Selasa, 07 Juni 2011

UNJUK KERJA KONSELOR


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Sejak lahirnya sebagai Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada bulan Desember 1975 di Malang, organisasi profesi bimbingan dan konseling di Indonesia ini selalu berupaya mengatur diri sendiri. Berbagai upaya untuk menata profesi dan layanan bimbingan dan konseling di tanah air terus dilakukan, terakhir dengan penerbitan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI), yang disahkan melalui surat keputusan nomor 0011 tahun 2005 pada tanggal 25 Agustus 2005 dalam rapat Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling (PB ABKIN) di Bandung. Dalam pertemuan ketua-ketua Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling LPTK-LPTK negeri se Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 10-12 Pebruari tahun 2006 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), disepakati untuk meng-gunakan SKKI sebagai rujukan dalam pengembangan kurikulum program studi S-1 Bimbingan dan Konseling di lembaga masing-masing.
Didorong oleh kehendak untuk melakukan penataan diri secara menyeluruh itu, PB ABKIN menyelenggarakan Rakernas dengan melibatkan semua komponen dalam tubuh ABKIN pada tanggal 4 – 7 Januari 2006 di Wisma UNJ, Rawamangun Jakarta. Pada Rakernas itu, Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi berkenan memberikan audiensi kepada segenap peserta Rakernas di Wisma UNJ mulai pukul 10.00 WIB pada tanggal 6 Januari 2006 dan memberikan arahan serta dorongan untuk dilakukannya Penataan Pen-didikan Profesional Konselor. Peserta Rakernas menyambut dengan sungguh-sungguh arahan dan dorongan tersebut dengan merancang 7 kegiatan, dan hasil dari kegiatan tersebut dibawa ke Konvensi Nasional ABKIN yang ke XV yang diselenggarakan pada tanggal 4 - 6 Juli 2007 di Palembang. Adapun ketujuh dokumen yang dimaksud adalah: (1) Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor, (2) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Konselor Pra-jabatan, (3) Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling khususnya dalam jalur Pendidikan Formal, (4) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Sertifikasi Konselor Dalam-jabatan, (5) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor, (6) Rambu-rambu Penyetalaan (fine tuning) Kemampuan Pendidik Konselor Dalam Jabatan, (7) Pedoman Penerbitan Izin Praktek bagi Konselor.
Dengan demikian, penyelesaian ketujuh dokumen ini merupakan upaya Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) untuk mengatur diri secara menyeluruh, dan walaupun upaya saat ini tidak lepas dari upaya-upaya sebelumnya, namun berbeda dari upaya pengaturan diri sebelumnya. Ketujuh dokumen ini merupakan pengaturan diri secara sistemik. Bermula dari Penataan Pendidikan Profesional Konselor yang diposisikan sebagai entry point, ketujuh dokumen yang dihasilkan itu menyediakan bingkai pikir yang terintegrasi bagi semua pihak terkait dalam menyerasikan pemikiran serta mensinergikan program-program tindakannya di masa yang akan datang, sehingga membuahkan peningkatan mutu layanan Bimbingan dan Konseling yang memandirikan khususnya, dan peningkatan mutu pendidikan khususnya pada jalur pendidikan formal, sebagaimana yang menjadi kehendak bersama. Salah satu permasalahan kunci yang memerlukan penataan secepatnya adalah bahwa, dewasa ini Kompetensi Pendidik Konselor yang mengawaki Jurusan/ program studi Bimbingan dan Konseling di LPTK-LPTK di tanah air sangat beragam sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan Program S-1 Bimbingan dan Konseling yang dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) sehingga mampu menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing minimum di tingkat nasional. Selain jajaran Pendidik Konselor yang dihasilkan Program S-2 dan S-3 Bimbingan dan Konseling sebelum diberlakukannya ketentuan-ketentuan yang diturunkan dari Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor, juga terdapat sejumlah lulusan program PPK yang telah berhasil meraih gelar profesi Konselor, namun yang kualifikasi masukannya terbuka terentang dari jenjang S-1 sampai dengan jenjang S-3 karena persyaratan kualifikasi pesertanya adalah lulusan Program S-1 Bimbingan dan Konseling. Selain itu, yang juga jelas adalah bahwa jajaran tenaga akademik lulusan PPK yang telah meraih gelar profesi Konselor itupun, juga secara kurikuler belum disiapkan untuk menguasai secara utuh Perangkat Kompetensi Profesional Pendidik Konselor yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Naskah Akademik Penataan Pendidik Profesional Konselor, yang telah disebutkan. Dengan kata lain, kecuali memiliki kemampuan sebagai pendidik yang membina