BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama, berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya.
Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks. Teristimewanya untuk masyarakat Indonesia, perilaku tersebut sangatlah tidak sesuai dengan ideology bangsa Indonesia yang menganut ideology pancasila.
B. Perumusan masalah
Dari permasalahan konflik tersebut dapat diambil beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. latar belakang atau background yang seperti apakah yang menyebabkan perilaku seks bebas menjamur di masyarakat
2. seberapa populerkan seks bebas dikalangan masyarakat ?
3. bagaimana karakteristik dan pola perkembangan seks bebas di kalangan masyarakat ?
4. apa pengertian pancasila ?
5. bagaimana pelaksanaan pancasila sekarang ini ?
6. bagaimana keterkaitan atau hubungan antara pancasila dengan seks bebas ?
C. Tujuan
Tujuan diuraikannya materi mengenai tema seks bebas dipandang dari sudut pandang pancasila ini adalah ini mengetahui bagaimana sebenarnya kegiatan yang sedang menjamur di masyarakat ini bias terjadi, mengetahui motiv apa yang melatarbelakangi maraknya seks bebas di kalangan masyarakat, dan mengetahui bagaimana hubungan atau bagaimana sebenarnya pancasila memandang fenomena tersebut.
BAB II
PAMBAHASAN
A. Latar Belakang Seks Bebas
Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas, dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan. Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan jati dirinya.
Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder. Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak kehormatan dan tata susila kemanusiaan.
Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama keyakinan agama dan moralitas.
2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan sosial dan kelompok pertemanan.
3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan sehari-hari.
4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur pergaulan dan seks bebas relatif tinggi.
5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang.
6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat.
7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan.
8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko penyakit berbahaya.
9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks.
10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar rutinitas rumah tangga.
11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks.
Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya, kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peruses penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga, akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implicit melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern. Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk system pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara bebas.
Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi, tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri, sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar dilakukan.
B. Popularitas seks bebas dikalangan masyarakat
Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya mengatakan bahwa:
"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir kampungan"
"Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan keindahan".
Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bias menunjukkan bukti cintaku kepadanya.
Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film, show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks, sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka:
"seperti apa sih rasanya seks itu"?
"apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"?
Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek, lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga terbentuklah perilaku yang namanya ketagihan. Kalangan pencinta seks ini berpikir bahwa:
"kalau sudah basah, sekalian mandi saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya".
Mantan perawan sekali nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7 kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa harus dibatasi? Di sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka terhadap segala macam norma yang membatasi kebebasan seks.
Secara teoritis memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis, yaitu cinta tanpa unsur nafsu badaniah terhadap kekasihnya. Cinta semacam ini pada perinsipnya mengandung semangat "apa yang dapat aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara umum dalam perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap hubungan cinta dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan seks semata. Di sinilah seks menjadi kepanjangan dari perasaan cinta. Kisah cinta yang konvensional dianggap tidak variatif, cengeng, ketinggalan jaman dan tidak jantan.
Menanggapi perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut, dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk yang sekaligus mengandung unsur nilai persahabatan, pergaulan intim, menikmati kebersamaan, kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas.
Dalam hubungan seks pada umumnya terdapat proses kesepakatan bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua perilaku seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap kepentingan dan kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata dan tindakan yang semu sebagai dalih atau muslihat untuk memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatasnamakan cinta sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum dilontarkan untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya:
"Aku sudah terlalu lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja semuanya".
"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah".
"Kamu kan bagian dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!".
"Toh tak ada bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa".
"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan jiwa raga dengan engkau seorang".
"Jika kamu benar-benar cinta, maka kamu tak akan tega menyiksa aku".
Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya bermaksud agar pasangannya tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya. Jika kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan komunikasi dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam kondisi demikian biasanya timbul pikiran-pikiran rasional, perhitungan-perhitungan masa depan (what nexs), dan tuntutan aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
C. Karakteristik dan pola perkembangan perilaku seks bebas dalam Kehidupan Masyarakat
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara tatkala hubungan seks terjadi melalui pemaksaan fisik. Seks pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih umum lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan melalui kuantitas pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri dengan berganti-ganti pasangan. Sedangkan kualitas keserasian seks yang menyatu dalam kehidupan bersama antara dua pribadi yang utuh, bersatu dalam pembinaan dan tanggung jawab keluarga berdasarkan rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai tapal batas penghalang kenikmatan hubungan seks.
