Kamis, 19 Mei 2011

HUTAN INDONESIA MENJELANG KEPUNAHAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sudah sangat sering diungkapkan keluhan masyarakat secara Nasional maupun Internasional tentang kebakaran hutan yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan mengganggu kegiatan sehari-hari terutama bidang transportasi baik Darat, Laut, maupun Udara. Agar hal ini tidak terulang lagi sebagaimana terjadi di penghujung tahun   90-an jika musim kemarau selalu saja terjadi kebakaran hutan yang menimbulkan asap tebal. Kondisi udara, awan dan atmosfer yang ditutupi asap seperti pulau Kalimantan dan Sumatera yang cukup luas terkadang menembus ke wilayah tetangga seperti Malaysia, Brunei,dan Singapura. Hutan Indonesia sebagai produsen asap sering mendapat protes tidak hanya dari negeri jiran bahkan dunia Internasional. Sebagai bangsa ber-adab dan berbudaya kita seharusnya menyikapi hal ini dengan serius tidak hanya mengeksplotasi tetapi juga serius mengelola dan memanfaatkan agar hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia dapat lestari.
Masih belum luput dari ingatan kita bersama peristiwa yang terjadi bulan January –2006 yang lalu. Peristiwa itu seolah-olah menjadi awal sejarah yang buruk ketika kita memasuki tahun 2006. Peristiwa itu adalah terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang dua desa di kecamatan Pati-Jember-Jawa Timur. Belum lagi upaya evakuasi dan pertolongan selesai dilaksanakan, bencana baru terjadi lagi. Banjir bandang dan tanah longsor kembali menimpa Gunungrejo-Kecamatan Banjarnegara-Jawa Tengah yang menimbun empat RT dengan jumlah penduduk enam ratus limapuluh lima orang. Kejadian yang mengenaskan itu tidak hanya menimbulkan kerugian material yang diperkirakan milyaran rupiah saja, tetapi nyawa manusiapun ikut melayang. Akibat peristiwa ini, sedikitnya seratus tigapuluh dua orang tewas, puluhan dinyatakan hilang, ratusan rumah penduduk dan fasilitas umum mengalami rusak berat dan puluhan hektar sawah yang merupakan sumber mata pencaharian penduduk tertimbun. Dua peristiwa ini adalah potret dari peristiwa-peristiwa yang lainnya. Salah satu faktor terjadinya bencana ini adalah akibat terjadinya kerusakan hutan.
Di Indonesia kerusakan hutan sudah merupakan suatu permasalahan yang besar, bahkan sudah mencapai ambang mengkhawatirkan. Menurut Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S.Kaban SE.MSi, salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia adalah maraknya penebangan kayu liar (illegal loging). Saat ini diperkirakan kerusakan dan penggundulan hutan akibat penebangan kayu liar (illegal logging) sudah mencapai dua puluh juta hektare. Laporan Green peace menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia adalah kerusakan hutan tertinggi di dunia. Data Forest Watch Indonesia tahun 2003 menjelaskan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia saat ini telah mencapai 2,4 juta hektare pertahun.

B.    RUMUSAN MASALAH
Dari paparan latar belakang tersebut, dapat dijumpai beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.     mengapa hutan kita rusak ?
2.     bagaimana kerusakan hutan bisa terjadi ?
3.     apa saja yang menyebabkan rusaknya hutan kita?
4.     apa saja dampak kerusakan hutan bagi kita dan lingkungan ?
5.     apa yang seharusnya kita lakukan ?
6.     apa saja pula upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk mencegah rusaknya hutan ?
7.     hasil apa yang kita peroleh dari upaya-upaya tersebut ?

C.    TUJUAN
Tujuan disusunnya makalah mengenai  hutan Indonesia menjelang kepunahan adalah agar bisa dijadikan bahan renungan, pemikiran, pengetahuan tambahan, dan memotivasi kita supaya kita bisa memikirkan kembali tentang perilaku kita terhadap alam terutama terhadap hutan yang merupakan paru-paru dunia dan sumber kehidupan kita yang masih murni.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    HUTAN INDONESIA
Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian dianataranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan.  Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997].  Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran.  Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu  tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].
Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.

B.    FAKTOR PENYEBAB RUSAKNYA HUTAN DI INDONESIA
Diantara factor-faktor yang menyebabkan rusaknya hutan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.     Kepentingan Ekonomi
Dalam mengelola hutan kepentingan ekonomi kelihatannya masih lebih dominan daripada memikirkan kepentingan kelestarian ekologi. Akibatnya agenda yang berdimensi jangka panjang yaitu kelestarian ekologi menjadi terabaikan. Proses ini berjalan linear dengan akselerasi perekonomian global dan pasar bebas. Pasar bebas pada umumnya mendorong setiap negara mencari komposisi sumberdaya yang paling optimal dan suatu spesialisasi produk ekspor. Negara yang kapabilitas teknologinya rendah seperti Indonesia cenderung akan membasiskan industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya alam. Hal ini ditambah dengan adanya pemahaman bahwa mengexploitasi sumber daya alam termasuk hutan adalah cara yang paling mudah dan murah untuk mendapatkan devisa ekspor. Industrialisasi di Indonesia yang belum mencapai taraf kematangan juga telah membuat tidak mungkin ditinggalkannya industri padat seperti itu. Kemudian beban hutang luar negeri yang berat juga telah ikut membuat Indonesia terpaksa mengexploitasi sumber daya alamnya dengan berlebihan untuk dapat membayar hutang negara. Inilah yang membuat ekspor non- migas Indonesia masih didominasi dan bertumpu pada produk-produk yang padat seperti hasil-hasil sumber daya alam. Ekspor kayu, bahan tambang dan eksplorasi hasil hutan lainnya terjadi dalam kerangka seperti ini. Ironisnya kegiatan-kegiatan ini sering dilakukan dengan cara yang exploitative dan disertai oleh aktivitas-aktivitas illegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau kecil bahkan masyarakat yang akhirnya memperparah dan mempercepat terjadinya kerusakan hutan.
Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan.
Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka.Dan hal ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada  tahun 1970. Dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing).
Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan.
Di tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa ijin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.
2.     Penegakan Hukum yang Lemah
Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S.Kaban SE.MSi menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah turut memperparah kerusakan hutan Indonesia. Menurut Kaban penegakan hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan. Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah.
3.     Mentalitas Manusia
Manusia sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitative yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya.
C.    DAMPAK RUSAKNYA HUTAN DI INDONESIA
Diantara dampak-dampak yang terjadi akibat kerusakan hutan, diantaranya adalah :
1.     Efek Rumah Kaca (Green house effect)
Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara dll) akan menyebabkan kenaikan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali ke permukaan bumi oleh lapisan Co2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering.
2.     Kerusakan Lapisan Ozon
Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi.
3.     Kepunahan Species
Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada sepuluh tahun terakhir ini.


4.     Merugikan Keuangan Negara
Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia.
5.     Banjir
Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Jawatimur dan Jawa tengah adalah contoh nyata.
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].
6.     perekonomian rakyat
Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat.

D.    UPAYA-UPAYA YANG KITA LAKUKAN UNTUK MEMINIMALISIR RUSAKNYA HUTAN DI INDONESIA
Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih. Dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan akan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta meter kubik setahun.
Pemerintah juga telah membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi industri kehutanan dengan ketersediaan bahan baku dari hutan.
Selain itu, Pemerintah juga telah berkomitmen untuk melakukan pemberantasan illegal logging dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diharapkan di tahun 2008 akan dihutankan kembali areal seluas tiga juta hektar.