program pembelajaran dalam Program S-1 Bimbingan dan Konseling, lulusan Program S-2 atau S-3 Bimbingan dan Konseling sebelum diberlakukannya ketentuan dalam Naskah Akademik Penataan Pendidik Profesional Konselor itu, belum dirancang untuk memiliki kemampuan untuk (1) memelihara mutu kinerja Program S-1 Bimbingan dan Konseling yang diampunya, dan (2) kemampuan untuk menyelia penyelenggaraan Program Pendidikan Profesi Konselor, sehingga belum dilengkapi dengan kemampuan untuk mengemban secara utuh tridharma perguruan tinggi dalam bidang Bimbingan dan Konseling, meskipun secara formal kualifikasi akademiknya sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu kepemilikan ijasah akademik pada jenjang S-2 dan S-3 dalam Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam Rakernas, namun untuk menata kembali kemampuan profesional konselor di tanah air, maka juga perlu dilakukan penyetalaan (fine tuning) antara kemampuan Pendidik Konselor di tanah air dengan Standar Kompetensi Profesional Pendidikan Konselor sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor yang telah disebutkan, sebagai salah satu langkah strategis dari keseluruhan program pengaturan diri ABKIN.

B.      RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat diperoleh beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:
1.     Bagaimana dan apa saja standar kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang konselor ?
2.     Bagaimana cara seorang konselor mendapatkan akreditasi konselor, izin praktek konselor, dan setifikasi ?
3.     Bagaimana unjuk kerja konselor di sekolah dalam menunaikan tugasnya sebagai guru bimbingan dan konseling ?



















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Standar Kompetensi Konselor
Sosok utuh kompetensi konselor sebagaimana diisyaratkan, dan sebagaimana lazimnya dalam profesi lain, sosok utuh kompetensi konselor terdiri atas 2 komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional.
1.       Kompetensi Akademik Konselor Profesional
Sebagaimana halnya layanan ahli bidang lain seperti akuntansi, notariat dan layanan medik, kompetensi akademik konselor yang utuh diperoleh melalui Program S-1 Pendidikan Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds.)1990). Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan profesional konsekutif sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan profesional guru. Kompetensi akademik seorang Konselor Profesional terdiri atas kemampuan:
a.       Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani. Sosok kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi bukan saja kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai Inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerikal-matematik yang lazim dinyatakan sebagai IQ yang mengedepankan kemampuan berpikir analitik, melainkan juga seyogyanya melebar ke segenap spektrum kemampuan intelektual manusia sebagaimana dipaparkan dalam gagasan inteligensi multipel (Gardner, 1993) selain juga menghormati keberadaan kemampuan berpikir sintetik dan kemampuan berpikir praktikal di samping kemampuan berpikir analitik yang telah dikenal luas selama ini (Sternberg, 2003), motivasi dan keuletannya dalam belajar dan/atau bekerja (perseverance, Marzano, 1992) yang diharapkan akan menerus sebagai keuletan dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.l. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka pikir yang memper-hadapkan karakteristik konseli yang telah bertum-buh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau pemfasilitasian (helping professions), dalam upayanya mengenal secara mendalam konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyikapan yang empatik, mengormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan ahlinya.
b.       Menguasai khasanah teoretik dan prosedural termasuk teknologi dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoretik dan prosedural serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt, Z dan J. Hayslip, 2001) mencakup kemampuan :
1)   Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
2)   Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
c.       Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan. Untuk menyeleng-garakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan (Gysbers, N. C. dan P. Henderson, 2006), seorang konselor harus mampu :
1)   Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling
2)   Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling
3)   Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian sambil jalan (mid-course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).
d.       Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan.
