meminta bantuan untuk memecahkan masalahnya. Secara tidak langsung peristiwa ini merupakan peristiwa konseling. Oleh karenanya, konseling sangat mungkin bergeser dan menyentuh wilayah ini. Tugas konseling adalah membuat konsep konseling melalui media ini.
Contoh lain adalah adanya persinggungan wilayah bidang garap antara konselor dan psikolog dalam setting pendidikan. Kenyataannya terdapat masyarakat dan dunia pendidikan kita lebih memilih psikolog dibanding konselor. Pergeseran kepercayaan ini sebenarnya tidak lepas dari kualitas konselor sekolah yang rendah. Sisi lain adalah psikolog dapat masuk dalam setting pendidikan melalui bidang pengembangan potensi, pengetesan IQ, melakukan jasa psikologi. Ini membuktikan ada persinggungan bidang garap yang kuat antara konselor dan psikolog. Oleh karenanya penting sekali mempertegas bidang garap ini secara yuridis formal/kebijakan.
Jadi, secara garis besar ada dua masalah, pertama menyangkut aspek ineternal yakni sistem pendidikan profesi konselor, kompetensi konselor, etika profesi konselor dan sebagainya. Kedua menyangkut eksistensi ABKIN dan konselor dalam masyarakat, persaingan, menanggapi dunia yang bergerak dan berubah dengan cepat, hingga legalitas dan kebijakan yang memperkuat posisi ABKIN dan konselor di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://materikuliah-pai.blogspot.com/2011/03/bk-manajemen-pelayanan-bimbingan-dan.html
http://lembahgurah.multiply.com/favicon.ico
http://jyuwono.blogspot.com/favicon.ico
http://s2.wp.com/i/favicon.ico?m=1311976025g

Littlre snake pin