BAB II
“RATIONAL EMOTIVE THERAPY”
A. Konsep Pokok
Ellis1 memandang bahwa manusia itu bersifat rasional dan juga irasional. Orang berperilaku dalam cara-cara tertentu karena ia percaya bahwa ia harus bertindak dalam cara itu. Orang mempunyai derajat yang tinggi dalam sugestibilitas dan emosionalitas yang negatif---seperti kecemasan, rasa berdosa, permusuhan, dsb. Masalah-masalah emosional terletak dalam berpikir yang tidak logis. Dengan mengoptimalkan kekuatan intelektualnya, seseorang dapat membebaskan dirinya dari gangguan emosional. Para penganut teori RET percaya bahwa tidak ada orang yang disalahkan dalam segala sesuatu yang dilakukannya, tetapi setiap orang bertanggungjawab akan semua perilakunya2.
Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah: pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpangtindih---dalam prakteknya kedua hal itu saling berkaitan. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi orang tersebut, dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengaruhi pikiran.
1 Ellis. Albert Ellis, merupakan tokoh teori RET ini. Pada mulanya Ellis mendapat pendidikan dalam psikoanalisa, akan tetapi dalam pengalaman prakteknya ia merasa kurang meyakini psikoanalisa yang dianggap ortodoks. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam teori belajar behavioral, ia mengembangkan suatu pendekatan sendiri yang kemudian disebut rasional-emotif terapi. 2 Kami memaknai kalimat tersebut sebagai „simbiosis tersembunyi‟. Artinya bahwa segala sesuatu (peristiwa---buruk sekalipun) pasti ada suatu „penguntungan‟ bagi yang mengalaminya. Hanya saja „penguntungan‟ tersebut tidak bisa didapat begitu saja kecuali jika kita menggunakan pikiran (akal)---intelektualitas---kita untuk mengungkapnya. Berpijak dari inilah kalimat “…tetapi setiap orang bertanggungjawab akan semua perilakunya.” pada alinea tersebut mempunyai makna mendalam: bahwa, ketika „penguntungan‟ itu kita dapatkan dari hasil „membina pikiran‟ untuk menyibaknya, maka emosi kita terhadap peristiwa (buruk) yang kita alami tidak akan mengalami gangguan apapun---adanya kesempatan berpikir rasional dan logis terhadap kenyataan.
Pandangan yang penting dari teori ini adalah konsep bahwa banyak perilaku emosional individu yang berpangkal pada “selftalk” atau “omong diri” atau internalisasi kalimat-kalimat---yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang seperti itu adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas; (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikr secara cerdas dan jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi; (3) orangnya cerdas dan cukup bepengatahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan secara memadai.
B. Proses Konseling
Tugas konselor adalah membantu individu yang tidak bahagia dan menghadapi hambatan, untuk menunjukkan bahwa: (a) kesulitannya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak logis; dan (b) usaha memperbaikinya adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan. Konselor yang efektif akan membantu klien untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak logis. Tujuan utama terapi rasional-emotif adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi diri mereka merupakan sumber gangguan emosionalnya. Kemudian membantu klien agar memperbaiki cara berpikir, merasa, dan berperilaku, sehingga ia tidak lagi mengalami gangguan emosional di masa yang akan datang.
C. Tujuan Konseling Rasional-Emotif
Berdasarkan pandangan dan asumsi tentang hakekat manusia dan kepribadiannya serta konsep-konsep teoritik dari RET, tujuan utama konseling rasional-emotif adalah sebagai berikut:
1. Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self-actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.
2. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti: rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, dan rasa marah. Sebagai konseling dari cara berfikir keyakinan yang keliru berusaha menghilangkan dengan jalan melatih dan mengajar klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri.
Secara lebih khusus Ellis menyebutkan bahwa dengan terapi rasional-emotif akan tercapai pribadi yang ditandai dengan:
Minat kepada diri sendiri
Minat sosial
Pengarahan diri
Toleransi terhadap pihak lain
Fleksibelitas
Menerima ketidakpastian
Komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya
Berpikir ilmiah
Penerimaan diri
Berani mengambil resiko
Menerima kenyataan
Sebagai suatu bentuk hubungan yang bersifat membantu (helping relationship), terapi rasional-emotif mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Aktif-direktif: bahwa dalam hubungan konseling, terapis/ konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
b. Kognitif-eksperiensial: bahwa hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
c. Emotif-eksperiensial: bahwa hubungan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
d. Behavioristik: bahwa hubungan yang dibentuk harus menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan perilaku dalam diri klien.
e. Kondisional: bahwa hubungan dalam RET dilakukan dengan membuat kondisi-kondisi tertentu terhadap klien melalui berbagai teknik kondisioning untuk mencapai tujuan terapi konseling.