Pola pikir dan perhitungan pria terhadap hubungan seks, cenderung tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya pribadi dan perilaku pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan hidup bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata karena selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan. Sementara dipihak wanita masa kini seolah memberikan reaksi yang positif dengan sengaja bersikap, berperilaku (termasuk mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan membuka bagianbagian tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui karakteristik pria lebih merupakan gejala badaniah yang didorong oleh gemuruh seks yang dangkal, sementara wanita cenderung memberikan peluang, maka meskipun pria sebagai sumber inisiatif penekan dalam melakukan serentetan pendekatan seks melalui pegangan tangan, ciuman, memeluk dan mencumbu; bukan berarti sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab, tetapi pihak wanita juga menentukan tingkat intimitas batas kepantasan hubungan seks mereka. Oleh karena itu dalam perkembangan hubungan intim itu, lagi-lagi pihak wanita menyerah dan mengizinkan pria untuk memenuhi tuntutan seksnya, lantaran iapun sesungguhnya mempunyai deru-gelora nafsu seks tersendiri. Sebab bila puncak birahi keduanya telah seimbang, maka hampir tak ada orang yang sanggup menolak keinginan hubungan seksnya, baik dengan alasan-alasan rasional maupun alasan-alasan moral, dosa ataupun sanksi sosial.
Dalam perburuan seks, kaum pria cenderung bersifat lebih independent dan interaktif dalam posisi meminta dan menekan (memaksa), sehingga tanpa disadari terjadi eksploitasi perilaku seks yang kemudian mengaburkan makna cinta dan seks. Pihak wanita sendiri memberikan reaksi seks dalam posisi terikat (dependen) dan tak mampu menolak tuntutan seks. Keterikatan wanita dalam perilaku seks masa kini cenderung salah kaprah menanggapi makna mitos cinta sejati yang berarti "rela memberikan segalanya". Hal ini justeru diartikan sebagai proses kompromi seks yang saling merelakan segala yang berharga demi sebuah kenikmatan seks. Oleh karena itu nilai pengorbanan, harga diri dan penyesalan, akibat hubungan seks tersebut semaksimal mungkin ditiadakan. Artinya kebebasan seks cenderung dipandang sebagai perilaku pemuasan nafsu yang melahirkan kenikmatan belaka, dan melupakan realitas negatif akibat dari seks itu sendiri.
Perilaku seks bebas, tak terkecuali perselingkuhan kaum pria dan wanita berumah tangga, dipandang sebagai kesenangan hidup tanpa ikatan, sehingga patut dijadikan kebutuhan permanen. Resiko perilaku seks bebas, seperti kehamilan dan tercemarnya nama baik keluarga tidak lagi menakutkan, disamping karena peristiwa ini sudah biasa terjadi, juga karena kehamilan dapat dicegah melalui kebebasan penggunaan kontrasepsi (paling tidak, kondom sutra). Kebiasaan seks bebas dapat mengakibatkan orang semakin tidak mampu menahan birahinya yang sewaktu-waktu mendesak, sehingga tidak mustahil terjadi perkosaan di mana-mana sebagaimana diketahui cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya
Dari segi sosial-psikologis, perilaku seks bebas dianggap tidak mendatangkan beban tanggungjawab yang besar, dan tidak pula dirasakan sebagai pencemaran terhadap tradisi adat dan moral. Tentang kemungkinan terjadi depresi karena perasaan berdosa, penyesalan atau rasa takut terjangkitnya penyakit kelamin, semuanya tidak termasuk dalam perhitungan. Persepsi masyarakat terhadap perilaku seks cenderung menghalalkan seks atas dasar argumen saling suka, saling cinta, dan saling membutuhkan. Kondisi semacam ini mengisyaratkan suatu pengakuan terhadap penyelewengan hubungan (love affair) atau perselingkuhan, baik sebelum atau sesudah menikah. Kondisi ini kemudian menempatkan posisi hubungan intimitas seks manusia mendekati persamaannya dengan perilaku seks pada binatang. Meskipun perilaku seks semacam ini masih tersembunyi, akan tetapi secara realistik diam-diam diakui, terutama bagi mereka yang tak mampu menahan nafsu seksnya dalam jangka waktu tertentu. Mungkin karena kesepian, atau karena terperangkap dalam perkawinan yang tak bahagia, bisa juga karena ingin menikmati sensasi seks di luar rutinitas rumah tangga. Gejala ini kemudian mendorong timbulnya gerakan sosial (social movement) dari kolektifitas kelompok untuk menegakkan pola perilaku seks bebas. Meskipun secara terselubung dalam jangka waktu tertentu, tetapi lama kelamaan akan membawa perubahan perilaku yang diakui oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai suatu kelaziman. Sepanjang hubungan seks itu masih dalam kerangka jaminan kepentingan bersama dengan sedikit mungkin beban tanggungjawab atas syarat-syarat kontrak sosialnya, maka selama itu pula rutinitas hubungan seks akan berlangsung sebagai suatu kelaziman dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ideal, tentu semua tindakan itu dapat dikategorikan sebagai jalan pintas yang mengotorkan jiwa, pikiran dan fisik, karena mau tak mau ada perasaan tak layak, kotor, berdosa dan pengaruh negatifnya, baik terhadap hubungan perkawinan maupun terhadap masa depan remaja. Semua tindakan itu dapat menurunkan kesucian dan kemulyaan perkawinan, di samping dapat merusak sumber daya generasi muda. Perilaku seks bebas dapat membentuk struktur kemasyarakatan dalam status social yang rendah dalam kehidupan masyarakat.