E.     HASIL DARI UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN
Sayangnya Pemerintah masih menjalankan itu semua sebagai sebuah ucapan belaka tanpa adanya sebuah realisasi di lapangan. Hingga tahun 2002 masih dilakukan ekspor kayu bulat yang menunjukkan adanya pelanggaran dari kebijakan pemerintah sendiri. Dan pemerintah masih akan memberikan ijin pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman seluas 900-an ribu hektar kepada pengusaha melalui pelelangan. Pemerintah juga belum memiliki perencanaan menyeluruh untuk memperbaiki kerusakan hutan melalui rehabilitasi, namun kegiatan tersebut dipaksakan untuk dilaksanakan, yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya salah sasaran dan kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan.
Hal yang terpenting dan belum dilakukan pemerintah saat ini adalah menutup industri perkayuan Indonesia yang memiliki banyak utang. Pemerintah juga belum menyesuaikan produksi industri dengan kemampuan penyediaan bahan baku kayu bagi industri oleh hutan. Hal ini dapat mengakibatkan kegiatan penebangan hutan tanpa ijin akan terus berlangsung.
Dan dengan hanya menurunkan jatah tebang tahunan, maka kita masih belum bisa membedakan mana kayu yang sah dan yang tidak sah. Bila saja pemerintah untuk sementara waktu menghentikan pemberian jatah tebang, maka dapat dipastikan bahwa semua kayu yang keluar dari hutan adalah kayu yang tidak sah atau illegal, sehingga penegakan hukum bisa dilakukan.

F.     APA YANG SEEHARUSNYA MASYARAKAT INDONESIA LAKUKAN
Seandainya Indonesia mempunyai kemauan untuk mengelola hutannya dengan baik dan jujur serta adil maka Indonesia dengan masyarakatnya akan hidup penuh dengan kemakmuran. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya; kerusakan hutan semakin parah, kemakmuran tidak dapat dinikmati, negara malah merugi dan bencana yang datang silih berganti.
Membaca teori Hegel, menurut penulis peristiwa ini adalah akibat dominasi dan tindakan exploitative yang dilakukan oleh manusia terhadap alam, dalam hal ini secara khusus terhadap hutan. Pengelolaan hutan yang dilaksanakan tidak didasari karena mencintai hutan yang dipadukan dalam semangat kreativitas, tetapi berdasarkan keinginan untuk berkuasa atas hutan dan keinginan untuk menaklukkannya. Perilaku ini tidak terlepas dari pandangan manusia yang mengobjektifikasikan Allah yang dilihat sebagai sesuatu yang besar, berkuasa dan berada di tempat yang terasing. Dia adalah Tuhan yang absen dan tidak dapat ditemukan di alam termasuk dalam hutan. Tuhan tidak ditemukan di hutan, termasuk hutan di Indonesia. Bahkan hutan menjadi seperti “hantu (sumber ketakutan) ” . Hutan dilihat sebagai sesuatu yang tidak mempunyai nilai ilahi, tetapi sebagai objek dan menakutkan. Karena hutan dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan maka yang muncul justru rasa benci yang akhirnya diwujudkan melalui tindakan exploitasi terhadap hutan. Manusia tidak lagi mengasihi hutan termasuk dalam hal pengelolaannya. Tidak bersahabat dan tidak memiliki rasa persaudaraan terhadap hutan. Manusia tidak menyadari bahwa hutan memiliki peran yang dapat mempengaruhi kehidupan di atas bumi. Akhirnya sikap ini menimbulkan ketidakpedulian dan ketidakadilan terhadap hutan. Hutan dikuasai bahkan dijarah dengan cara yang sewenang-wenang untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya demi memenuhi kepentingan dan keinginan manusia sendiri.
Faktor-faktor yang lain turut juga mempengaruhi terjadinya kerusakan hutan di Indonesia. Dominasi kepentingan ekonomi, struktur birokrasi dan aparat pemerintah yang tidak tegas dalam penegakan hukum dan sikap manusia yang bersifat antrophosentris (manusia sebagai pusat) telah menambah kompleksitas penyebab rusaknya hutan Indonesia. Menurut penulis munculnya sikap dan keadaan demikian dalam masyarakat tidak lepas dari pandangan manusia yang mengobjekkan Tuhan juga. Sehingga hutan dianggap tidak memiliki nilai ilahi, karena Tuhan tidak ditemukan di hutan. Dia jauh dan terasing di atas. Akhirnya manusia benci dan tidak mengasihi hutan. Hubungan yang terjadi antara manusia dengan hutan bukan hubungan yang harmonis, tetapi menegangkan dan menakutkan. Akhirnya timbullah sikap yang mengobjekkan hutan dan menjadikannya hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi saja. Menggunakan hutan untuk kepentingan ekonomi merupakan tindakan yang sah-sah saja, sebab negara dan masyarakat yang sehat harus didukung oleh ekonomi yang sehat juga. Tetapi jika karena kepentingan ekonomi tindakan exploitative dihalalkan itu akan menjadi masalah dan inilah yang terjadi di Indonesia. Ini juga menimbulkan lemahnya penegakan hukum oleh aparat pemerintah di Indonesia bahkan tidak sedikit yang ikut terlibat dalam kejahatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Ketidak seriusan dan ketidak tegasan untuk menindak dan mengungkap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap hutan adalah indikasi belum adanya kemauan untuk mengasihi hutan. Pandangan manusia yang mengangap dirinya sebagai pihak yang otonom dalam menentukan blue print pengelolaan hutan ikut memperparah keadaan tersebut, karena cenderung dilaksanakan demi pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri. Luasnya hutan Indonesia yang mengalami kerusakan, gundul dan penggurunan yang telah sering memicu terjadinya banjir seperti yang di desa Pati dan Jember adalah suatu pertanda bahwa hutan di Indonesia belum diperlakukan dan dikelola dengan baik. Apresiasi terhadap hutan Indonesia masih minim, sebaliknya exploitasi sangat meningkat. Hutan masih hanya sekedar objek ekonomi, belum diperlakukan seperti sahabat yang dicintai dan dalam pengelolaannya belum diperlakukan dengan baik. Itulah masyarakat Indonesia, yang terasing dari alamnya, terasing dari hutannya.
Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan yang rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.
 Kemudian, bila telah tertata kembali sistem pengelolaan hutan, maka pemberian ijin penebangan kayu hanya pada hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat local.Selama penghentian sementara [moratorium] dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.Dan yang terpenting adalah mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan hutan, karena rakyat Indonesia sejak lama telah mampu mengelola hutan Indonesia.



























BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Factor-faktor yang menyebabkan rusaknya hutan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.     Kepentingan Ekonomi
2.     Penegakan Hukum yang Lemah
3.     Mentalitas Manusia
Dampak-dampak yang terjadi akibat kerusakan hutan, diantaranya adalah :
1.     Efek Rumah Kaca (Green house effect)
2.     Kerusakan Lapisan Ozon
3.     Kepunahan Species
4.     Merugikan Keuangan Negara
5.     Banjir
6.     perekonomian rakyat
Upaya-upaya yang kita lakukan untuk meminimalisir rusaknya hutan di Indonesia, diantaranya adalah :
1.     mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih
2.     membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi industri kehutanan dengan ketersediaan bahan baku dari hutan.
3.     berkomitmen untuk melakukan pemberantasan illegal logging dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)

B.    SARAN
pemerintah harus mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan yang rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.

DAFTAR PUSTAKA

Hendra. 2007. Selamatkan Hutan Kita ! Save Our World. On line at http://www.balioutbound.com/2007/12/selamatkan-hutan-kita-save-our-world/
no name. 2007. illegal logging penyebab terbesar kerusakan hutan Indonesia. on line at http://klipingut.wordpress.com/2007/12/20/illegal-loging-penyebab-terbesar-kerusakan-hutan-indonesia/
marunung, Antoni. 2009. Selamatkan Hutan Indonesia Bersama Zulkifli Hasan- kerusakan hutan di Indonesia. On line at http://www.facebook.com/topic.php?uid=306558165083&topic=10921



Littlre snake pin