BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perceraian ialah
berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan
kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan.
Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta
benda masing-masing yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil,
perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban
merawat anak-anak mereka. Hal ini dapat dipahami karena besarnya dampak
perceraian yang tidak hanya menimpa suami-istri, tetapi juga anak-anak.
Anak-anaklah yang sangat merasakan pahitnya akibat perceraian kedua orang
tuanya. Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang
terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat
menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis.
Kurangnya perhatian orang tua (tunggal) tentu akan mempengaruhi perkembangan
jiwa anak. Merasa kasih sayang orang tua yang didapatkan tidak utuh, anak akan
mencari perhatian dari orang lain atau bahkan ada yang merasa malu, minder, dan
tertekan. Anak-anak tersebut umumnya mencari pelarian dan tidak jarang yang
akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas.
Kadangkala, perceraian
adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan
sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu
menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian
dianggap merupakan alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam
keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.
B. Masalah
Perceraian memiliki dampak
terhadap mantan pasangan suami istri dan anak. Akan tetapi dalam uraian ini
akan dibahas dampak perceraian yang akan dialami oleh anak. Menurut Leslie
(1967), reaksi anak terhadap perceraian orang tua sangat tergantung pada
penilaian mereka sebelumnya terhadap perkawinan orangtua mereka serta rasa aman
di dalam keluarga. Leslie (1967)
mengemukakan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita,
khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman di
dalam keluarga. Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan
bahwa orangtua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari
pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka.
Dampak Psikologis Anak
Akibat Perceraian Orang Tua:
Banyak sekali dampak
negatif perceraian yang bisa muncul pada anak. Seperti marah pada diri sendiri,
marah pada lingkungan, jadi pembangkang. Bisa jadi, anak akan merasa
bersalahdan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab perceraian
orangtuanya. Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau
sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya.
Anak juga bisa jadi tidak pede dan takut menjalin kedekatan dengan lawan jenis.
Kedepannya, setelah dewasa, anak bisa jadi dendam pada orangtuanya, terlibat
drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri. Perasaan
marah dan kecewa pada orangtua merupakan sesuatu yang wajar, Ini merupakan
proses dari apa yang sesungguhnya ada di hati anak.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Pengertian Perceraian
adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan
mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian
dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan
suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang
berlaku (Erna, 1999). Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah
satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka
berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.
Perceraian bagi anak
adalah “tanda kematian” keutuhan keluarganya, rasanya separuh “diri” anak telah
hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka
harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Contohnya, anak
harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya yang tiba-tiba
tidak tinggal bersamanya lagi.
Psikologi (dari bahasa
Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari
jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi
membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa
tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat
didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses
mental.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) :
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu
atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Ara
Celis (1989) : Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka
hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya
masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Adapun Fungsi Psikologis
dalam keluarga yaitu :
a. Memberikan kasih sayang
dan rasa aman
b. Memberikan perhatian
diantara anggota keluarga
c. Membina pendewasaan
kepribadian anggota keluarga.
d. Memberikan Identitas
anggota keluarga.
Peranan keluarga
menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu
dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok
dan masyarakat.
Dalam sosiologi, terdapat
teori pertukaran yang melihat perkawinan
sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan
kehilangan yang terjadi diantara sepasang suami istri. Karena perkawinan
merupakan proses integrasi dua individu yang hidup dan tinggal bersama,
sementara latar belakang sosial-budaya, keinginan serta kebutuhan mereka
berbeda, maka proses pertukaran dalam perkawinan ini harus senantiasa
dirundingkan dan disepakati bersama. Situasi dan kondisi menjelang perceraian
yang diawali dengan proses negosiasi antara pasangan suami istri yang berakibat
pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat
memuaskan masing-masing pihak. Mereka seolah-olah tidak dapat lagi mencari
jalan keluar yang baik bagi mereka berdua. Perasaan tersebut kemudian
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kedua belah pihak yang membuat
hubungan antara suami istri menjadi semakin jauh.
