BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini kasus kekerasan terhadap anak marak terjadi. Bentuk ancaman atau pemalakan lebih sering muncul dalam beberapa bentuk seperti minta makanan, minta dibuatkan tugas sampai disaat ujian minta untuk diberikan contekan. Kasus lain yaitu berupa ejekan kepada teman-temannya sampai teman yang diejek menangis. Selain itu juga terjadi kebiasaan untuk memanggil temannya dengan nama bapaknya atau bukan nama siswa yang sebenarnya dengan maksud melecehkan.
Seorang teman dengan bangga menceritakan perilaku anak perempuannya yang baru duduk di Sekolah Dasar yang melakukan bullying kepada teman-temannya dengan jalan menguasai alat permainan saat jam istirahat. Seorang anak SD dengan bangga bercerita pada orangtuanya bahwa dia sangat terkenal di sekolahnya karena ditakuti teman-temannya. “Saya yang adalah ketua geng di sekolah,” kata anak itu dengan bangga.
Umumnya para orangtua, guru dan masyarakat mengganggap fenomena bullying di sekolah adalah hal biasa dan baru meresponnya jika hal itu telah membuat korban terluka hingga membutuhkan bantuan medis dalam hal bullying fisik. sementara bullying sosial, verbal dan elektronik masih belum ditanggapi dengan baik. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman akan dampak buruk dari bullying terhadap perkembangan dan prestasi anak di sekolah dan tidak adanya atau belum dikembangkannya mekanisme anti bullying di sekolah kita. Selain itu anak-anak juga masih jarang diberikan pemahaman tentang bullying dan dampaknya.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Perilaku Bullying pada Anan SD”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena diatas, maka bisa dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan perilaku bullying?
2. Apa saja yang melatar belakangi anak SD melakukan tindakan bullying?
3. Bagaimana solusi terhadap masalah yang timbul akibat perilaku bullying pada anak SD?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah tentang perilaku bullying pada anak SD ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah permasalahan anak SD.
2. Untuk mencari tau berbagai macam hal yang melatar belakangi perilaku bullying yang dilakukan oleh anak SD.
3. Untuk mencari kemungkinan solusi terkait masalah bullying yang dilakukan oleh anak SD.
D. Manfaat
Manfaat yang bisa diperoleh dari makalah tentang perilaku bullying pada anak SD ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui secara konsep apa yang dimaksud dengan perilaku bullying.
2. Mengetahui hal-hal dan faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi anak melakukan tindakan bullying.
3. Mengetahui jalan keluar atau kemungkinan solusi bagi permasalahan perilakau bullying yang dilakukan oleh anak SD.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bullying
Pengertian perilaku bullying masih menjadi perdebatan dan belum menemukan suatu definisi yang diakui secara universal, sehingga belum ada pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari (Sejiwa, 2008: 2). Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan yang destruktif.
Berbeda dengan negara lain, seperti di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Finlandia yang menyebutkan bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak dan terlibat kekerasan.
Sedangkan Edi Purwanto (dalam http://jendelapemikiran.wordpress.com/2010/12/01/alternatif-pemecahan-perilaku-bullying-pada-anak-sekolah-dasar/), menyebut bullying dengan istilah victimization dan peer exclusion untuk menggambarkan perilaku bullying. Tattum (dikutip, Smith, Pepler and Rigby, 2007: 5) memandang bahwa bullying adalah keinginan untuk menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan yaitu orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil.
Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek, bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya, dan peristiwanya mungkin terjadi berulang.
Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Sejiwa (2008: 1) yang menyatakan bahwa bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang, untuk menunjukkan kekuasaannya. Dalam hal ini sang korban tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.
Hal yang penting disini bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi apa dampak tindakan tersebut terhadap korbannya. Misalnya, seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar; bila yang didorong merasa terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tak merasa takut atau terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan bullying (Sejiwa, 2008: 2).
Bullying juga harus dibedakan dari tindakan atau perilaku agresif lainnya. Pembedaannya adalah tidak bisa dikatakan bullying jika seseorang menggoda orang lain secara bercanda, perkelahian yang terjadi hanya sekali, dan perbuatan kasar atau perkelahian yang tidak bertujuan untuk menyebabkan kehancuran atau kerusakan baik secara material maupun mental. Selain itu tidak bisa dikatakan bullying jika termasuk perbuatan kriminal seperti penyerangan dengan senjata tajam, kekerasan fisik, perbuatan serius untuk menyakiti atau membunuh, pencurian serius, dan pelecehan seksual yang dilakukan hanya sekali.
Definisi yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus (dalam http://jendelapemikiran.wordpress.com/2010/12/01/alternatif-pemecahan-perilaku-bullying-pada-anak-sekolah-dasar/) yang menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku negatif terhadap seorang atau lebih siswa lain. Tindakan negatif disini adalah ketika seseorang secara sengaja melukai atau mencoba melukai, atau membuat seseorang tidak nyaman. Intinya secara tidak langsung tersirat dalam definisi perilaku agresif.
Berdasarkan beberapa pengertian bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan siswa tersebut yang berlangsung secara sistematis disebut dengan istilah bullying. Bullying sendiri didefinisikan sebagai tindakan menyakiti secara fisik dan psikis secara terencana oleh pihak yang merasa lebih berkuasa terhadap yang lemah (Kompas, 2007). Istilah lain untuk bullying adalah peer victimization dan hazing. Bullying secara sederhana diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok, misalnya kelompok siswa satu sekolah, itulah sebabnya disebut sebagai peer victimization. Sedangkan hazing adalah perilaku yang sama namun dilakukan oleh anggota yang lebih senior kepada yuniornya. Kasus lain dari bullying yang berkenaan dengan kegiatan orientasi sekolah untuk siswa baru, dimana siswa senior sering “membenarkan diri” memerintah adik-adik kelasnya yang baru masuk.
B. Macam-macam Bullying
Menurut Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf), Perilaku bullying sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu bullying fisik dan bullying non-fisik.
1. Bullying fisik adalah bullying yang bisa terlihat jelas. Bullying fisik ini dapat berbentuk seperti pukulan, tendangan, dibenturkan tembok, tamparan, dorongan, serta serangan fisik lainnya.
2. Bullying non fisik adalah bentuk bullying yang tidak terlihat langsung dan berdampak serius, dapat dilakukan secara verbal dan non verbal. Ejekan, panggilan dengan sebutan tertentu, ancaman, penyebaran gosip, penyebaran berita rahasia, perkataan yang mempermalukan, tergolong aksi verbal. Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan dan bahasa tubuh yang mengancam merupakan aksi nonverbal yang dilakukan secara langsung. Sedangkan pengabaian, penyingkiran dari kelompok, serta pengiriman pesan tertulis yang bernada mengganggu, dan merebut pacar, termasuk aksi nonverbal secara tidak langsung. Bullying dapat pula berbentuk pengrusakan atau perampasan barang milik korban, seperti penyobekan, pencoretan, embantingan, perebutan, dan pencurian. Para pelaku laki-laki cenderung lebih banyak melakukan aksi fisik dibandingkan pelaku perempuan yang lebih memilih melancarkan aksi nonfisik.
C. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Bullying
Menurut Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf), Bullying melibatkan beberapa pihak. Pertama, tentu saja pelaku, yang biasanya bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, mendapatkan kepuasan setelah unjuk kekuatan, balas dendam, namun bisa juga tadinya ia iseng, coba-coba, dan ‘berhasil’, sehingga ingin mengulang kembali keberhasilannnya tersebut. Pelaku ada yang memang terkenal bengal, prestasi belajarnya kurang baik, dan suka membuat onar, sehingga orang lain menganggap tidak aneh apabila ia melakukan bullying. Namun, ada pula pelaku yang merupakan anak berprestasi baik dan tampak alim, yang mampu menutupi aksinya sedemikian rupa, sehingga orang lain tidak menyangka bila ia adalah pelaku. Para pelaku ada pula yang juga menjadi korban pada saat yang sama dalam setting yang berbeda, misalnya di sekolah menjadi pelaku, tapi di rumah menjadi korban.
Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf) menambahkan, Pihak berikutnya adalah korban. Korban ada yang bersifat pasif yang senantiasa menuruti permintaan pelaku, ada pula yang provokatif, mencoba melawan atau menampilkan diri dan menunjukkan perilaku tertentu secara menonjol yang memancing pelaku melakukan aksi kekerasan. Korban biasanya memiliki karakteristik tertentu yang menarik perhatian atau oleh pelaku ‘dianggap berbeda’ dibandingkan teman sebayanya, sehingga memicu pelaku untuk melakukan bullying. Korban bisa dianggap berbeda secara fisik, seperti memiliki paras wajah, warna kulit, susunan gigi, jenis rambut tertentu, atau tinggi badan dengan ukuran tertentu. Korban dapat pula menunjukkkan perilaku tertentu, seperti cara berjalan atau logat bicara. Latar belakang korban, seperti kondisi keluarga, status sosial ekonomi, lingkungan tempat tinggal, atau hal-hal lain yang menyangkut orang tua, selain juga hal-hal yang terkait dengan sekolah, misalnya kemampuan membaca, prestasi di sekolah, dapat juga menjadi bahan ejekan atau kondisi yang memancing pelaku melakukan bullying. ‘Kesalahan’ pada korban dapat pula dicari-cari, misalnya dianggap ‘melanggar tradisi’ dengan berpenampilan yang dirasa terlalu menor, terlalu rapi karena memakai gel rambut dan minyak wangi, tidak ‘nongkrong’ seperti kakak kelas, dan sebagainya. Korban yang merahasiakan tindakan bullying terhadapnya, biasanya memiliki alasan sebagai berikut. Bila bercerita kepada orang lain, ia takut akan terjadi sesuatu yang lebih buruk dan takut dikucilkan. Ia mungkin juga berharap pelaku akan menyukainya. Korban dapat pula tidak percaya pada guru, tidak ingin membuat orang tua khawatir, bahkan ada pula diantaranya yang merasa bahwa dirinya juga patut disalahkan.
Pihak ketiga yang terlibat adalah bystanders. Bystander terdiri dari empat tipe, sidekick, reinforcer, outsider, atau defender, yang secara berurutan berarti berperan membantu pelaku secara langsung dalam memperdaya korban, menyemangati pelaku misalnya bertepuk tangan atau bersorak, bersifat acuh tak acuh ketika terjadi bullying, atau melakukan pembelaan terhadap korban. Peran bystander sebetulnya berkontribusi menentukan apakah bullying akan berlanjut atau tidak. Kekuatan bystander dapat menghentikan bullying, namun parahnya bila mereka acuh tak acuh atau bahkan membantu dan menguatkan aksi pelaku, bullying pun tak terbendung.
D. Gejala/ciri-ciri Korban dan Pelaku Bullying
Ubaydillah (dalam http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528) mengungkapkan bahwa berdasarkan penjelasan sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri "ter", misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya, dan seterusnya. Di bukunya Barbara Colorosa (The bully, The bullied, dan The bystander: 2004), ciri-ciri yang terkait dengan korban itu antara lain:
1. Anak baru di lingkungan itu.
2. Anak termuda atau paling kecil di sekolah.
3. Anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut.
4. Anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin menyenangkan.
5. Anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain.
6. Anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah.
7. Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain.
8. Anak yang paling miskin atau paling kaya.
9. Anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah.
10. Anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah.
11. Anak yang agamanya dipandang rendah.
12. Anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain.
13. Anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma.
14. Anak yang siap mendemontrasikan emosinya setiap waktu.
15. Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
16. Anak yang memakai kawat gigi atau kacamata.
17. Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.
18. Anak yang memiliki kecacatan fisik atau keterbelakangan mental.
19. Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk).
Sedangkan untuk para pelaku, mereka umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suka mendominasi anak lain.
2. Suka memanfaatkan anak lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
3. Sulit melihat situasi dari titik pandang anak lain.
4. Hanya peduli pada keinginan dan kesenangannya sendiri, dan tak mau peduli dengan perasaan anak lain.
5. Cenderung melukai anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.
6. Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai sasaran.
7. Tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya.
8. Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan atau masa bodoh terhadap akibat dari perbuatannya.
9. Haus perhatian.
E. Penyebab Perilaku Bullying
Menurut Egi (dalam http://regianamanah.blogspot.com/2011/02/perilaku-bullying-pada-anak-sekolah.html) yang bisa menyebabkan anak berperilaku bully menurut Herlina adalah perpaduan dari faktor internal dan eksternal.
1. Faktor internal
Secara internal, memang setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan penyataan diri dan aggressiveness dalam dirinya, hanya kapasitasnya saja yang berbeda-beda. Perilaku bully dapat terjadi bila kemudian faktor internal ini distimuli oleh faktor-faktor eksternal.
Pada Workshop Nasional Anti-bullying 2008 diungkapkan bahwa salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah adanya harga diri yang rendah. Harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang dan biasanya tetap tentang dirinya. Hal itu menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga.
Berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan anak ditengarai disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif. Sikap saling menghargai, menolong, berempati, jujur, lemah lembut dan sebagainya tidak jarang hilang dari pribadi anak. Sebaliknya, mereka justru akrab dengan hal-hal yang negatif seperti kekerasan, kebohongan, licik, egois dan sebagainya.
Fase perkembangan pemahaman moral anak terdiri dari 6 fase dan tingkatan itu tidak berkorelasi dengan meningkatnya usia seseorang. Seorang anak yang memiliki pemahaman moral yang tinggi, maka kecenderungan melakukan tindakan yang melanggar norma seperti mengejek, memukul, menendang temannya lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan pemahaman moral bahwa hal-hal tersebut merupakan tindakan yang tidak baik dan melanggar moral. Semakin seorang individu memiliki tingkat pemahaman moral yang tinggi akan mengurangi perilaku menyimpangnya.
Harga diri yang rendah dan pemahaman moral anak yang rendah memunculkan perilaku bullying. Anak yang melakukan bullying pada temannya karena anak ingin mendapatkan perhargaan dari temannya dan anak belum memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang umumnya paling mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan dan jenis tontonan. Anak berperilaku bullying itu biasanya datang dari beberapa macam keluarga. Pertama, keluarga yang sangat memanjakan anak. Apa pun keinginan anak dituruti, sehingga anak merasa powerful dan bisa mengatur orang lain. Hal ini terekam hingga pada waktu sekolah atau bergaul pun anak mencari teman-temannya yang bisa ditindas atau dimanfaatkan. Dalam hal ini kasusnya adalah anak menjadi over-confident atau terlalu percaya diri.
Perilaku bullying juga bisa muncul pada anak-anak yang kurang percaya diri. Hal ini bisa datang dari keluarga yang terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah, tapi kenyataannya banyak kebutuhan-kebutuhan emosional yang tidak didapat oleh si anak, seperti perasaan disayang, diperhatikan, juga rasa dihargai. Biasanya terjadi pada keluarga yang tidak berfungsi atau broken home dimana anak memang kurang perhatian. Akibatnya anak memiliki self esteem dan self confident rendah, konsep dirinya pun negative.
Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi anak untuk berperilaku bully melalui berbagai cara. Yang pertama anak bisa meniru perilaku buruk yang dilihat dari lingkungannya yaitu baik di lingkungan rumah (perilaku kedua orang tuanya) ataupun lingkungan sekolah (perilaku yang berasal dari teman-temannya). Selain itu lingkungan juga dapat memberikan penguatan atau reinforcement pada anak untuk bersikap bully. Bukan hanya itu, sebenarnya lingkungan yang mengabaikan atau mentolerir sikap bully anak juga dapat menjadi penguat.Guru atau orangtua yang tidak berbuat apa-apa akan membuat anak merasa bahwa tindakannya tidak salah.
Stimulan lainnya dari luar anak bisa datang dari jenis tontonannya. Serupa dengan contoh dari lingkungan, anak juga memiliki kecenderungan mengimitasi apa yang dilihatnya dari tayangan yang ditonton. Sekali lagi orangtua berperan penting untuk benar-benar mengawasi segala tontonan anak, baik di televisi, games, film bioskop, internet dan lain sebagainya.
F. Dampak Perilaku bullying
Menurut Vivie (dalam http://bundazone.com/prilaku-bermasalah/bully-dan-bullying/) akibat dari tindakan bullying ini tidak dapat dikatakan main-main. Ianya mengganggu perkembangan sosial dan emosional anak mulai dari yang ringan, sedang hingga yang serius dan mampu berakibat pada kematian. Yakni:
1. Prestasi belajar menurun.
2. Phobia sekolah.
3. Gelisah, sulit tidur.
4. Gangguan makan.
5. Menyendiri, mengucilkan diri.
6. Sensitive, lekas marah.
7. Agresif , bersikap kasar pada orang lain (contoh : pada kakak atau adik bahkan orang tua).
8. Depresi.
9. Hasrat bunuh diri (Data dari Jepang dinyatakan bahwa 10% korban bullying mencoba bunuh diri).
Menurut Admin (dalam http://www.artiku.com/2008/05/10/stop-bullying/) bullying berdampak menurunkan tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai-nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal dibanding yang tidak melakukan bullying. Tindakan ini juga masih menjadi masalah tersembunyi yang tidak disadari oleh para pendidik dan orang tua murid.
bullying adalah masalah kesehatan publik yang perlu mendapatkan perhatian karena orang-orang yang menjadi korban bullying kemungkinan akan menderita depresi dan kurang percaya diri. Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul. Merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi anak tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan kesehatan mental maupun fisik jangka pendek maupun panjang akan terpengaruh.
Sedangkan menurut Bangu (2007: 2), anak korban bullying sering menampakkan sikap: mengurung diri atau menjadi school phobia, minta pindah sekolah, konsentrasi berkurang, prestasi belajar menurun, suka membawa barang-barang tertentu (sesuai yang di minta si pelaku bullying). Anak jadi penakut, gelisah, tidak bersemangat, menjadi pendiam, mudah sensitif, menyendiri, menjadi kasar dan dendam, mudah cemas, mimpi buruk, melakukan perilaku bullying kembali terhadap orang lain.
Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf) Bullying dapat mengakibatkan korban merasa cemas, mengalami gangguan tidur, sedih berkepanjangan, menyalahkan diri sendiri, depresi, bahkan bunuh diri. Terkait dengan aktivitas sekolah, korban dapat pula sering absen,terisolasi secara sosial, prestasinya menurun, atau mengalami drop-out. Beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa korban bullying pada 4 tahun berikutnya berpotensi menjadi pelaku. Sedangkan pada para pelaku bullying, mereka beresiko tinggi terlibat kenakalan dan tindakan kriminal serta berpotensi mengalami hambatan penyesuaian diri dan sosial. Tidak hanya sampai di situ, bullying juga meresahkan para orang tua dan masyarakat dan ketika terjadi di sekolah, tingkat kepercayaan mereka pada institusi pendidikan menjadi menurun.
G. Analisis Perilaku Bullying di Sekolah Dasar
Berbagai usaha yang dapat kita lakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying di sekolah diantaranya: Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang bullying dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan pengerti apa itu bullying dan dampaknya.
Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban bullying di setiap sekolah. Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying dan sebagainya.
Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah.
Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap ini.
Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.
Peran pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap isu bullying di sekolah serta berupaya membangun kapasitas aparaturnya dalam mengatasi isu ini. Langkah strategis yang perlu diambil adalah memasukkan isu ini ke dalam materi pelatihan guru serta mengembangkan program anti bullying di tiap sekolah. Dalam kasus tertentu bullying bisa bersentuhan dengan aspek hukum, maka melibatkan aparat penegak hukum dalam program anti bullying akan sangat efektif.
Sekolah sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan bangsa sudah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman dan bermartabat bagi anak-anak kita sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan demikian maka kita telah mempersiapkan generasi mendatang yang unggul dan siap menjadi warga negara yang baik.
H. Penanganan Terhadap Korban dan Pelaku Bullying
Ubaydillah (dalam http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528) mengngkapkan bahwa kedua belah pihak dalam kasus bullying perlu mendapatkan pertolongan, baik yang tertindas atau yang menindas. Menolong yang tertindas bisa dilakukan dengan membebaskan mereka dari ketertindasan. Ini penting sebab jika si korban tidak segera ditolong, akibat yang paling fatal bisa meninggal dunia.
Dari kajian para ahli, jika korban bullying itu dibiarkan atau tidak mendapatkan penanganan, mereka akan depresi, mengalami penurunan harga diri, menjadi pemalu, penakut, prestasinya jeblok, mengisolasi diri, atau ada yang mau mencoba bunuh diri karena tidak tahan (Stop Bullying, Kidscape: 2005). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu korban bullying diantaranya:
1. Yakinkan bahwa kita akan berada di sisinya dalam mengatasi masalah ini.
2. Ajari si anak untuk menjadi orang baik namun juga tidak takut melawan kesombongan.
3. Galilah inisiatif dari si anak tentang cara-cara yang bisa ditempuh. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri si anak atau ajukan beberapa usulan.
4. Rancanglah pertemuan dengan pihak sekolah.
5. Jangan lupa membawa penjelasan yang faktual dan detail. Misalnya bukti fisik, harinya, prosesnya, nama anak-anaknya, tempat kejadiannya, dan lain-lain. Kalau bisa, cari juga dukungan dari wali murid lain yang anaknya kerap menjadi korban.
6. Usahakan dalam pertemuan itu muncul kesepakatan yang pasti akan dijalankan dan akan membuat anak aman dari penindasan. Maksudnya, jangan hanya puas mengadu dan puas diberi janji.
7. Akan lebih sempurna jika pihak sekolah mau memfasilitasi pertemuan dengan wali yang anaknya pelaku dan yang anaknya menjadi korban untuk ditemukan solusinya.
Yang perlu kita hindari adalah praktek menyalahkan atau menyudutkan si anak. Misalnya mengatakan, kamu sih yang mancing, kamu sih yang nggak mau mengerti, dan seterusnya. Kesalahan ada pada pelaku, bukan pada korban. Hindari juga membuat rasionalisasi yang meremehkan, misalnya kita mengatakan, wah digituin aja sedih, jangan cengeng dong, dia kan hanya bercanda, dan seterusnya. Terus, jangan juga langsung meledak dan ngamuk. Ini malah membuat anak enggan bercerita. Galilah dari si anak sebanyak mungkin.
Dilain pihak, pelaku bullying juga perlu mendapatkan pertolongan. Membantu pelaku adalah dengan mencegahnya. Pencegahan ini bisa diajarkan dengan cara-cara di bawah ini:
1. Beri disiplin. Jelaskan bahwa menindas itu perbuatan salah, ajari untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, misalnya minta maaf, mengontrol proses agar tidak mengulangi lagi, dan meyakinkan dirinya bahwa dia bukan orang jahat. Dia hanya butuh belajar untuk menjadi orang yang lebih baik.
2. Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik kepada keluarga atau teman-temannya di sekolah, misalnya mengundang hari ulang tahun, berbagi, dan seterusnya.
3. Tumbuhkan empati, misalnya menjenguk atau menelpon yang sakit, membantu yang membutuhkan, mengutarakan kata-kata yang baik.
4. Ajari keterampilan berteman dengan cara-cara yang asertif, sopan, dan tenang. Tunjukkan bahwa memaksa orang lain itu tidak baik.
5. Pantaulah acara televisi yang ditonton mereka, video game yang dimainkan, aktivitas-aktivitas komputer yang mereka lakukan, dan musik yang mereka dengarkan atau mainkan. Jika berbau kekerasan, ajarilah untuk mengganti secara bertahap.
6. Libatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih konstruktif, menghibur, dan menggairahkan.
7. Ajari anak Anda untuk beritikad baik kepada anak lain.
8. Hindari kekerasan dalam bentuk apapun ketika memperlakukan mereka. Kekerasan seringkali melahirkan kekerasan.
9. Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
10. Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.
11. Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.
Bullying sudah menjadi masalah global yang kemudian tidak bisa kita abaikan lagi. Banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk meyelamatkan perkembangan psikologis anak-anak dan remaja kita. Kekerasan sejak dini bukan merupakan bagian dari perkembangan psikologis mereka, oleh sebab itu banyak elemen harus ikut terlibat, baik orang tua, pihak sekolah, bahkan pemerintah.
I. Terapi Melaui Konseling Behavior
Selama ini beberapa upaya telah dilakukan oleh sekolah bagi pelaku pelaku bullying, yaitu pemberian hukuman sanksi dan panggilan orang tua ke sekolah untuk bekerja sama memberikan penanganan. Sejauh ini hasil yang dicapai belum maksimal, karena menurut pengamatan penulis, perubahan sikap dan perilaku pelaku bullying hanya sementara. Karena mereka kembali mengulang perbuatannya dilain hari.
Untuk membantu penanganan masalah bullying ini penulis mencoba menawarkan konsep konseling behavioral. Menurut Gerald corey bahwa: “terapi tingkah laku (konseling behaviour) adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Sedangkan menurut Kramboltz dan Khoresen yang di kutip oleh H. Moch Surya (1992) bahwa “Terapi behaviour adalah suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan kepentingan tertentu”. Penekanan istilah belajar dalam pengertian ini ialah atas pertimbangan bahwa konselor membantu orang (konseli) belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan membantu dalam proses belajar menciptakan konvisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya.
Penggunaan konseling behavioral sebagai alternatif pemecahan masalah, menurut penulis karena mengingat konseling behavioral memiliki konsep-konsep dasar sebagai berikut :
1. Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupan dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
2. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
3. Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar (pembiasaan klasik, pembiasaan operan dan peniruan).
4. Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang diperolehnya.
5. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi- kondisi pembentuk tingkah laku.
Dengan melihat keunggulan konseling behavioral tersebut diatas, penulis berharap dapat meminimalisir pelaku bullying di institusi sekolah, sehingga sekolah dapat menjadi tempat belajar yang aman, menyenangkan, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial maupun emosional
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-curi kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa tidak nyaman/terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi ini akan berulang menimpanya.
Penyebab seorang anak melakukan tindakan bullying adalah karena faktor internal yang meliputi kebutuhan penyataan diri, aggressiveness dalam dirinya, harga diri anak, dan pemahaman anak tentang moral. Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor eksternal, yang meliputi keluarga, lingkungan dan jenis tontonan.
Berbagai macam alternatif yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah perilaku bullying pada anak adalah salah satunya dengan konseling behavioral. atas pertimbangan bahwa konselor membantu orang (konseli) belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan membantu dalam proses belajar menciptakan konvisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya
B. Saran
Beberapa saran yang dapat diajukan diantaranya:
1. Orang tua membiasakan diri memberikan feedback positif bagi anak sehingga mereka belajar untuk berperilaku sosial yang baik dan mereka mendapatkan model interaksi yang tepat bukan seperti perilaku bullying dan agresi.
2. Kemudian, menggunakan alternatif hukuman bagi anak dengan tidak melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis. Selain itu, orang tua mau menjalin relasi dengan sekolah untuk berkonsultasi jika anaknya baik sebagai pelaku bullying ataupun korban.
3. Pihak sekolah menciptakan lingkungan yang positif misalnya dengan adanya praktik pendisiplinan yang tidak menggunakan kekerasan. Selain itu juga, meningkatkan kesadaran pihak sekolah untuk tidak mengabaikan keberadaan bullying.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C A. 2004. Pembelajaran Moral. Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta
Sejiwa. 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo
Sawitri, Dian Ratna. 2011. Bullying waspadalah. Copy at Bullying_Waspadalah.pdf
Bangu, AE. 2007. Waspadai fenomena bullying di sekolah. On line at www.batampos.co.id [accessed at 21/12/2011]
Egi. 2011. Perilaku bullying pada anak sekolah. on line at http://regianamanah.blogspot.com/2011/02/perilaku-bullying-pada-anak-sekolah.html [accessed at 21/12/2011]
Prwanto, Edi. 2010. Alternatif pemecahan perilaku bullying pada anak sekolah dasar. On line at http://jendelapemikiran.wordpress.com/2010/12/01/alternatif-pemecahan-perilaku-bullying-pada-anak-sekolah-dasar/ [accessed at 21/12/2011]
Ubaydillah. 2008. Pengertian bullying. On line at http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528 [accessed at 21/12/2011]
Vivie. 2010. Perilaku bermasalah: bullying. On line at http://bundazone.com/prilaku-bermasalah/bully-dan-bullying/ [accessed at 21/12/2011]
Admin. 2088. Stop bullying. On line at http://www.artiku.com/2008/05/10/stop-bullying/) [accessed at 21/12/2011]
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini kasus kekerasan terhadap anak marak terjadi. Bentuk ancaman atau pemalakan lebih sering muncul dalam beberapa bentuk seperti minta makanan, minta dibuatkan tugas sampai disaat ujian minta untuk diberikan contekan. Kasus lain yaitu berupa ejekan kepada teman-temannya sampai teman yang diejek menangis. Selain itu juga terjadi kebiasaan untuk memanggil temannya dengan nama bapaknya atau bukan nama siswa yang sebenarnya dengan maksud melecehkan.