Sebagai pekerja profesional yang mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan-nya, Konselor perlu membiasakan diri mengguna-kan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka pikir belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam menyeleng- garakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut. Kompetensi akademik sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikuasai melalui pendidikan akademik dengan menu kurikuler yang mencakup kajian tentang Pedagogi, Psikologi Perkembangan, Psikologi Belajar, Bimbingan dan Konseling serta beberapa bidang penunjang seperti Filsafat Pendidikan, Sosiologi, Antropologi budaya, Dinamika Kelompok, Budaya Organisasi Kelas dan Sekolah, di samping kajian tentang program pendidikan dalam sistem pendidikan formal, Strategi Bimbingan dan Konseling serta Strategi Pembelajaran, Asesmen bakat dan minat konseli di samping asesmen proses dan hasil pembelajaran, Dinamika Kelompok, Pengelolaan Kelas dan sebagainya, dengan beban studi minimum 144 SKS.
Asesmen Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan dan Konseling
Penguasaan Kompetensi Akademik dalam bimbingan dan konseling sebagaimana digambarkan di atas dapat ditagih melalui ujian tertulis baik yang berupa tes pilihan (multiple choice) yang sangat efektif untuk melakukan survai kemampuan yang dimiliki serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok calon konselor yang berjumlah besar maupun melalui berbagai asesmen individual untuk mengases kemampuan dan minat serta permasalahan yang dihadapi oleh calon konselor sebagai perorangan. Demi tranparansi, sarana uji kompetensi akademik ini dapat dikembangkan secara terpusat dan dimutakhirkan serta divalidasi secara berkala dengan memanfaatkan teknologi yang relevan di bidang asesmen. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi calon konselor, dianugerahi ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling. Ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling ini merupakan pra-syarat untuk diperkenankan mengikuti Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan selama dua semester.
2.       Kompetensi Profesional Konselor
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice) sampai dengan latihan mandiri (self-initiated practice) dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan Konselor Pamong15 (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan profesional konselor, maka kriteria utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuhan kemampuan calon konselor dalam menggunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil (minute if-then decisions atau tacit knowledge) yang dibingkai kearifan dalam mengorkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan. Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam pertumbuhan penguasaan kiat profesional dalam penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh profesional konselor sebagai praktisi yang aman buat konseli (safe practitioner (lihat kembali, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, 2003; Schone, 1983; Corey, 2001; Hogan-Garcia, 2003; Sternberg, 2003).
Namun di pihak lain, meskipun tergambarkan dengan sangat indah secara teoretik, juga perlu diakui kelemahan-kelemahan implementasinya selama ini, dan bertolak dari kenyataan itu, perlu diupayakan pengatasannya di masa yang akan datang, sehingga amanat penyelenggaraan pendidikan pra-jabatan konselor yang berujung kepada penganugerahan Sertifikat Konselor itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Ini juga berarti bahwa penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan itu memerlukan perhatian lebih dari yang diberikan di waktu yang lalu. Selain itu, juga sangat diperlukan dukungan dari pihak pengelola sekolah dan arena praktik lapangan lainnya, sebab berbeda dari pendidikan medik yang didukung penuh oleh rumah sakit setempat, pelaksanaan PPL LPTK umumnya kurang mendapat sambutan dari pihak sekolah, meskipun agaknya kesalahan juga terdapat di pihak LPTK.16 Akan tetapi yang jelas, dengan diberlakukannya Kebijakan Sertifikasi Konselor, maka tanggung jawab juga seyogyanya secara proporsional dipikul oleh pihak sekolah dan arena praktek lapangan lainnya, sebab peluang bagi terhasilkannya konselor yang handal itu akan tertutup tanpa kerja sama baik di antara LPTK dengan sekolah dan arena praktek lapangan lainnya sebagai dua pihak yang paling berkepentingan (stakeholders), karena sebagaimana halnya pendidikan medik yang tidak mungkin terhasilkan dokter yang handal apabila rumah sakit menolak memberikan kerja sama penuh dalam penyelenggaraan pendidikan profesi dokter, juga tidak mungkin dihasilkan konselor yang handal tanpa dukungan pihak pengelola sekolah dan arena praktek lapangan lainnya . Dengan kata lain, simbiosis-mutualistis sebagaimana yang terdapat dalam bidang medik itulah yang perlu ditumbuhkan dalam rangka pendidikan profesional konselor di tanah air.
Asesmen Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor
Berbeda dari tagihan penguasaan akademik, penguasaan kemampuan profesional hanya dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang, dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakan high-inference assessment instrument, yang telah beredar di lingkungan LPTK sejak awal dekade 1980- an. Ini berarti bahwa perlu dikembangkan sarana asesmen yang serupa di bidang bimbingan dan konseling. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah diisyaratkan di atas adalah bahwa asesmen kemampuan profesional konselor itu tidak cukup apabila hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot atau moment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan terlebih-lebih penting lagi, adalah kualitas keseharian (typical behavior) kinerja konselor. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pelayanan bimbingan dan konseling dalam kurun waktu tertentu. Demi transparansi, asesmen penguasaan kompetensi profesional calon konselor itu dilakukan dengan menggunakan penguji luar baik dosen Bimbingan dan Konseling yang berasal dari LPTK lain maupun konselor pamong yang berasal dari sekolah lain. Mahasiwa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional konselor melalui Program Pendidikan Profesional Konselor yang berupa Progam Pengalaman Lapangan sebagaimana dipaparkan dalam bagian ini, dianugerahi Sertifikat Konselor dan berhak mencantumkan singkatan gelar profesi “Kons” di belakang namanya.

B.      Sertifikasi, Akreditasi, dan Izin Praktek
Ada tiga gagasan yang berbeda namun saling terkait bahwa ada yang dipertukarpakaikan dalam kaitan dengan Insinyur (engineer), guru dan di masa yang akan datang tentunya juga konselor. Ketiga istilah yang mencerminkan ketiga gagasan tersebut adalah Sertifikasi (Certification), Akreditasi (Accreditation), dan Izin Praktek (Licensure).
a.       Sertifikasi atau Certification
Certification adalah pernyataan kelayakan tentang kompetensi seseorang untuk melakukan sesuatu tugas yang menuntut keahlian tertentu, berdasarkan atas hasil asesmen terhadap penguasaan kompetensi yang telah diterapkan sebagai standar. Di bidang layanan pemfasilitasian, lazim diases penguasaan kemampuan akademik yang merupakan landasan saintifik dari segi penyelenggaraan layanan ahli yang bersangkutan. Sertifikat kompetensi lazim dianugerahkan oleh lembaga penyelenggaraan pendidikan yang memiliki kapasitas dalam pembentukan penguasaan kompetensi yang dimaksud.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :
1)   Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.
2)   Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling
Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-aspek penilaian meliputi :
1)   Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2)   Daftar konseli
3)   Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4)   Laporan bulanan
5)   Laporan semesteran/tahunan
6)   Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
·     Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)
·     Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
·     Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)
7)   Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.
Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.
Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.
b.       Akreditasi atau Accreditation
Accreditation adalah penilaian kelayakan teknis/akademis suatu lembaga penyelenggara program pendidikan tertentu untuk menghasilkan lulusan dengan spesifikasi kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dengan didukung oleh Asosiasi Penyelenggara Program Pendidikan Profesional, Badan Penyelenggara Akreditasi berfungsi mengawal mutu program pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan. Lazim terselenggara atas dasar sukarela (on a voluntary basis), keikutsertaan lembaga penyelenggara pendidikan profesional dalam suatu mekanisme akreditasi tertentu dipicu bukan untuk perolehan legitimasi birokratik, melainkan untuk memperoleh legitimasi akademik yang dihargai oleh pihak-pihak terkait (steakholders) khususnya calon mahasiswa berdasarkan bukti-bukti yang transparan. Oleh karena itu, salah satu mekanisme akreditasi menjadi mandul dalam memicu peningkatan kapasitas serta kinerja lembaga penyelenggara pendidikan, apabila dalam mengemban fungsinya badan penyelenggara akreditas iitu menampilkan hasil karya yang lebih bersifat administratif, apalagi kalau ditambah dengan tingkat transparansi yang rendah.
c.       Izin Praktek atau Licensure
Licensure adalah pemberian izin praktek untuk menyelenggarakan layanan ahli yag dkeluarkan oleh pejabat publik dalam bidang yang relevan kepada pengampu layanan ahli yang telah dinilai kompeten (contoh: Izin Praktek dokter dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan (d/h Kanwil Depkes) atas rekomendasi IDI setempat), sehinga sosoknya tidak semata-mata administratif-birokratif meskipun, di tanah air, juga tersembunyi sisi “perlindungan warung”. Sebelum diberlakukannya kebijakan Sertifikasi Guru ini, di negara kita izin praktek secara de facto diberikan berupa pengangkatan sebagai guru oleh pemerintah bagi calon guru yang telah memiliki Akta Mengajar sebagai jaminan penguasaan kompetensi (Sertifikasi). Meskipun tentu saja kurang konsisten secara konseptual, akan tetapi dalam praktek, kadang-kadang istilah sertifikasi dan izin praktek itu dipertukarpakaikan; misalnya, kalau orang berbicara tentang guru atau insinyur yang memiliki izin praktek (licensed teacher atau licensed engineer), maka dalam pemaknaannya juga harus terkandung pernyataan tentang guru atau insinyur yang bersertifikat (a certified teacher atau a certified engineer). Selain itu, juga ditemukan praktek dimana makna kedua istilah digabungkan dalam arti sertifikat sekaligus mengandung makna sebagai izin praktek atau license sebagaimana yang diberlakukan di negara bagian Georgia di Amerika Serikat sejak dekade 1980-an dan kemudian diikuti oleh sejumlah negara bagian lainnya. Untuk memperoleh izin praktek, lulusan LPTK yang telah lulus ujian kompetensi akademik disana diwajibkan mengikuti proses pemagangan dengan disupervisi oleh guru mentor selam satu tahun. Dalam periode pemagangan tersebut selain diamati dan dibimbing oleh guru mentor, secara formal guru magang yang bersangkutan diuji unjuk kerjanya dengan menggunakan the teacher performance assesment instruments, suatu high-inference iinstrument yang telah diadaptasi oleh Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) dan dikenal luas dikalangan LPTK. Apabila tidak berhasil lulus setelah dua kali asesmen formal, seorang guru magang diberikan kesempatan kedua berupa perpanjangan masa magang selama satu tahun. Kegagalan meraih lisensi dalam masa permagangan kedua ini, akan menyebabkan guru magang yang bersangkutan itu akan di-blacklist untuk selama-lamanya dibagian negara Georgia.
Dari kajian singkat tentang tiga gagasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa peluncuran berbagai kegiatan oleh instansi terkait dalam rangka implementas ikebijakan sertifikasi guru, memerlukan lebih dari sekedar kemauan politik berupa penerapan ketentuan perundang-undangan serta penmyediaan dana yang memadai untuk mewujudkan keadaan yang diharapkan itu. Sebaiknya dalam rangka implementasi kebijakan sertifikasi guru itu dengan sebaik-baiknya oleh berbagai instansi terkait sehingga membuahkan hasil sebagaimana diharapkan dalam arti berpeluang membuahkan peningkatan mutu pendidikan melalui sistem persekolahan, disamping diperlukan regulasi yang cerdas dan kapasitas pendukung yang handal, yang sangat perlu ditumbuhkan budaya hirau mutu dan kesediaan bekerja keras untuk meraih sertifikat yang diidam-idamkan itu.
d.       Izin Praktek Konselor Indonesia
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, ABKIN belum menetapkan bahwa izin praktek diberikan oleh ABKIN atas dasar rekomendasi dewan akreditasai dan lisensi. Izin praktek ini dapat dicabut apabila pemegang izin melakukan pelanggaran kode etik, berdasarkan hasil itu, maka ABKIN perlu melakukan kajian-kajian yang benar-benar cermat termasuk kajian perbandingan dengan bidang profesi lain khsusunya kedokteran dan psikologi yang nampaknya tampil kontras itu, agar tidak gegabah menerbitkan izin praktek yang ternyata hanya diakui oleh ABKIN saja. Dalam bidang profesi yang mapan, pengawalan atas ketaatan anggota (compliance) terhadap kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling, bukan hanya merupakan tugas ABKIN, melainkan juga menjadi tugas keorganisasian dari setiap warga ABKIN.

C.      Unjuk Kerja Konselor
1.       Penegasan Konteks Layanan Bimbingan Dan Konseling
Seperti ditegaskan, Konteks layanan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal telah dipetakan secara tepat dalam kurikulum 1975, meskipun ketika itu masih dinamakan layanan Bimbingan dan Penyuluhan, yang diposisikan sejajar dengan layanan Manajemen Pendidikan dan layanan di bidang pembelajaran yang dibingkai dalam kurikulum (lihat kembali gambar 1). Akan tetapi, dalam PerMendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi, layanan bimbingan dan konseling sebagai bagian dari kurikulum yang isinya dipilah menjadi (a) kelompok mata pembelajaran, (b) muatan lokal, dan (c) materi pengembangan diri, yang harus “disampaikan” oleh konselor kepada peserta didik (lihat kembali gambar 3). Sebagaimana telah dikupas secara tuntas dalam bagian telaah akademik, standar isi sebagaimana yang diatur melalui PerMendiknas No. 22/2006 tersebut merupakan terjemahan yang menyimpang dari arahan pasal 5 ayat (1) yang mengatur isi pendidikan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan, bahkan juga menyimpang dari arahan PerMendiknas No. 24/2006 tentang Pelaksanaan (a) PerMendiknas No. 22/2006 dan (b) PerMendiknas No. 23 tahun 2006 yang telah disebutkan yang mengatur penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sehingga secara jelas mengisyaratkan perlunya mengintegrasikan muatan lokal ke dalam mata pelajaran yang digunakan oleh guru. Akibatnya, penerjemahan standar isi yang menyimpang dari arahan pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tersebut, telah berdampak menyeret konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan, ke dalam wilayah layanan guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan. Ini juga berarti bahwa kepada Konselor diamanatkan tugas untuk menyampaikan Materi Pengembangan Diri yang mencakup nyaris keseluruhan amanat PerMendiknas nomor 23 tahun 2006, yang diturunkan dari arahan pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan sehingga sebenarnya, juga mengamanatkan tugas yang sudah secara keseluruhan telah diamanatkan kepada guru, melalui layanan Bimbingan dan Konseling, dengan menggunakan Panduan Pengembangan Diri bagi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Pusat pengembangan Kurikulum, Balitbang Diknas).
Dengan kata lain, sesungguhnya penanganan pengembangan diri lebih banyak terkait dengan wilayah layanan guru, khususnya melalui pengacaraan berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang relevan, yang dapat dan oleh karena itu perlu, dirajutkan ke dalam pembelajaran yang mendidik yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan. Meskipun demikian, konselor memang juga diharapkan untuk berperan serta dalam bingkai layanan yang komplementer dengan layanan guru, bahu-membahu dengan guru termasuk dalampengelolaan ekstra kurikuler. Lihat kembali gambar 3 yang menampilkan persamaan, keunikan, dan keterkaitan antara wilayah layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru dengan layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
2.       Ekspektasi Kinerja Konselor Dikaitkan Dengan Jenjang Pendidikan
Meskipun sama-sama berada dalam jalur pendidikan formal, naum pernedaan rentang usia peserta didik pada setiap jenjang memicu tampilnya kebutuhan layanan Bimbingan dan Konseling yang berbeda-beda pada tiap jenjang pendidikan, namun batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan jenjang yang lain tidak terbedakan sangat tajam yang tergambar sebagai gair. Dengan kata lain, batas perbedaan jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Di pihak lain, perbedaan yang lebih signifikan, juga nampak pada sisi pengaturan birokratik, seperti misalnya di taman kanak-kanak sebagian besar tugas konselor ditangani langsung oleh Guru kelas Taman Kanak-kanak. Sedangkan di jenjang Sekolah Dasar, meskipun memang ada permasalahan yang memerlukan penanganan oleh konselor, namun cakupan layanannya belum menjustifikasi untuk ditempatkannya posisi struktural konselor di tiap Sekolah Dasar, sebagaimana yang diperlukan di jenjang Sekolah Menengah, sehingga perlu dirumuskan bentuk layanan Bimbingan dan Konseling di jenjang Sekolah Dasar. Berikut ini, digambarkan secara umum perbedaan ciri khas ekspektasi konselor di tiap jenjang pendidikan.
a.       Jenjang Taman Kanak-kanak. Di jenjang Taman Kanak-kanak di tanah air tidak ditemukan posisi struktural bagi konselor. Pada jenjang ini fungsi Bimbingan dan Konseling lebih bersifat preventif dan developmental. Secara programatik, komponen kurikulum bimbingan dan konseling yang perlu dikembangkan oleh konselor jenjang Taman Kanak-kanak membutuhkan alokasi waktu yang lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada jenjang TK komponen individual student planning (yang terdiri dari : layanan aparsial, advicement, trantition planning) dan responsive service (yang berupa layanan konseling dan konsultasi) memerlukan alokasi waktu yang lebih kecil. Kegiatan konselor di jenjang Taman Kanak-kanak dalam komponen responsive services dilaksanakan terutama untuk memberikan layanan konsultasi kepada guru dan orang tua dalam mengatasi disruptive siswa Taman Kanak-kanak.
b.       Jenjang Sekolah Dasar. Sampai sat ini, di jenjang Sekolah Dasar pun juga tidak ditemukan posisi struktural untuk konselor. Namun demikian, sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik usia Sekolah Dasar, kebutuhan aklan layanannya bukannya tidak ada, meskipun tentu saja berbeda dari ekspektasi kinerja konselor di jenjang sekolah Menengah dan jenjang perguruan tinggi. Dengan kata lain, konselor juga dapat berperan serta secara produktif di jenjang Sekolah Dasar, bukan dengan memosisikan diri sebagai fasilitator pengembangan diri peserta didik yang tidak jelas posisinya, melainkan mungkin dengan memosisikan diri sebagai konselor kunjung yang membantu guru Sekolah Dasar mengatasi perilaku menggangu (disruptive behavior), antara lain dengan pendekatan Direct Behavioral Consultation.
c.       Jenjang Sekolah Menengah. Secara hukum, posisi konselor di tingkat Sekolah Menengah telah ada sejak tahun 1975, yaitu sejak diberlakukannya Kurikulum Bimbingan dan Konseling. Dalam sistim pendidikan di Indonesia konselor di Sekolah Menengah mendapat “tempat yang cukup leluasa”. Peran konselor, sebagai salah satu komponen student support services, adalah men-support perkembangan aspek-aspek pribadi-sosial, karir, dan akademik siswa, melalui pengembangan menu program24 bimbingan dan konseling, bantuan kepada siswa dalam individual student planning, pemberian layanan responsif25, serta pengembangan system support. Pada jenjang ini, konselor menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling, yang meliputi fungsi preventif, developmental, maupun fungsi kuratif.