D. Pengertian pancasila
1. Secara Etimologis
Pancasila berasal dari Bahasa India yakni Bahasa Sansekerta, bahasa kasta brahmana. Sedang bahasa rakyat jelata adalah prakerta. Menurut Prof. H. Moh. Yamin Pancasila ada dua macam arti yaitu :
Panca : artinya lima
Syila : dengan satu i, artinya batu sendi, alas atau dasar
Syiila : dengan dua i, artinya peraturan yang penting, baik, atau senonoh
Dari kata syiila ini dalam Bahasa Indonesia menjadi susila artinya hal yang baik. Dengan demikian maka perkataan Pancasyila berarti batu sendi yang lima, berdasarkan yang lima, atau lima dasar Sedang Pancasyiila berarti lima aturan hal yang penting, baik atau senonoh.
2. Secara Histories
Secara historis istilah Pancasila mula-mula dipergunakan oleh masyarakat India yang memeluk Agama Budha.
Pancasila berarti lima aturan (Five moral principles) yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa/awam Agama Budha, yang dalam bahasa aslinya yaitu Bahasa Pali. Pancasila yang berisikan lima pantangan yang bunyinya menurut ensiklopedia atau kamus Budhisme :
a. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami, Jangan mencabut nyawa setiap yang hidup. Maksudnya dilarang membunuh.
b. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami, Janganlah mengambil barang yang tidak diberikan. Maksudnya dilarang mencuri.
c. Kameshu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami, Janganlah berhubungan kelamin yang tidak sah dengan perempuan. Maksudnya dilarang berzina.
d. Musawada veramani sikkhapadam samadiyami, Janganlah berkata palsu. Maksudnya dilarang berdusta.
e. Sura meraya-majja pamadattha veramani sikkhapadam samadiyami, Janganlah meminum minuman yang menghilangkan pikiran. Maksudnya dilarang minum minuman keras.
Selanjutnya istilah Pancasila masuk dalam kasanah kesusastraan Jawa kuno pada zaman Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Istilah pancasila terdapat dalam buku keropak Negara Kertagama yang berupa syair pujian ditulis oleh pujangga istana bernama Mpu Prapanca selesai pada tahun 1365, yakni pada sarga 53 bait 2 yang berbunyi “ Yatnanggegwani pancasyila kertasangska rabhi sakakakrama” yang artinya : Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (pancasila) itu begitu pula upacara-upacara adat dan penobatan-penobatan.
Selain terdapat dalam buku Negara Kertagama yang masih dalam jaman Majapahit istilah pancasila juga terdapat dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma ini istilah pancasila disamping mempunyai arti berbatu sendi yang lima (dalam bahasa sansekerta) juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima, pancasila krama, yaitu :
a. Tidak boleh melakukan kekerasan
b. Tidak boleh mencuri
c. Tidak boleh berjiwa dengki
d. Tidak boleh berbohong
e. Tidak boleh mabuk minum minuman keras
Demikianlah perkembangan istilah Pancasila dari bahasa sansekerta menjadi Bahasa Jawa kuno yang artinya tetap sama dengan yang terdapat di jaman Majapahit.
Pada jaman Majapahit hidup berdampingan secara damai kepercayaan tradisi Agama Hindu Syiwa dengan Agama Budha Mahayana dan campuranya, Tantrayana. Sedang Mpu Prapanca sendiri kemudian menjabat dharmadyaksa ring kasogatan yaitu penghulu (kepala urusan) Agama Budha.
Sesudah Majapahit runtuh dan Islam tersebar ke seluruh Indonesia maka sisa-sisa dari pengaruh ajaran moral Budha yaitu pancasila masih terdapat juga dan dikenal masyarakat Jawa sibagai lima larangan (pantangan, wewaler, pamali) dan isinya agak lain yaitu yang disebut " Ma Lima" yaitu lima larangan yang dimulai dari kata "ma". Larangan tersebut adalah :
a. Mateni artinya membunuh
b. Maleng artinya mencuri
c. Madon artinya berzina
d. Madat artinya menghisap candu
e. Maen artinya berjudi
Lima larangan moral atau "Ma Lima" ini dalam masyarakat Jawa masih dikenal dan masih juga menjadi pedoman moral, tetapi namanya bukan Pancasila, tetapi tetap "Ma Lima".
3. secara terminologis
Secara terminologis, yaitu dimulai sejang sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Pancasila dipergunakan oleh Bung Karno untuk memberi nama pada lima prinsip dasar Negara Indonesia yang diusulkanya. Sedang istilah tersebut diberikan dari temannya yang pada waktu itu duduk di samping Bung Karno.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD '45 yang sebelumnya masih merupakan rencana di mana dalam pembukaanya memuat rumusan lima Dasar Negara Republik Indonesia yang diberi nama Pancasila. Artinya lima dasar yang dimaksud ialah dasar falsafah Negara Republik Indonesia yang isinya sebagaimana tertera dalam alinea IV bagian akhir pembukaan UUD '45.
Selanjutnya istilah Pancasila dalam Bahasa Indonesia dan secara yuridis yang dimaksudkan adalah 5 sila Pancasila yang kita anut saat ini.
4. Penggunaan Terakhir Istilah Pancasila
Pancasila yang semula berasal dari bahasa sansekerta yang berarti lima aturan hal yang penting, dan selanjutnya "Ma Lima" dalam bahasa Jawa kuno berarti lima pantangan yang kesemuanya itu dipergunakan dalam Agama Budha, yang akhirnya Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang dipakai sebagai istilah untuk nama dasar filsafat negara Republik Indonesia samapai sekarang.
Di samping perkembangan arti istilahnya, penulisanya pun mengalami proses perkembangan. Menurut ejaan aslinya ditulis huruf latin pertama-tama, ditulis dengan " Panca-Syila". Kemudian disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia lama menjadi Pantja-Sila.
Karena istilah Pancasila dipakai nama dasar filsafat negara yang isinya merupakan satu kesatuan, maka menurut Prof. Notonagoro penulisanya tidak dapat dipisahkan, tetapi harus dirangkai jadi satu yaitu "Pantjasila". Dan selanjutnya menurut ejaan yang disempurnakan penulisanya menjadi "Pancasila".
E. Pelaksanaan pancasila
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan pelaksana-an Pancasila terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus konsisten, koheren, dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa yang dapat digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985) menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Profesor Notonagoro (1974) menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu Subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi, sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan melalui jalur politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis, yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, theologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
F. Keterkaitan seks bebas ditinjau dari sisi pancasila
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hdup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu dan jaman yang cepat sekali berubah, seakan-akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila yang merupakan pedoman hidup bagi rakyat Indonesia telah dilupakan begitu saja. Banyak kegiatan yan berhubungan dengan penyimpangan nilai-nilai moral yang terkandung dalam pancasila. Misalnya saka perilaku seks bebas yang telah menjamur dan seakan-akan membudaya dalam lingkungan masyarakat. Perilaku ini jelas sangat bertentangan dengan sila-sila yang terkandung dalam pancasila, utamanya bersangkutan dengan sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal. Ketidaksadaran masyarakat mengenai nilai luhur yang terkandung dalam tiap-tiap butir pancasila inilah yang menjadikan semangat membangun kehidupan masyarakat telah sirna dan tidak sama sekali dipikirkan lagi oleh kebanyakan masyarakat kita, selain itu maksud dan tujuan yang terkandung dalam butir kedua pancasila tidak dapat diimplementasikan dalam bentuk sikap hidup yang harmoni penuh toleransi dan damai.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pola dan gaya hidup sebagai konsekuensi moderenisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sekularisasi, telah menyebabkan perubahan-perubahan nilai kehidupan yang cenderung mengabaikan nilai-nilai moral etik agama dan pancasila sebagai pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari, termasuk nila-nilai hubungan seksual antar individu. Pola hubungan seks bebas telah merasuki masyarakat luas.
B. Saran
Saran yang bias diberikan dalam kasus seperti ini adalah :
1. kita harus lebih mendalami dan mengaplikasikan nilai-nilai moral dan etik, utamanya yang bersumber dari nilai agama dan pancasila sebagai pedoman atau landasan hidup kita.
2. pendidikan seks sedini mungkin dapat dilakukan untuk mencegah adanya perilkau menyimpang seperti seks bebas.
3. memberikan mainset yang benar, sehingga anak tidak mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan dan terjerumus kedalam pergaulan bebas yang memicu terjadinya perilaku seks bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Soegito dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Semarang : UNNES PRESS