Seorang teman dengan bangga menceritakan perilaku anak perempuannya yang baru duduk di Sekolah Dasar yang melakukan bullying kepada teman-temannya dengan jalan menguasai alat permainan saat jam istirahat. Seorang anak SD dengan bangga bercerita pada orangtuanya bahwa dia sangat terkenal di sekolahnya karena ditakuti teman-temannya. “Saya yang adalah ketua geng di sekolah,” kata anak itu dengan bangga.
Umumnya para orangtua, guru dan masyarakat mengganggap fenomena bullying di sekolah adalah hal biasa dan baru meresponnya jika hal itu telah membuat korban terluka hingga membutuhkan bantuan medis dalam hal bullying fisik. sementara bullying sosial, verbal dan elektronik masih belum ditanggapi dengan baik. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman akan dampak buruk dari bullying terhadap perkembangan dan prestasi anak di sekolah dan tidak adanya atau belum dikembangkannya mekanisme anti bullying di sekolah kita. Selain itu anak-anak juga masih jarang diberikan pemahaman tentang bullying dan dampaknya.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Perilaku Bullying pada Anan SD”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena diatas, maka bisa dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan perilaku bullying?
2. Apa saja yang melatar belakangi anak SD melakukan tindakan bullying?
3. Bagaimana solusi terhadap masalah yang timbul akibat perilaku bullying pada anak SD?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah tentang perilaku bullying pada anak SD ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah permasalahan anak SD.
2. Untuk mencari tau berbagai macam hal yang melatar belakangi perilaku bullying yang dilakukan oleh anak SD.
3. Untuk mencari kemungkinan solusi terkait masalah bullying yang dilakukan oleh anak SD.
D. Manfaat
Manfaat yang bisa diperoleh dari makalah tentang perilaku bullying pada anak SD ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui secara konsep apa yang dimaksud dengan perilaku bullying.
2. Mengetahui hal-hal dan faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi anak melakukan tindakan bullying.
3. Mengetahui jalan keluar atau kemungkinan solusi bagi permasalahan perilakau bullying yang dilakukan oleh anak SD.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bullying
Pengertian perilaku bullying masih menjadi perdebatan dan belum menemukan suatu definisi yang diakui secara universal, sehingga belum ada pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari (Sejiwa, 2008: 2). Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan yang destruktif.
Berbeda dengan negara lain, seperti di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Finlandia yang menyebutkan bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak dan terlibat kekerasan.
Sedangkan Edi Purwanto (dalam http://jendelapemikiran.wordpress.com/2010/12/01/alternatif-pemecahan-perilaku-bullying-pada-anak-sekolah-dasar/), menyebut bullying dengan istilah victimization dan peer exclusion untuk menggambarkan perilaku bullying. Tattum (dikutip, Smith, Pepler and Rigby, 2007: 5) memandang bahwa bullying adalah keinginan untuk menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan yaitu orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil.
Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek, bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya, dan peristiwanya mungkin terjadi berulang.
Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Sejiwa (2008: 1) yang menyatakan bahwa bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang, untuk menunjukkan kekuasaannya. Dalam hal ini sang korban tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.
Hal yang penting disini bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi apa dampak tindakan tersebut terhadap korbannya. Misalnya, seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar; bila yang didorong merasa terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tak merasa takut atau terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan bullying (Sejiwa, 2008: 2).
Bullying juga harus dibedakan dari tindakan atau perilaku agresif lainnya. Pembedaannya adalah tidak bisa dikatakan bullying jika seseorang menggoda orang lain secara bercanda, perkelahian yang terjadi hanya sekali, dan perbuatan kasar atau perkelahian yang tidak bertujuan untuk menyebabkan kehancuran atau kerusakan baik secara material maupun mental. Selain itu tidak bisa dikatakan bullying jika termasuk perbuatan kriminal seperti penyerangan dengan senjata tajam, kekerasan fisik, perbuatan serius untuk menyakiti atau membunuh, pencurian serius, dan pelecehan seksual yang dilakukan hanya sekali.
Definisi yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus (dalam http://jendelapemikiran.wordpress.com/2010/12/01/alternatif-pemecahan-perilaku-bullying-pada-anak-sekolah-dasar/) yang menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku negatif terhadap seorang atau lebih siswa lain. Tindakan negatif disini adalah ketika seseorang secara sengaja melukai atau mencoba melukai, atau membuat seseorang tidak nyaman. Intinya secara tidak langsung tersirat dalam definisi perilaku agresif.
Berdasarkan beberapa pengertian bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan siswa tersebut yang berlangsung secara sistematis disebut dengan istilah bullying. Bullying sendiri didefinisikan sebagai tindakan menyakiti secara fisik dan psikis secara terencana oleh pihak yang merasa lebih berkuasa terhadap yang lemah (Kompas, 2007). Istilah lain untuk bullying adalah peer victimization dan hazing. Bullying secara sederhana diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok, misalnya kelompok siswa satu sekolah, itulah sebabnya disebut sebagai peer victimization. Sedangkan hazing adalah perilaku yang sama namun dilakukan oleh anggota yang lebih senior kepada yuniornya. Kasus lain dari bullying yang berkenaan dengan kegiatan orientasi sekolah untuk siswa baru, dimana siswa senior sering “membenarkan diri” memerintah adik-adik kelasnya yang baru masuk.
B. Macam-macam Bullying
Menurut Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf), Perilaku bullying sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu bullying fisik dan bullying non-fisik.
1. Bullying fisik adalah bullying yang bisa terlihat jelas. Bullying fisik ini dapat berbentuk seperti pukulan, tendangan, dibenturkan tembok, tamparan, dorongan, serta serangan fisik lainnya.
2. Bullying non fisik adalah bentuk bullying yang tidak terlihat langsung dan berdampak serius, dapat dilakukan secara verbal dan non verbal. Ejekan, panggilan dengan sebutan tertentu, ancaman, penyebaran gosip, penyebaran berita rahasia, perkataan yang mempermalukan, tergolong aksi verbal. Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan dan bahasa tubuh yang mengancam merupakan aksi nonverbal yang dilakukan secara langsung. Sedangkan pengabaian, penyingkiran dari kelompok, serta pengiriman pesan tertulis yang bernada mengganggu, dan merebut pacar, termasuk aksi nonverbal secara tidak langsung. Bullying dapat pula berbentuk pengrusakan atau perampasan barang milik korban, seperti penyobekan, pencoretan, embantingan, perebutan, dan pencurian. Para pelaku laki-laki cenderung lebih banyak melakukan aksi fisik dibandingkan pelaku perempuan yang lebih memilih melancarkan aksi nonfisik.
C. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Bullying
Menurut Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf), Bullying melibatkan beberapa pihak. Pertama, tentu saja pelaku, yang biasanya bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, mendapatkan kepuasan setelah unjuk kekuatan, balas dendam, namun bisa juga tadinya ia iseng, coba-coba, dan ‘berhasil’, sehingga ingin mengulang kembali keberhasilannnya tersebut. Pelaku ada yang memang terkenal bengal, prestasi belajarnya kurang baik, dan suka membuat onar, sehingga orang lain menganggap tidak aneh apabila ia melakukan bullying. Namun, ada pula pelaku yang merupakan anak berprestasi baik dan tampak alim, yang mampu menutupi aksinya sedemikian rupa, sehingga orang lain tidak menyangka bila ia adalah pelaku. Para pelaku ada pula yang juga menjadi korban pada saat yang sama dalam setting yang berbeda, misalnya di sekolah menjadi pelaku, tapi di rumah menjadi korban.
Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf) menambahkan, Pihak berikutnya adalah korban. Korban ada yang bersifat pasif yang senantiasa menuruti permintaan pelaku, ada pula yang provokatif, mencoba melawan atau menampilkan diri dan menunjukkan perilaku tertentu secara menonjol yang memancing pelaku melakukan aksi kekerasan. Korban biasanya memiliki karakteristik tertentu yang menarik perhatian atau oleh pelaku ‘dianggap berbeda’ dibandingkan teman sebayanya, sehingga memicu pelaku untuk melakukan bullying. Korban bisa dianggap berbeda secara fisik, seperti memiliki paras wajah, warna kulit, susunan gigi, jenis rambut tertentu, atau tinggi badan dengan ukuran tertentu. Korban dapat pula menunjukkkan perilaku tertentu, seperti cara berjalan atau logat bicara. Latar belakang korban, seperti kondisi keluarga, status sosial ekonomi, lingkungan tempat tinggal, atau hal-hal lain yang menyangkut orang tua, selain juga hal-hal yang terkait dengan sekolah, misalnya kemampuan membaca, prestasi di sekolah, dapat juga menjadi bahan ejekan atau kondisi yang memancing pelaku melakukan bullying. ‘Kesalahan’ pada korban dapat pula dicari-cari, misalnya dianggap ‘melanggar tradisi’ dengan berpenampilan yang dirasa terlalu menor, terlalu rapi karena memakai gel rambut dan minyak wangi, tidak ‘nongkrong’ seperti kakak kelas, dan sebagainya. Korban yang merahasiakan tindakan bullying terhadapnya, biasanya memiliki alasan sebagai berikut. Bila bercerita kepada orang lain, ia takut akan terjadi sesuatu yang lebih buruk dan takut dikucilkan. Ia mungkin juga berharap pelaku akan menyukainya. Korban dapat pula tidak percaya pada guru, tidak ingin membuat orang tua khawatir, bahkan ada pula diantaranya yang merasa bahwa dirinya juga patut disalahkan.
Pihak ketiga yang terlibat adalah bystanders. Bystander terdiri dari empat tipe, sidekick, reinforcer, outsider, atau defender, yang secara berurutan berarti berperan membantu pelaku secara langsung dalam memperdaya korban, menyemangati pelaku misalnya bertepuk tangan atau bersorak, bersifat acuh tak acuh ketika terjadi bullying, atau melakukan pembelaan terhadap korban. Peran bystander sebetulnya berkontribusi menentukan apakah bullying akan berlanjut atau tidak. Kekuatan bystander dapat menghentikan bullying, namun parahnya bila mereka acuh tak acuh atau bahkan membantu dan menguatkan aksi pelaku, bullying pun tak terbendung.
D. Gejala/ciri-ciri Korban dan Pelaku Bullying
Ubaydillah (dalam http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528) mengungkapkan bahwa berdasarkan penjelasan sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri "ter", misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya, dan seterusnya. Di bukunya Barbara Colorosa (The bully, The bullied, dan The bystander: 2004), ciri-ciri yang terkait dengan korban itu antara lain:
1. Anak baru di lingkungan itu.
2. Anak termuda atau paling kecil di sekolah.
3. Anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut.
4. Anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin menyenangkan.
5. Anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain.
6. Anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah.
7. Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain.
8. Anak yang paling miskin atau paling kaya.
9. Anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah.
10. Anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah.
11. Anak yang agamanya dipandang rendah.
12. Anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain.
13. Anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma.
14. Anak yang siap mendemontrasikan emosinya setiap waktu.
15. Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
16. Anak yang memakai kawat gigi atau kacamata.
17. Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.
18. Anak yang memiliki kecacatan fisik atau keterbelakangan mental.
19. Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk).
Sedangkan untuk para pelaku, mereka umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suka mendominasi anak lain.
2. Suka memanfaatkan anak lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
3. Sulit melihat situasi dari titik pandang anak lain.
4. Hanya peduli pada keinginan dan kesenangannya sendiri, dan tak mau peduli dengan perasaan anak lain.
5. Cenderung melukai anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.
6. Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai sasaran.
7. Tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya.
8. Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan atau masa bodoh terhadap akibat dari perbuatannya.
9. Haus perhatian.
E. Penyebab Perilaku Bullying
Menurut Egi (dalam http://regianamanah.blogspot.com/2011/02/perilaku-bullying-pada-anak-sekolah.html) yang bisa menyebabkan anak berperilaku bully menurut Herlina adalah perpaduan dari faktor internal dan eksternal.
1. Faktor internal
Secara internal, memang setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan penyataan diri dan aggressiveness dalam dirinya, hanya kapasitasnya saja yang berbeda-beda. Perilaku bully dapat terjadi bila kemudian faktor internal ini distimuli oleh faktor-faktor eksternal.
Pada Workshop Nasional Anti-bullying 2008 diungkapkan bahwa salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah adanya harga diri yang rendah. Harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang dan biasanya tetap tentang dirinya. Hal itu menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga.
Berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan anak ditengarai disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif. Sikap saling menghargai, menolong, berempati, jujur, lemah lembut dan sebagainya tidak jarang hilang dari pribadi anak. Sebaliknya, mereka justru akrab dengan hal-hal yang negatif seperti kekerasan, kebohongan, licik, egois dan sebagainya.
Fase perkembangan pemahaman moral anak terdiri dari 6 fase dan tingkatan itu tidak berkorelasi dengan meningkatnya usia seseorang. Seorang anak yang memiliki pemahaman moral yang tinggi, maka kecenderungan melakukan tindakan yang melanggar norma seperti mengejek, memukul, menendang temannya lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan pemahaman moral bahwa hal-hal tersebut merupakan tindakan yang tidak baik dan melanggar moral. Semakin seorang individu memiliki tingkat pemahaman moral yang tinggi akan mengurangi perilaku menyimpangnya.
Harga diri yang rendah dan pemahaman moral anak yang rendah memunculkan perilaku bullying. Anak yang melakukan bullying pada temannya karena anak ingin mendapatkan perhargaan dari temannya dan anak belum memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang umumnya paling mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan dan jenis tontonan. Anak berperilaku bullying itu biasanya datang dari beberapa macam keluarga. Pertama, keluarga yang sangat memanjakan anak. Apa pun keinginan anak dituruti, sehingga anak merasa powerful dan bisa mengatur orang lain. Hal ini terekam hingga pada waktu sekolah atau bergaul pun anak mencari teman-temannya yang bisa ditindas atau dimanfaatkan. Dalam hal ini kasusnya adalah anak menjadi over-confident atau terlalu percaya diri.