Berikut merupakan gambaran yang harus dilakukan oleh seorang praktisi rasional-emotif yaitu:
a. Mengajak, mendorong klien untuk menanggalkan ide-ide irasional yang mendasari gangguan emosional dan prilaku.
b. Menantang klien dengan berbagai ide yang valid dan rasional.
c. Menunjukan kepada klien azas ilogis dalam berpikirnya.
d. Menggunakan analisis logis untuk mengurangi keyakinan-keyakinan irasional klien.
e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan irasional ini adalah “in-operative” dan bahwa hal ini pasti senantiasa mengarahkan klien pada gangguan-gangguan behavioral dan emosional.
f. Menggunakan absurdity dan humor untuk menantang irasional pemikiran klien.
g. Menjelaskan kepada klien bagaimana ide-ide yang irasional ini dapat ditempatkan kembali atau disubstitusikan kepada ide-ide rasional yang harus secara empirik melatarbelakangi kehidupannya.
h. Mengajar klien bagaimana mengaplikasikan pendekatan-pendekatan ilmiah, objektif dan logis dalam berpikir dan selanjutnya melatih diri klien untuk mengobservasi dan menghayati sendiri bahwa ide-ide irasional dan deduksi-deduksi hanya akan membantu perkembangan perilaku dan perasaan-perasaan yang dapat menghambat perkembangan dirinya.
D. Teknik-Teknik Terapi
Terapi rasional-emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Berikut ini akan dikemukakan beberapa macam teknik yang dipakai dalam rasional-emotif: Teknik-teknik Emotif (afektif):
1) Assertive Training, yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
2) Sosiodrama, yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan, ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis.
3) Self Modeling, yakni teknik yang digunakan untuk meminta klien agar “berjanji” atau mengadakan “komitmen” dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu.
4) Imitasi, yakni teknik yang digunakan di mana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik Dalam banyak hal, konseling rasional-emotif banyak menggunakan teknik terapi behavioral terutama dalam upaya memodifikasi perilaku-perilaku negatif dari klien dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tak rasional dan tak logis. Beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
1) Reinforcement (penguatan), yakni teknik yang digunakan untuk mendorong klien ke arah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment (hukuman).
2) Social Modeling (pemodelan sosial), yakni teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru pada klien.
3) Live Models (model dari kehidupan nyata), yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah. Teknik-teknik Kognitif Teknik-teknik konseling atau terapi berdasarkan pendekatan kognitif memegang peranan utama dalam konseling rasional-emotif. Dengan teknik ini klien didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berpikir dengan cara yang rasional dan logis sehingga klien dapat bertindak atau berperilaku sesuai sistem nilai yg diharapkan baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya. Beberapa teknik kognitif yang cukup dikenal adalah:
1) Home Work Assigments (pemberian tugas rumah). Dalam teknik ini, klien diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Teknik ini sebenarnya dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap bertanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien, serta mengurangi ketergantungan kepada konselor atau terapis.
2) Assertive. Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui; role playing (bermain peran), rehearsal (latihan), dan social modeling (meniru model-model sosial). Maksud utama teknik Assertive Training adalah untuk:
a) Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya;
b) Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain;
c) Mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri; dan
d) Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri.
Dalam mengaplikasi berbagai teknik konseling rasional-emotif, Albert Ellis menganjurkan untuk menggunakan dan menggabungkan beberapa teknik tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi klien. Hanya Ellis menyarankan agar teknik Home Work Assigment perlu digunakan sebagai syarat utama untuk sesuatu terapi atau konseling yang tuntas. Selanjutnya dikatakan oleh Ellis bahwa meskipun pada mulanya terapi rasional-emotif dimaksudkan untuk mendorong individu yang mengalami gangguan, akan tetapi dapat pula digunakan untuk membantu orang dalam mengurangi kecemasan dan permusuhan serta berguna untuk membantu mewujudkan diri individu. Bagi para konselor sekolah, terapi rasional-emotif akan sangat membantu karena pada dasarnya terapi rasional-emotif lebih menggunakan model edukatif daripada model psikodinamik atau model medik. Dengan demikian para konselor sekolah dapat menggunakannya bagi siswa-siswa normal di sekolah.
E. Analisis Teori dalam Penerapannya di Dunia Berkebutuhan Khusus
Jika teori rasional-emotif ini diterapkan pada konseling terhadap anak berkebutuhan khusus, secara eksplisit dapat dikatakan (sangat) sesuai melihat kenyataan bahwa dalam praktek konseling dengan teori rasional-emotif ini lebih cenderung---sifat dasarnya---merupakan proses terapeutik behavioral yang bersifat aktif-direktif serta mementingkan aspek kognitif. Konseling rasional-emotif ini juga merupakan suatu “proses edukatif”, sehingga peranan konselor yang utama ialah mengajar klien mengenai cara-cara memahami dan merubah diri---hal di mana anak berkebutuhan khusus tidak mampu melakukannya secara independen. Dengan berbagai teknik yang ditawarkan dalam teori rasional-emotif ini, mulai dari teknik-teknik emotif, behavioristik, sampai teknik-teknik kognitifnya---di mana hampir pada setiap teknik yang terdapat dalam tiga rumpun sifat tadi adalah bagaimana cara individu yang mengalami gangguan pada aspek emosionalitasnya didorong untuk melakukan pereduksian terhadap gangguan yang dialaminya---maka penerapannya dalam dunia bekebutuhan khusus menjadi lebih sesuai.
Ellis1 memandang bahwa manusia itu bersifat rasional dan juga irasional. Orang berperilaku dalam cara-cara tertentu karena ia percaya bahwa ia harus bertindak dalam cara itu. Orang mempunyai derajat yang tinggi dalam sugestibilitas dan emosionalitas yang negatif---seperti kecemasan, rasa berdosa, permusuhan, dsb. Masalah-masalah emosional terletak dalam berpikir yang tidak logis. Dengan mengoptimalkan kekuatan intelektualnya, seseorang dapat membebaskan dirinya dari gangguan emosional. Para penganut teori RET percaya bahwa tidak ada orang yang disalahkan dalam segala sesuatu yang dilakukannya, tetapi setiap orang bertanggungjawab akan semua perilakunya2.
Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah: pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpangtindih---dalam prakteknya kedua hal itu saling berkaitan. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi orang tersebut, dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengaruhi pikiran.
1 Ellis. Albert Ellis, merupakan tokoh teori RET ini. Pada mulanya Ellis mendapat pendidikan dalam psikoanalisa, akan tetapi dalam pengalaman prakteknya ia merasa kurang meyakini psikoanalisa yang dianggap ortodoks. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam teori belajar behavioral, ia mengembangkan suatu pendekatan sendiri yang kemudian disebut rasional-emotif terapi. 2 Kami memaknai kalimat tersebut sebagai „simbiosis tersembunyi‟. Artinya bahwa segala sesuatu (peristiwa---buruk sekalipun) pasti ada suatu „penguntungan‟ bagi yang mengalaminya. Hanya saja „penguntungan‟ tersebut tidak bisa didapat begitu saja kecuali jika kita menggunakan pikiran (akal)---intelektualitas---kita untuk mengungkapnya. Berpijak dari inilah kalimat “…tetapi setiap orang bertanggungjawab akan semua perilakunya.” pada alinea tersebut mempunyai makna mendalam: bahwa, ketika „penguntungan‟ itu kita dapatkan dari hasil „membina pikiran‟ untuk menyibaknya, maka emosi kita terhadap peristiwa (buruk) yang kita alami tidak akan mengalami gangguan apapun---adanya kesempatan berpikir rasional dan logis terhadap kenyataan.
Pandangan yang penting dari teori ini adalah konsep bahwa banyak perilaku emosional individu yang berpangkal pada “selftalk” atau “omong diri” atau internalisasi kalimat-kalimat---yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang seperti itu adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas; (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikr secara cerdas dan jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi; (3) orangnya cerdas dan cukup bepengatahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan secara memadai.
B. Proses Konseling
Tugas konselor adalah membantu individu yang tidak bahagia dan menghadapi hambatan, untuk menunjukkan bahwa: (a) kesulitannya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak logis; dan (b) usaha memperbaikinya adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan. Konselor yang efektif akan membantu klien untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak logis. Tujuan utama terapi rasional-emotif adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi diri mereka merupakan sumber gangguan emosionalnya. Kemudian membantu klien agar memperbaiki cara berpikir, merasa, dan berperilaku, sehingga ia tidak lagi mengalami gangguan emosional di masa yang akan datang.
C. Tujuan Konseling Rasional-Emotif
Berdasarkan pandangan dan asumsi tentang hakekat manusia dan kepribadiannya serta konsep-konsep teoritik dari RET, tujuan utama konseling rasional-emotif adalah sebagai berikut:
1. Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self-actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.
2. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti: rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, dan rasa marah. Sebagai konseling dari cara berfikir keyakinan yang keliru berusaha menghilangkan dengan jalan melatih dan mengajar klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri.
Secara lebih khusus Ellis menyebutkan bahwa dengan terapi rasional-emotif akan tercapai pribadi yang ditandai dengan:
Minat kepada diri sendiri
Minat sosial
Pengarahan diri
Toleransi terhadap pihak lain
Fleksibelitas
Menerima ketidakpastian
Komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya
Berpikir ilmiah
Penerimaan diri
Berani mengambil resiko
Menerima kenyataan
Sebagai suatu bentuk hubungan yang bersifat membantu (helping relationship), terapi rasional-emotif mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Aktif-direktif: bahwa dalam hubungan konseling, terapis/ konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
b. Kognitif-eksperiensial: bahwa hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
c. Emotif-eksperiensial: bahwa hubungan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
d. Behavioristik: bahwa hubungan yang dibentuk harus menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan perilaku dalam diri klien.
e. Kondisional: bahwa hubungan dalam RET dilakukan dengan membuat kondisi-kondisi tertentu terhadap klien melalui berbagai teknik kondisioning untuk mencapai tujuan terapi konseling.
Berikut merupakan gambaran yang harus dilakukan oleh seorang praktisi rasional-emotif yaitu:
a. Mengajak, mendorong klien untuk menanggalkan ide-ide irasional yang mendasari gangguan emosional dan prilaku.
b. Menantang klien dengan berbagai ide yang valid dan rasional.
c. Menunjukan kepada klien azas ilogis dalam berpikirnya.
d. Menggunakan analisis logis untuk mengurangi keyakinan-keyakinan irasional klien.
e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan irasional ini adalah “in-operative” dan bahwa hal ini pasti senantiasa mengarahkan klien pada gangguan-gangguan behavioral dan emosional.
f. Menggunakan absurdity dan humor untuk menantang irasional pemikiran klien.
g. Menjelaskan kepada klien bagaimana ide-ide yang irasional ini dapat ditempatkan kembali atau disubstitusikan kepada ide-ide rasional yang harus secara empirik melatarbelakangi kehidupannya.
h. Mengajar klien bagaimana mengaplikasikan pendekatan-pendekatan ilmiah, objektif dan logis dalam berpikir dan selanjutnya melatih diri klien untuk mengobservasi dan menghayati sendiri bahwa ide-ide irasional dan deduksi-deduksi hanya akan membantu perkembangan perilaku dan perasaan-perasaan yang dapat menghambat perkembangan dirinya.
D. Teknik-Teknik Terapi
Terapi rasional-emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Berikut ini akan dikemukakan beberapa macam teknik yang dipakai dalam rasional-emotif: Teknik-teknik Emotif (afektif):
1) Assertive Training, yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
2) Sosiodrama, yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan, ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis.
3) Self Modeling, yakni teknik yang digunakan untuk meminta klien agar “berjanji” atau mengadakan “komitmen” dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu.
4) Imitasi, yakni teknik yang digunakan di mana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik Dalam banyak hal, konseling rasional-emotif banyak menggunakan teknik terapi behavioral terutama dalam upaya memodifikasi perilaku-perilaku negatif dari klien dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tak rasional dan tak logis. Beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
1) Reinforcement (penguatan), yakni teknik yang digunakan untuk mendorong klien ke arah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment (hukuman).
2) Social Modeling (pemodelan sosial), yakni teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru pada klien.
3) Live Models (model dari kehidupan nyata), yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah. Teknik-teknik Kognitif Teknik-teknik konseling atau terapi berdasarkan pendekatan kognitif memegang peranan utama dalam konseling rasional-emotif. Dengan teknik ini klien didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berpikir dengan cara yang rasional dan logis sehingga klien dapat bertindak atau berperilaku sesuai sistem nilai yg diharapkan baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya. Beberapa teknik kognitif yang cukup dikenal adalah:
1) Home Work Assigments (pemberian tugas rumah). Dalam teknik ini, klien diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Teknik ini sebenarnya dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap bertanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien, serta mengurangi ketergantungan kepada konselor atau terapis.
2) Assertive. Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui; role playing (bermain peran), rehearsal (latihan), dan social modeling (meniru model-model sosial). Maksud utama teknik Assertive Training adalah untuk:
a) Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya;
b) Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain;
c) Mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri; dan
d) Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri.
Dalam mengaplikasi berbagai teknik konseling rasional-emotif, Albert Ellis menganjurkan untuk menggunakan dan menggabungkan beberapa teknik tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi klien. Hanya Ellis menyarankan agar teknik Home Work Assigment perlu digunakan sebagai syarat utama untuk sesuatu terapi atau konseling yang tuntas. Selanjutnya dikatakan oleh Ellis bahwa meskipun pada mulanya terapi rasional-emotif dimaksudkan untuk mendorong individu yang mengalami gangguan, akan tetapi dapat pula digunakan untuk membantu orang dalam mengurangi kecemasan dan permusuhan serta berguna untuk membantu mewujudkan diri individu. Bagi para konselor sekolah, terapi rasional-emotif akan sangat membantu karena pada dasarnya terapi rasional-emotif lebih menggunakan model edukatif daripada model psikodinamik atau model medik. Dengan demikian para konselor sekolah dapat menggunakannya bagi siswa-siswa normal di sekolah.
E. Analisis Teori dalam Penerapannya di Dunia Berkebutuhan Khusus
Jika teori rasional-emotif ini diterapkan pada konseling terhadap anak berkebutuhan khusus, secara eksplisit dapat dikatakan (sangat) sesuai melihat kenyataan bahwa dalam praktek konseling dengan teori rasional-emotif ini lebih cenderung---sifat dasarnya---merupakan proses terapeutik behavioral yang bersifat aktif-direktif serta mementingkan aspek kognitif. Konseling rasional-emotif ini juga merupakan suatu “proses edukatif”, sehingga peranan konselor yang utama ialah mengajar klien mengenai cara-cara memahami dan merubah diri---hal di mana anak berkebutuhan khusus tidak mampu melakukannya secara independen. Dengan berbagai teknik yang ditawarkan dalam teori rasional-emotif ini, mulai dari teknik-teknik emotif, behavioristik, sampai teknik-teknik kognitifnya---di mana hampir pada setiap teknik yang terdapat dalam tiga rumpun sifat tadi adalah bagaimana cara individu yang mengalami gangguan pada aspek emosionalitasnya didorong untuk melakukan pereduksian terhadap gangguan yang dialaminya---maka penerapannya dalam dunia bekebutuhan khusus menjadi lebih sesuai.
BAB III P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari pemaparan-pemaparan mengenai konseling dengan menggunakan teori Rational Emotive Therapy pada bab di depan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konseling dengan menggunakan teori tersebut ditujukan untuk mereka yang mengalami gangguan pada aspek emosionalitasnya. Di dalam prosesnya, diajarkan bagaimana individu yang bersangkutan harus mereduksi pelbagai efek yang ditimbulkan oleh gangguan-gangguan tersebut. Penerapan teori (terapi) rasional-emotif ini dalam dunia berkebutuhan khusus juga dapat dikatakan begitu sesuai mengingat dalam pelaksanaannya konselor lebih cenderung memberikan “proses edukatif” kepada klien (baca: adanya ketidakmampuan pada anak berkebutuhan khusus dalam mereduksi gangguan---emosionalitasnya---yang dialaminya).
Dari pemaparan-pemaparan mengenai konseling dengan menggunakan teori Rational Emotive Therapy pada bab di depan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konseling dengan menggunakan teori tersebut ditujukan untuk mereka yang mengalami gangguan pada aspek emosionalitasnya. Di dalam prosesnya, diajarkan bagaimana individu yang bersangkutan harus mereduksi pelbagai efek yang ditimbulkan oleh gangguan-gangguan tersebut. Penerapan teori (terapi) rasional-emotif ini dalam dunia berkebutuhan khusus juga dapat dikatakan begitu sesuai mengingat dalam pelaksanaannya konselor lebih cenderung memberikan “proses edukatif” kepada klien (baca: adanya ketidakmampuan pada anak berkebutuhan khusus dalam mereduksi gangguan---emosionalitasnya---yang dialaminya).
B. Rekomendasi
Pada bagian akhir (penutup) ini, penyusun ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya terkait dengan bahasan mengenai teori rasional-emotif dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Tidak lain hal tersebut terjadi karena disebabkan oleh adanya kekurangan-kekurangan kami dalam hal mencari referensi yang memadai berkaitan dengan teori tersebut. Maka dari itu, kepada siapa saja yang ingin melanjutkan menulis tentang teori rasional-emotif ini untuk lebih mencari literatur yang cukup sebagai acuan dalam menyusun makalahnya. Akan sangat bagus jika ada kesempatan untuk langsung terjun ke lapangan---sekedar sharing dengan konselor yang menggunakan teori rasional-emotif tersebut dalam konselingnya terhadap diri seorang individu yang memiliki masalah dalam aspek emosionalitasnya.