Kondisi ini semakin menghilangan
pujian serta penghargaan yang diberikan kepada suami istri padahal pujian dan
penghargaan tersebut merupakan dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam
suatu perkawinan. Hal ini mengakibatkan hubungan suami istri semakin jauh dan
memburuk. Mereka semakin sulit untuk berbicara dan berdiskusi bersama serta
merundingkan segala masalah-masalah yang perlu dicari jalan keluarnya.
Masing-masing pihak kemudian merasa bahwa pasangannya sebagai orang lain.
Akibatnya akan terjadi perceraian (Scanzoni dan Scanzoni, 1981).
Dampak pada anak-anak pada
masa ketidakharmonisan hubungan orang tua, belum sampai bercerai namun sudah
mulai tidak harmonis:
1. Anak mulai menderita kecemasan yang
tinggi dan ketakutan.
2. Anak merasa terjepit di tengah-tengah.
Karena dalam hal ini anak sulit sekali memilih papa atau mama, dia merasa
sangat terjepit di tengah
3. Anak sering kali mempunyai rasa bersalah.
4. Kalau kedua orang tuanya sedang
bertengkar, itu memungkinkan anak bisa membenci salah satu orang tuanya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dan proses mental. Psikologi
merupakan cabang ilmu yang masih muda atau remaja. Sebab, pada awalnya
psikologi merupakan bagian dari ilmu filsafat tentang jiwa manusia. Menurut
plato, psikologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat, hakikat, dan
hidup jiwa manusia (psyche = jiwa ; logos = ilmu pengetahuan).
Perceraian adalah cerai
hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka
menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat
sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri
kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna,
1999).
Perceraian dalam sebuah
pernikahan tidak bisa dilepaskan dari pengaruhnya terhadap anak. Banyak faktor
yang terlebih dahulu diperhatikan sebelum menjelaskan tentang dampak perkembangan
anak setelah terjadi suatu perceraian antara ayah dan ibu mereka.
Faktor tersebut bisa
meliputi perubahan usia anak dan tahap perkembangan anak, konflik yang terjadi
setelah perceraian, jenis kelamin anak dan gaya pengasuhan orangtua setelah bercerai.
Kesemua hal itu dapat menggambarkan bagaimana dampak yang diberikan akibat
perceraian terhadap perkembangan anak pada saat itu dan masa yang akan datang.
a. Perubahan Usia dan Perkembangan
Usia anak pada saat
bercerai perlu dipertimbangkan. Tanggapan tanggapan anak kecil atas perceraian
ditengahi oleh terbatasnya kompetensi kognitif dan sosial mereka,
ketergantungan mereka terhadap orangtuanya. Belum matangnya faktor kognitif dan
sosial mereka akan lebih menguntungkan mereka ketika remaja. Pada saat remaja,
mereka lebih sedikit ingat mengenai konflik dan perceraian yang terjadi pada
saat mereka masih kecil. Tetapi tidak dipungkiri bahwa mereka juga kecewa dan
marah atas perkembangan pertumbuhan mereka tanpa kehadiran keluarga yang utuh
atau tidak pernah bercerai.
Anak yang sudah menginjak
remaja dan mengalami perceraian orangtua lebih cenderung mengingat konflik dan
stress yang mengitari perceraian itu sepuluh tahun kemudian, pada tahun masa
dewasa awal mereka. Mereka juga nampak kecewa dengan keadaan mereka yang tumbuh
dalam keluarga yang tidak utuh. Mereka juga menjadi kawatir bila hidup mereka
tidak akan lebih baik bila mereka tidak melakukan sesuatu lebih baik. Pada masa
remaja mereka dapat masuk dan terperangkap masalah obat obatan dan kenakalan
remaja dari pada remaja yang mengalami perceraian orangtua pada saat kecil dan
remaja yang tumbuh dalam keluarga utuh.