d.       Jenjang Perguruan Tinggi. Meskipun secara struktural posisi konselor perguruan tinggi belum tercantum dalam sistem pendidikan di tanah air, namun bimbingan dan konseling dalam rangka men-support perkem-bangan personal, sosial, akademik, dan karir mahasiswa dibutuhkan. Sama dengan konselor pada jenjang pendidikan TK, SD dan SM; konselor perguruan tinggi juga harus mengembangkan dan mengimple-mentasikan kurikulum bimbingan dan konseling, individual student planning, dan responsive services, serta system support. Namun, alokasi waktu yang digunakan konselor perguruan tinggi lebih banyak pada pemberian bantuan dalam individual student career planning dan penyelenggaraan responsive services.
Jenis-jenis layanan Bimbingan dan Konseling serta Ekspektasi Kinerja Konselor di tiap jenjang pendidikan, di elaborasi lebih jauh dalam Rambu-Rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan dalam Jalur Pendidikan Formal.





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Guna memaksimalkan kualitas kerja konselor, dalam menjalankan tugasnya di sekolah, setidaknya konselor harus mampu memenuhi standar kompetensi konselor yang telah ditetapkan. Standar kompetensi konselor tersebut meliputi standar kompetensi akademik dan standar kompetensi profesional.
peluncuran berbagai kegiatan oleh instansi terkait dalam rangka implementas ikebijakan sertifikasi guru, memerlukan lebih dari sekedar kemauan politik berupa penerapan ketentuan perundang-undangan serta penmyediaan dana yang memadai untuk mewujudkan keadaan yang diharapkan itu. Sebaiknya dalam rangka implementasi kebijakan sertifikasi guru itu dengan sebaik-baiknya oleh berbagai instansi terkait sehingga membuahkan hasil sebagaimana diharapkan dalam arti berpeluang membuahkan peningkatan mutu pendidikan melalui sistem persekolahan, disamping diperlukan regulasi yang cerdas dan kapasitas pendukung yang handal, yang sangat perlu ditumbuhkan budaya hirau mutu dan kesediaan bekerja keras untuk meraih sertifikat yang diidam-idamkan itu.
Kinerja konselor berbeda-beda. Perbedaan kinerja ini didasarkan atas penugasan konselor dalam jenjang pendidikan teetentu. Jenjang pendidikan yang ditangani oleh konselor diantaranya jenjang sekolah dasar, jenjang sekolah menengah pertama, jenjang menengah atas, dan jenjang perguruan tinggi.

B.      Saran
Saran yang dapat disampaikan berkaitan dengan keprofesionalitas dan kinerja konselor di sekolah diaantaranya;
1.       Sebagai seorang konselor harus menanamkan baik-baik pada dirinya bahwa seorang konselor harus memiliki pribadi yang luhur.
2.       Bagi konselor yang belum mendapatkan lisensi atau izin praktek, dianjurkan untuk mendapatkan izin praktek dahulu sebelum terjun ke lapangan.
3.       Konselor harus paham benar tentang kebutuhan konseli berdasarkan jenjang pendidikan konseli bersangkutan.




DAFTAR PUSTAKA

Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Depdiknas
Sunawan. 2007. Bimbingan dan Konseling Belajar. Hand out
Harianti, Diah. No year. Pengembangan Diri: SD/MI. Jakarta: Depdiknas
---------------------------. Pengembangan Diri: SMP/MTS. Jakarta: Depdiknas
---------------------------. Pengembangan Diri: SMA/MA. Jakarta: Depdiknas
---------------------------. Pengembangan Diri: PT. Jakarta: Depdiknas






Littlre snake pin