Perilaku bullying juga bisa muncul pada anak-anak yang kurang percaya diri. Hal ini bisa datang dari keluarga yang terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah, tapi kenyataannya banyak kebutuhan-kebutuhan emosional yang tidak didapat oleh si anak, seperti perasaan disayang, diperhatikan, juga rasa dihargai. Biasanya terjadi pada keluarga yang tidak berfungsi atau broken home dimana anak memang kurang perhatian. Akibatnya anak memiliki self esteem dan self confident rendah, konsep dirinya pun negative.
Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi anak untuk berperilaku bully melalui berbagai cara. Yang pertama anak bisa meniru perilaku buruk yang dilihat dari lingkungannya yaitu baik di lingkungan rumah (perilaku kedua orang tuanya) ataupun lingkungan sekolah (perilaku yang berasal dari teman-temannya). Selain itu lingkungan juga dapat memberikan penguatan atau reinforcement pada anak untuk bersikap bully. Bukan hanya itu, sebenarnya lingkungan yang mengabaikan atau mentolerir sikap bully anak juga dapat menjadi penguat.Guru atau orangtua yang tidak berbuat apa-apa akan membuat anak merasa bahwa tindakannya tidak salah.
Stimulan lainnya dari luar anak bisa datang dari jenis tontonannya. Serupa dengan contoh dari lingkungan, anak juga memiliki kecenderungan mengimitasi apa yang dilihatnya dari tayangan yang ditonton. Sekali lagi orangtua berperan penting untuk benar-benar mengawasi segala tontonan anak, baik di televisi, games, film bioskop, internet dan lain sebagainya.
F. Dampak Perilaku bullying
Menurut Vivie (dalam http://bundazone.com/prilaku-bermasalah/bully-dan-bullying/) akibat dari tindakan bullying ini tidak dapat dikatakan main-main. Ianya mengganggu perkembangan sosial dan emosional anak mulai dari yang ringan, sedang hingga yang serius dan mampu berakibat pada kematian. Yakni:
1. Prestasi belajar menurun.
2. Phobia sekolah.
3. Gelisah, sulit tidur.
4. Gangguan makan.
5. Menyendiri, mengucilkan diri.
6. Sensitive, lekas marah.
7. Agresif , bersikap kasar pada orang lain (contoh : pada kakak atau adik bahkan orang tua).
8. Depresi.
9. Hasrat bunuh diri (Data dari Jepang dinyatakan bahwa 10% korban bullying mencoba bunuh diri).
Menurut Admin (dalam http://www.artiku.com/2008/05/10/stop-bullying/) bullying berdampak menurunkan tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai-nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal dibanding yang tidak melakukan bullying. Tindakan ini juga masih menjadi masalah tersembunyi yang tidak disadari oleh para pendidik dan orang tua murid.
bullying adalah masalah kesehatan publik yang perlu mendapatkan perhatian karena orang-orang yang menjadi korban bullying kemungkinan akan menderita depresi dan kurang percaya diri. Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul. Merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi anak tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan kesehatan mental maupun fisik jangka pendek maupun panjang akan terpengaruh.
Sedangkan menurut Bangu (2007: 2), anak korban bullying sering menampakkan sikap: mengurung diri atau menjadi school phobia, minta pindah sekolah, konsentrasi berkurang, prestasi belajar menurun, suka membawa barang-barang tertentu (sesuai yang di minta si pelaku bullying). Anak jadi penakut, gelisah, tidak bersemangat, menjadi pendiam, mudah sensitif, menyendiri, menjadi kasar dan dendam, mudah cemas, mimpi buruk, melakukan perilaku bullying kembali terhadap orang lain.
Dian Ratna Sawitri (dalam Bullying_Waspadalah.pdf) Bullying dapat mengakibatkan korban merasa cemas, mengalami gangguan tidur, sedih berkepanjangan, menyalahkan diri sendiri, depresi, bahkan bunuh diri. Terkait dengan aktivitas sekolah, korban dapat pula sering absen,terisolasi secara sosial, prestasinya menurun, atau mengalami drop-out. Beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa korban bullying pada 4 tahun berikutnya berpotensi menjadi pelaku. Sedangkan pada para pelaku bullying, mereka beresiko tinggi terlibat kenakalan dan tindakan kriminal serta berpotensi mengalami hambatan penyesuaian diri dan sosial. Tidak hanya sampai di situ, bullying juga meresahkan para orang tua dan masyarakat dan ketika terjadi di sekolah, tingkat kepercayaan mereka pada institusi pendidikan menjadi menurun.
G. Analisis Perilaku Bullying di Sekolah Dasar
Berbagai usaha yang dapat kita lakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying di sekolah diantaranya: Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang bullying dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan pengerti apa itu bullying dan dampaknya.
Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban bullying di setiap sekolah. Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying dan sebagainya.
Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah.
Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap ini.
Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.
Peran pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap isu bullying di sekolah serta berupaya membangun kapasitas aparaturnya dalam mengatasi isu ini. Langkah strategis yang perlu diambil adalah memasukkan isu ini ke dalam materi pelatihan guru serta mengembangkan program anti bullying di tiap sekolah. Dalam kasus tertentu bullying bisa bersentuhan dengan aspek hukum, maka melibatkan aparat penegak hukum dalam program anti bullying akan sangat efektif.
Sekolah sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan bangsa sudah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman dan bermartabat bagi anak-anak kita sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan demikian maka kita telah mempersiapkan generasi mendatang yang unggul dan siap menjadi warga negara yang baik.
H. Penanganan Terhadap Korban dan Pelaku Bullying
Ubaydillah (dalam http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528) mengngkapkan bahwa kedua belah pihak dalam kasus bullying perlu mendapatkan pertolongan, baik yang tertindas atau yang menindas. Menolong yang tertindas bisa dilakukan dengan membebaskan mereka dari ketertindasan. Ini penting sebab jika si korban tidak segera ditolong, akibat yang paling fatal bisa meninggal dunia.
Dari kajian para ahli, jika korban bullying itu dibiarkan atau tidak mendapatkan penanganan, mereka akan depresi, mengalami penurunan harga diri, menjadi pemalu, penakut, prestasinya jeblok, mengisolasi diri, atau ada yang mau mencoba bunuh diri karena tidak tahan (Stop Bullying, Kidscape: 2005). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu korban bullying diantaranya:
1. Yakinkan bahwa kita akan berada di sisinya dalam mengatasi masalah ini.
2. Ajari si anak untuk menjadi orang baik namun juga tidak takut melawan kesombongan.
3. Galilah inisiatif dari si anak tentang cara-cara yang bisa ditempuh. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri si anak atau ajukan beberapa usulan.
4. Rancanglah pertemuan dengan pihak sekolah.
5. Jangan lupa membawa penjelasan yang faktual dan detail. Misalnya bukti fisik, harinya, prosesnya, nama anak-anaknya, tempat kejadiannya, dan lain-lain. Kalau bisa, cari juga dukungan dari wali murid lain yang anaknya kerap menjadi korban.
6. Usahakan dalam pertemuan itu muncul kesepakatan yang pasti akan dijalankan dan akan membuat anak aman dari penindasan. Maksudnya, jangan hanya puas mengadu dan puas diberi janji.
7. Akan lebih sempurna jika pihak sekolah mau memfasilitasi pertemuan dengan wali yang anaknya pelaku dan yang anaknya menjadi korban untuk ditemukan solusinya.
Yang perlu kita hindari adalah praktek menyalahkan atau menyudutkan si anak. Misalnya mengatakan, kamu sih yang mancing, kamu sih yang nggak mau mengerti, dan seterusnya. Kesalahan ada pada pelaku, bukan pada korban. Hindari juga membuat rasionalisasi yang meremehkan, misalnya kita mengatakan, wah digituin aja sedih, jangan cengeng dong, dia kan hanya bercanda, dan seterusnya. Terus, jangan juga langsung meledak dan ngamuk. Ini malah membuat anak enggan bercerita. Galilah dari si anak sebanyak mungkin.
Dilain pihak, pelaku bullying juga perlu mendapatkan pertolongan. Membantu pelaku adalah dengan mencegahnya. Pencegahan ini bisa diajarkan dengan cara-cara di bawah ini:
1. Beri disiplin. Jelaskan bahwa menindas itu perbuatan salah, ajari untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, misalnya minta maaf, mengontrol proses agar tidak mengulangi lagi, dan meyakinkan dirinya bahwa dia bukan orang jahat. Dia hanya butuh belajar untuk menjadi orang yang lebih baik.
2. Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik kepada keluarga atau teman-temannya di sekolah, misalnya mengundang hari ulang tahun, berbagi, dan seterusnya.
3. Tumbuhkan empati, misalnya menjenguk atau menelpon yang sakit, membantu yang membutuhkan, mengutarakan kata-kata yang baik.
4. Ajari keterampilan berteman dengan cara-cara yang asertif, sopan, dan tenang. Tunjukkan bahwa memaksa orang lain itu tidak baik.
5. Pantaulah acara televisi yang ditonton mereka, video game yang dimainkan, aktivitas-aktivitas komputer yang mereka lakukan, dan musik yang mereka dengarkan atau mainkan. Jika berbau kekerasan, ajarilah untuk mengganti secara bertahap.
6. Libatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih konstruktif, menghibur, dan menggairahkan.
7. Ajari anak Anda untuk beritikad baik kepada anak lain.
8. Hindari kekerasan dalam bentuk apapun ketika memperlakukan mereka. Kekerasan seringkali melahirkan kekerasan.
9. Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
10. Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.
11. Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.
Bullying sudah menjadi masalah global yang kemudian tidak bisa kita abaikan lagi. Banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk meyelamatkan perkembangan psikologis anak-anak dan remaja kita. Kekerasan sejak dini bukan merupakan bagian dari perkembangan psikologis mereka, oleh sebab itu banyak elemen harus ikut terlibat, baik orang tua, pihak sekolah, bahkan pemerintah.
I. Terapi Melaui Konseling Behavior
Selama ini beberapa upaya telah dilakukan oleh sekolah bagi pelaku pelaku bullying, yaitu pemberian hukuman sanksi dan panggilan orang tua ke sekolah untuk bekerja sama memberikan penanganan. Sejauh ini hasil yang dicapai belum maksimal, karena menurut pengamatan penulis, perubahan sikap dan perilaku pelaku bullying hanya sementara. Karena mereka kembali mengulang perbuatannya dilain hari.
Untuk membantu penanganan masalah bullying ini penulis mencoba menawarkan konsep konseling behavioral. Menurut Gerald corey bahwa: “terapi tingkah laku (konseling behaviour) adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Sedangkan menurut Kramboltz dan Khoresen yang di kutip oleh H. Moch Surya (1992) bahwa “Terapi behaviour adalah suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan kepentingan tertentu”. Penekanan istilah belajar dalam pengertian ini ialah atas pertimbangan bahwa konselor membantu orang (konseli) belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan membantu dalam proses belajar menciptakan konvisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya.
Penggunaan konseling behavioral sebagai alternatif pemecahan masalah, menurut penulis karena mengingat konseling behavioral memiliki konsep-konsep dasar sebagai berikut :
1. Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupan dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
2. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
3. Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar (pembiasaan klasik, pembiasaan operan dan peniruan).
4. Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang diperolehnya.
5. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi- kondisi pembentuk tingkah laku.
Dengan melihat keunggulan konseling behavioral tersebut diatas, penulis berharap dapat meminimalisir pelaku bullying di institusi sekolah, sehingga sekolah dapat menjadi tempat belajar yang aman, menyenangkan, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial maupun emosional
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-curi kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa tidak nyaman/terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi ini akan berulang menimpanya.
Penyebab seorang anak melakukan tindakan bullying adalah karena faktor internal yang meliputi kebutuhan penyataan diri, aggressiveness dalam dirinya, harga diri anak, dan pemahaman anak tentang moral. Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor eksternal, yang meliputi keluarga, lingkungan dan jenis tontonan.
Berbagai macam alternatif yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah perilaku bullying pada anak adalah salah satunya dengan konseling behavioral. atas pertimbangan bahwa konselor membantu orang (konseli) belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan membantu dalam proses belajar menciptakan konvisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya
B. Saran
Beberapa saran yang dapat diajukan diantaranya:
1. Orang tua membiasakan diri memberikan feedback positif bagi anak sehingga mereka belajar untuk berperilaku sosial yang baik dan mereka mendapatkan model interaksi yang tepat bukan seperti perilaku bullying dan agresi.
2. Kemudian, menggunakan alternatif hukuman bagi anak dengan tidak melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis. Selain itu, orang tua mau menjalin relasi dengan sekolah untuk berkonsultasi jika anaknya baik sebagai pelaku bullying ataupun korban.
3. Pihak sekolah menciptakan lingkungan yang positif misalnya dengan adanya praktik pendisiplinan yang tidak menggunakan kekerasan. Selain itu juga, meningkatkan kesadaran pihak sekolah untuk tidak mengabaikan keberadaan bullying.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C A. 2004. Pembelajaran Moral. Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta
Sejiwa. 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo
Sawitri, Dian Ratna. 2011. Bullying waspadalah. Copy at Bullying_Waspadalah.pdf
Bangu, AE. 2007. Waspadai fenomena bullying di sekolah. On line at www.batampos.co.id [accessed at 21/12/2011]
Egi. 2011. Perilaku bullying pada anak sekolah. on line at http://regianamanah.blogspot.com/2011/02/perilaku-bullying-pada-anak-sekolah.html [accessed at 21/12/2011]
Prwanto, Edi. 2010. Alternatif pemecahan perilaku bullying pada anak sekolah dasar. On line at http://jendelapemikiran.wordpress.com/2010/12/01/alternatif-pemecahan-perilaku-bullying-pada-anak-sekolah-dasar/ [accessed at 21/12/2011]
Ubaydillah. 2008. Pengertian bullying. On line at http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528 [accessed at 21/12/2011]
Vivie. 2010. Perilaku bermasalah: bullying. On line at http://bundazone.com/prilaku-bermasalah/bully-dan-bullying/ [accessed at 21/12/2011]
Admin. 2088. Stop bullying. On line at http://www.artiku.com/2008/05/10/stop-bullying/) [accessed at 21/12/2011]