b. Konflik
Banyak perpisahan dan
perceraian merupakan urusan yang sangat emosional yang menenggelamkan anak ke
dalam konflik. Konflik ialah suatu aspek kritis keberfungsian keluarga yang
seringkali lebih berat dari pada pengaruh struktur keluarga terhadap
perkembangan anak. Misalnya, keluarga yang bercerai dengan koflik relatif
rendah lebih baik dari pada keluarga yang utuh tetapi dengan konflik relatif
tinggi. Pada tahun setelah perceraian konflik tidak berkurang tetapi bisa akan
terus bertambah. Pada saat ini, anak laki laki dari keluarga bercerai
memperlihatkan lebih banyak masalah penyesuaian dari pada anak anak dari keluarga
utuh yang orangtuanya ada.
Selama tahun pertama
setelah perceraian, kualitas pengasuhan yang dilakukan orangtua seringkali
buruk. Orangtua lebih sering sibuk dengan kebutuhan kebutuhan dan penyesuaian
dari sendiri seperti mengalami depresi, kebingungan dan instabilitas emosional.
Selama tahun kedua setelah perceraian, orangtua lebih efektif dalam mnegerjakan
tugas tugas pengasuhan anak, khususnya anak perempuan.
c. Jenis Kelamin Anak dan Hakekat
Pengasuhan
Jenis kelamin anak dan
orangtua pengasuh adalah pertimbangan yang penting dalam mengevaluasi pengaruh
perceraian terhadap perkembangan anak. Anak yang tinggal dengan orangtua
pengasuh dengan kesamaan jenis kelamin menunjukkan kondisi sosial yang lebih
kompeten seperti lebih bahagia, lebih mandiri, dan lebih dewasa dari pada anak
yang tinggal dengan orangtua pengasuh yang berbeda jenis kelamin. Dalam sebuah
kajian lain, ditemukan bahwa remaja dengan jenis kelamin baik laki laki dan
perempuan yang tinggal dengan keluarga ibu akan lebih dapat melakukan
penyesuaian dari pada tinggal bersama keluarga ayah.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Sejumlah besar anak yang
tumbuh dalam keluarga yang bercerai memiliki perbedaan tersendiri dengan anak –
anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak bercerai. Kebanyakan anak anak pada
mulanya mengalami stress berat ketika orangtua mereka bercerai dan mereka
beresiko mengembangakan masalah masalah perilaku. Tetapi perceraian dapat juga
melepaskan anak anak dari konflik perkawinan. Banyak anak yang mengalami
perceraian orangtua menjadi individu yang berkompeten.
b. Saran
Dalam kehidupan berumah
tangga, pasti selalu diwarnai dengan keributan dan pertengkaran antara suami
istri, namun sebesar – besarnya suatu masalah pasti akan menemukan titik terang
dalam menyelesaikan masalahnya. Perceraian bukanlah satu – satunya jalan dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam keluarga. Mungkin pemikiran orang tua,
bercerai adalah jalan yang terbaik tetapi tidak buat anak mereka, karena
perceraian berarti terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan
memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan
kewajibannya sebagai suami istri. Sebaiknya sebelum menjalani perceraian,
hendaknya benar – benar memikirkan psikologi anak yang akan mengalami perubahan
secara dramatis dalam kehidupannya. Menjauh untuk sesaat bagi suami istri lebih
baik tanpa mengucapkan kata cerai dari salah satu pihak, dengan menjauh sesaat
dengan memikirkan permasalahan yang terjadi dan mencari solusi yang tepat
merupakan langkah yang bijak yang dapat dilakukan. Karena jika perceraian
terjadi, maka kedua orang tua harus siap menerima konsekuensi yang akan terjadi
terhadap anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://slametriyanto.net/mengenal-aplikasi-untuk-membuat-blog/
2. http://choqiegambang.blogspot.com/2009/10/fungsi-blogger-untuk-pendidikan.html
3. Sumber:
adhiani.wordpress.com/2008/01/10/pengertian-dan-fungsi-blog
4. Santrok, John W. 2002. Life Span
Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga